Minggu, 11 November 2012

Alqur;an Dan Mekanisme Pendidikan Islam


AL-QURAN  DAN MEKANISME  PENDIDIKAN ISLAM

Oleh  :  H Hamzah  Ahmad

 

PENDAHULUAN

Pendidikan keagamaan yang berlandaskan Al-Qur’an dalam proses menghadapi tantangan modernitas berkaitan dengan nilai (value). Ditinjau dari aspek filosofis, nilai bersangkut paut dengan masalah etika. Oleh karena itu, etika juga sering disebut sebagai filsafat nilai, yang mengkaji nilai-nilai moral sebagai ukuran tindakan manusia. Sumber-sumber ajaran moral sendiri bisa hasil pemikiran manusia (adat istiadat atau tradisi dan ideologi) dan bisa juga agama.Nilai-nilai Al-Qur’an adalah nilai universal yang bersumber pada Al-Qur’an sebagai sumber tertinggi ajaran agama Islam di samping As-Sunnah sebagai sumber kedua tentu saja tidak menyampingkan produk-produk pemikiran para ulama, yaitu Ijma’ dan Qiyas. Nilai-nilai yang bersumber kepada adat-istiadat atau tradisi dan ideologi dalam perkembangannya dapat mengalami kerapuhan. Sebab keduanya adalah produk budaya manusia yang bersifat relatif, kadang-kadang bersifat lokal dan situasional sedang nilai-nilai Qur’ani, yaitu nilai yang bersumber kepada Al-Qur’an adalah kuat, karena ajaran A-Qur’an bersifat mutlak dan universal.Sesuatu yang harus diperjuangkan dalam konteks dinamika sosial saat ini adalah mengusahakan agar nilai-nilai Qur’ani tetap aktual dalam kehidupan manusia. Sebab pada akhirnya, aktualisasi nilai-nilai Qur’ani terpulang kepada manusia itu sendiri. Salah satu upaya yang harus dilakukan adalah melakukan aktualisasi nilai-nilai Qur’ani melalui kegiatan pendidikan, khususnya pendidikan Islam. Aktualisasi nilai-nilai Qur’ani dalam pendidikan islam itu dapat dilakukan melalui berbagai aspek kehidupan manusia, seperti filsafat, ilmu dan teknologi, ekonomi politik dan perilaku kehidupan manusia itu sendiri secara umum.

Al-Qur’an dapat melahirkan berbagai macam aspek ilmu pengetahuan dan bukan saja ilmu-ilmu keislaman akan tetapi juga merupakan sumber ilmu pengetahuan dan teknologi, karena isyarat-isyarat yang diberikan oleh kitab suci ini. Memang, begitu pertama kali turun kepada Rasulullah SAW, ia mencanangkan dan mendorong orang untuk mencari dan menggali ilmu pengetahuan, yaitu dengan kata-kata “Iqra” dan dalam ayat permulaan itu terdapat “qalam” yang berarti yang biasa menjadi lambang ilmu pengetahuan. Dengan demikian muncullah berbagai ilmu pengetahuan dan teknologi. Semakin intensif manusia menggali ayat-ayat Al-Qur’an maka akan semakin banyak pula isyarat keilmuan yang didapatkan.

Mempelajari Al-Qur’an, menggali kandungannya, dan menyebarkan ajaran-ajarannya dalam praktek kehidupan masyarakat yang merupakan tuntunan yang tak akan ada habisnya. Menghadapi tantangan dunia modern yang bersifat sekuler dan materialistis, umat islam dituntut untuk menunjukkan bimbingan dan ajaran Al-Qur’an yang mampu memenuhi kekosongan nilai moral kemanusiaan dan spiritualitas, disamping membuktikan ajaran-ajaran Al-Qur’an yang bersifat rasional dan mendorong umat manusia untuk mewujudkan kemajuan dan kemakmuran. Tak disangsikan, betapa banyak ungkapan Al-Qur’an yang secara langsung maupun tersirat menganjurkan pengembangan ilmu pengetahuan, baik ilmu kealaman, sosial dan humoria. Meski bukan ilmu an-sich sebagai tujuan, tetapi dari semua isyarat tentang ilmu pengetahuan, yang diungkap oleh Al-Qur’an dan tidak dikenal pada masa turunnya, seperti dikatakan oleh Dr. Aurice Bucaille dalam bukunya Al-Qur’an, Bible dan Sains Modern, telah terbukti tak satupun yang bertentangan dengan ilmu pengetahuan modern.

Sesuai perkembangan masyarakat yang yang semakin dinamis sebagai akibat kemajuan ilmu dan teknologi, terutama teknologi informasi, maka aktualisasi nilai-nilai Al-Qur’an menjadi sangat penting. Secara normatif, tujuan yang ingin dicapai dalam proses aktualisasi nilai-nilai Al-Qur’an dalam pendidikan meliputi tiga dimensi kehidupan yang harus dibina dan dikembangkan oleh pendidikan.

Pertama, dimensi siritual, yaitu iman, takwa, dan akhlak mulia (yang tercermin dalam ibadah dan muamalah).

Kedua, dimensi budaya, kepribadian yang mantap dan mandiri, tanggung jawab kemasyarakatn dan kebangsaan.

Ketiga, dimensi kecerdasan yang membawa pada kemajuan, yaitu, cerdas, kreatif, terampil, disiplin, etos kerja, profesional, inovatif, dan produktif.

 AL-QURAN DALAM SISTEM PENDIDIKAN ISLAM

Dalam sudut pandang filosofis, nilai sangat terkait dengan masalah etika. Etika juga sering disebut sebagai filsafat nilai, yang mengkaji nilai-nilai moral sebagai tolok ukur tindakan dan perilaku manusia dalam berbagai aspek kehidupannya. Sumber­-sumber etika dan moral bisa merupakan hasil pemikiran, adat istiadat atau tradisi, ideologi bahkan dari agama. Dalam konteks etika pendidikan dalam Islam, maka sumber etika dan nilai-nilai yang paling shahih adalah al-Qur'an dan Sunnah Nabi Saw. yang kemudian dikembangkan oleh hasil ijtihad Para ulama. Nilai-nilai yang bersumber kepada adat-istiadat atau tradisi dan ideologi sangat rentan dan situasional. Sebab keduanya adalah produk budaya manusia yang bersifat relatif, kadang-kadang bersifat lokal dan situasional. Sedangkan nilai-nilai Qur'ani, yaitu nilai yang bersumber kepada al-Qur'an adalah kuat, karena ajaran al-Qur'an bersifat mutlak dan universal.

Sebagai point utama dalam bahasan ini adalah mencari upaya yang sungguh-sungguh agar pendidikan Islam menjadi pilihan utama bagi masyarakat dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Pencerdasan akal pikiran dan sekaligus pencerdasan Qalbu merupakan langkah yang sangat efektif dalam membangun bangsa yang saat ini memerlukan generasi-generasi memiliki kecerdasan intelektual dan cerdas Qalbunya. Kedua kecerdasan ini hanya akan diperoleh bilamana lembaga pendidikan menggali dan menyelami nilai-nilai yang diajarkan al-Qur'an dalam membangun kualitas Sumber Daya Umat (SDU) yang berkualitas dengan cara mengaktualisasikan nilai-nilai Qurani dalam sistem pendidikan Islam.

 Al-Qur'an Sebagai Sumber Nilai

Di antara fungsi al-Qur'an adalah sebagai petunjuk (huda), penerang jalan hidup (bayylnat), pembeda antara yang benar dan yang salah (furqan), penyembuh penyakit hati (syifa), nasihat atau petuah (maulizah) dan sumber informasi (bayan). Sebagai sumber informasi al-Qur'an mengajarkan banyak hal kepada manusia: dari prsoalan keyakinan, moral, prinsip-prinsip ibadah dan muamalah sampai kepada asas-asas ilmu pengetahuan. Mengenai ilmu pengetahuan, al-Qur'an memberikan wawasan dan motivasi kepada manusia untuk memperhatikan dan meneliti alam sebagai manifestasi kekuasaan Allah. Dari hasil pengkajian dan penelitian fenomena alam kemudian melahirkan ilmu pengetahuan. Berdasarkan pemahaman ini, al-Qur'an berperan sebagai motivator dan in­spirator bagi para pembaca, pengkaji dan pengamalnya.

Al-Qur'an menyatukan sikap dan pandangan manusia kepada satu tujuan, yaitu Tauhid. Setiap kali manusia menemukan sesuatu yang baru, dari hasil suatu kajian, is semakin merasakan kelemahan dan kekurangan dihadapan Sang Pencipta: dengan demikian semakin memperteguh keyakinannya kepada keluasan ilmu Allah. Dalam kaitan ini, al-Qur'an pada hakikatnya merupakan miniatur dari Kemahaluasan ilmu Allah yang tak tertandingi. Maka, ketika manusia mencoba memahami dirinya sendiri kemudian berpindah kepada pemahaman selain dirinya, termasuk jagat raya, ia benar-benar menyadari keterbatasan kemampuannya. Begitulah perbandingan antara ilrnu Allah dan kemampuan manusia untuk memahaminya. Allah sungguh mengandung ilmu yang sangat luas dan dalam; bagaikan lautan yang menyimpan mutiara yang paling berharga dalam air yang paling dalam.

Al-Qur'an tidak hanya sebagai petunjuk bagi suatu umat tertentu dan untuk periode waktu tertentu, melainkan menjadi petunjuk yang universal dan sepanjang waktu. Al-Qur'an adalah eksis bagi setiap zaman dan tempat. Petunjuknya sangat luas seperti luasnya umat manusia dan meliputi segala aspek kehidupannya.

Bukan saja ilmu-ilmu keislaman yang digali secara langsung dari al-Qur'an, seperti ilmu tafsir, fikih dan tauhid, akan tetapi al-Qur'an juga merupakan sumber ilmu pengetahuan dan teknologi, karena banyak sekali isyarat-isyarat al-Qur'an yang membicarakan persoalan-persoalan sains dan teknologi dan bidang keilmuan lainnya.

Bercermin pada wahyu pertama sekali turun kepada Rasullah SAW, Allah adalah untuk mencanangkan dan mendorong manusia agar mencari dan menggali ilmu pengetahuan, yaitu dengan kata-kata "iqra" (Q.S. AI-Alaq196: 1-5) Dalam ayat-ayat permulaan itu ada kata-kata "qalagl yang berarti pena yang biasa menjadi lambang ilmu pengetahuan. Dengan demikian muncul berbagai ilmu pengetahuan dan teknologi melalui semangat dan spirit Al-Qur'an. Makin banyak di gali ayat-ayat al-Qur'an itu, makin banyak pula didapati isyarat tersebut. Hal itu karena al-Qur'an tidak akan habis-habisnya walaupun ditulis dengan tinta lautan yang luas, bahkan di tambah dengan tujuh lautan lagi (Q.S. Lukman / 31:27).

Tuntunan dan anjuran untuk mempelajari al-Qur'an dan menggali kandungannya serta menyebarkan ajaran-ajarannya dalam praktek kehidupan masyarakat merupakan tuntunan yang tak akan pernah habisnya. Menghadapi tantangan dunia modern yang bersifat sekuler dan materialistic, umat Islam dituntut untuk menunjukan bimbingan dan ajaran al-Qur'an yang mampu memenuhi kekosongan nilai moral kemanusian dan spiritualitas, di samping membuktikan ajaran-ajaran al-Qur'an yang bersifat rasional dan mendorong umat manusia untuk rnewujudkan kemajuan dan kemakmuran serta kesejahteraan. Terlalu banyak ungkapan al-Qur'an yang secara langsung maupun tersirat menganjurkan pengembangan ilmu pengetahuan, baik ilmu kealaman, sosial dan humaniora. Meski bukan ilmu an-sich sebagai tujuan, tetapi dari semua isyarat tentang ilmu pengetahuan, yang diungkap oleh al-Qur'an yang tidak dikenal pada masa turunnya, seperti dikatakan oleh Dr. Aurice Bucaille dalam bukunya Al-Qur'an, Bible dan Sains Modern, telah terbukti tak satupun yang bertentangan dengan ilmu pengetahuan modern.

Adanya isyarat al-Qur'an tentang ilmu pengetahuan dan kebenarannya sesuai dengan ilmu pengetahuan hanyalah salah satu bukti kemu'jizatannya. Ajarannya al-Qur'an tentang ilmu pengetahuan tidak hanya sebatas ilmu pengetahuan (science) yang bersifat fisik dan empirik sebagai fenomena, tetapi lebih dari itu ada hal-hal nomena yang tak terjangkau oleh rasio manusia (Q.S.17:18, 30:7, 69:38-39). Dalam hal ini, fungsi dan penerapan ilmu pengetahuan juga tidak hanya untuk kepentingan ilmu dan kehidupan manusia semata, tetapi lebih tinggi lagi untuk mengenal tanda-tanda, hakikat wujud dan kebesaran Allah serta mengaitkannya dengan tujuan akhir, yaitu pengabdian kepada-Nya (Q.S. 2:164, 5:20-21, 41:53).

Nilai-nilai Qur'ani secara garis besar adalah nilai kebenaran (metafisis dan saintis) dan nilai moral. Kedua nilai Qur'ani ini akan memandu manusia dalam membina kehidupan dan penghidupannya.

 Aktualisasi dalam Sistem Pendidikan Islam

Sesuai perkembangan masyarakat yang semakin dinamis sebagai akibat kemajuan ilmu dan teknologi, terutama teknologi informasi, maka aktualisasi nilai-nilai al-Qur'an menjadi sangat penting. Karena tanpa aktualisasi kitab suci ini, umat Islam akan menghadapi kendala dalam upaya internalisasi nilai-nilai Qur'ani sebagai upaya pembentukan pribadi umat yang beriman, bertakwa, berakhlak mulia, cerdas, maju dan mandiri.

Secara normatif, tujuan yang ingin dicapai dalam proses aktualisasi nilai-nilai al-Qur'an dalam pendidikan meliputi tiga dimensi atau aspek kehidupan yang harus dibina dan di kembangkan oleh pendidikan. Pertama, dimensi spritual, yaitu iman, takwa dan akhlak mulia (yang tercermin dalam ibadah dan mu'amalah). Dimensi spritual ini tersimpul dalam satu kata yaitu akhlak. Akhlak merupakan alat kontrol psikis dan social bagi individu dan masyarakat. Tanpa akhlak, manusia akan berada dengan kumpulan hewan dan binatang yang tidak memiliki tata nilai dalam kehidupannya. Rasulullah Saw merupakan sumber akhlak yang hendaknya diteladani oleh orang mukmin, seperti sabdanya. "Sesungguhnya aku diutus tidak lain untuk menyempurnakan akhlak yang mulia”.

Pendidikan akhlak dalam Islam tersimpul dalam prinsip "berpegang teguh pada kebaikan dan kebajikan serta menjauhi keburukan dan kemungkaran" berhubungan erat dengan upaya mewujudkan tujuan dasar pendidikan Islam, yaitu ketakwaan, ketundukan, dan beribadah kepada Allah SWT. Pendidikan akhlak menekankan pada sikap, tabiat dan perilaku yang meggambarkan nilai-nilai kebaikan yang harus dimiliki dan dijadikan kebiasaan anak didik dalam kehidupan sehari-hari. Rasulullah SAW selalu menganjurkan kepada umatnya untuk memperhatikan budi pekerti anak dengan baik, karena akhlak ini merupakan implikasi dan cerminan dari kedalaman tauhid kepada Allah SWT.

Kedua, dimensi budaya, yaitu kepribadian yang mantap dan mandiri, tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan. Dimensi ini secara universal menitikberatkan pada pembentukan kepribadian muslim sebagai individu yang diarahkan kepada peningkatan dan pengembangan faktor dasar (bawaan) dan faktor ajar (lingkungan atau miliu), dengan berpedoman kepada nilai-­nilai keislaman. Faktor dasar dikembangkan dan ditingkatkan kemampuan melalui bimbingan dan pembiasaan berfikir, bersikap dan bertingkah laku menurut norma-norma Islam. Sedangkan faktor ajar dilakukan dengan cara mempengaruhi individu melalui proses dan usaha membentuk kondisi yang mencerminkan pola kehidupan yang sejalan dengan norma­norma Islam seperti teladan, nasehat, anjuran, ganjaran, pembiasaan, hukuman, dan pembentukan lingkungan serasi.

 

Tanggung jawab kemasyarakatan dapat dilakukan dengan kegiatan pembentukan hubungan sosial melalui upaya penerapan nilai-nilai akhlak dalam pergaulan sosial. Langkah-langkah pelaksanaannya mencakup: 1], melatih diri untuk tidak melakukan perbuatan keji dan tercela seperti menipu, membunuh, menjadi reintenir, menghalalkan harta orang lain, makan harta anak yatim, menyakiti sesama anggota masyarakat dan lain sebagainya. 2] mempererat hubungan kerja sama dengan cara menghindarkan diri dari perbuatan yang dapat mengarah kepada rusaknya hubungan sosial seperti membela kejahatan, berkhianat, melakukan kesaksian yang palsu, mengisolasi diri dari masyarakat, dan lain sebagainya. 3] menggalakkan perbuatan-perbuatan yang terpuji dan memberi manfaat dalam ehidupan bermasyarakat seperti memaafkan kesalahan, menepati janji, memperbaiki hubungan antar manusia, dan lain-lain. 4] membina hubungan sesuai dengan tata tertib, seperti berlaku sopan, meminta izin ketika masuk rumah, dan masih banyak contoh lain.

Cinta dan tanggung jawab kebangsaan dan nasionalisme juga terkait erat dengan pembentukan nilai-nilai Islam dalam kehidupan berbangsa. Membentuk nilai-nilai ini diarahkan pada pembinaan hubungan antar sesama warga, dan juga hubungan antar rakyat dengan Kepala Negara serta hubungan antara yang memimpin dengan yang dipimpin. Sebagai seorang muslim, setiap pribadi diharapkan mampu mendesain sikap dan perilaku yang serasi dalam hubungannya dengan orang lain. Di samping itu juga diharapkan agar ia dapat menunjukkan kepatuhan kepada para pemimpin melalui hubungan timbal batik yang harmonis. Adapun upaya untuk membentuk nilai-nilai Islam dalam konteks ini antara lain adalah; (1) kepala negara menerapkan prinsip musyawarah, adil, jujur, dan tanggung jawab; (2) masyarakat muslim berkewajiban mentaati peraturan, menghindari diri perbuatan yang merugikan keharmonisan hidup berbangsa.

Ketiga, dimensi kecerdasan yang membawa kepada kemajuan, yaitu cerdas, kreatif, terampil, disiplin, etos kerja, profesional, inovatif dan produktif. Dimensi kecerdasan dalam pandangan prikologi merupakan sebuah proses yang mencakup tiga proses yaitu analisis, kreativitas, dan praktis. Kecerdesan apapun bentuknya, baik IQ-ISQ dan lain-lain-saat ini diukur dengan tes-tes prestasi di sekolah, dan bukan merupakan prestasi di dalam kehidupan. Dulu kecerdasan itu diukur dengan membandingkan usia mental dengan usia kronologis, tetapi saat ini test IQ membandingkan penampilan individu dengan rata-rata bagi kelompok dengan usia yang sama. Tegasnya dimensi kecerdasan ini berimplikasi bagi pemahaman nilai-nilai al-Qur'an dalam pendidikan.

Upaya yang dilakukan dalam pendidikan nilai-nilai Qur'ani, sudah tentu tidak cukup di sekolah. Sebab lembaga yang mempunyai peran sesungguhnya adalah lembaga yang mempunyai peran pendidikan Islam, lembaga keluarga ini menjadi perhatian utama. Sebab, sebagai unit terkecil dari masyarakat, kualitas keluarga akan mempunyai dampak langsung terhadap kehidupan masyarakat itu sendiri. Karena itu keluarga disebut lembaga pendidikan yang pertama dan utama. Hal ini dapat dipahami bahwa keluarga tidak dapat lepas dari pendidikan bahkan di sinilah pertama sekali anak menerima ilmu pengetahuan sebelum ia mendapatkannya dari lembaga lain.

Keluarga bagi setiap individu dengan demikian adalah alam pendidikan pertama dan utama. Sebagai dasar pertama dan utama maka is merupakan fondasi dan akan sangat berpengaruh bagi pembinaan selanjutnya. Jika pembinaan tersebut dapat terlaksana dengan baik, maka dapat diasumsikan bahwa pembinaan telah dapat meletakkan dasar-dasar yang kuat bagi jenjang pendidikan berikutnya, yaitu pembinaan di lingkungan sekolah dan masyarakat.

Ketika sekolah belum melembaga seperti sekarang, keluarga menjadi wahana utama dalam pendidikan seseorang. Tetapi dengan adanya sekolah, maka sebagian tugas tersebut diambil alih oleh sekolah. Pengambil-alihan tugas ini berkaitan pula dengan kenyataan bahwa dalam masyarakat yang semakin mod­ern dengan pola kehidupan yang semakin terdiferensiasi, tidak mungkin keluarga dapat melayani seluruh proses dan tuntunan kebutuhan pendidikan anak. Akan tetapi tidak berarti peran keluarga sebagai lembaga utama pendidikan berkurang.

Meskipun institusi pendidikan dalam bentuk persekolahan sudah sedemikian melembaga dan semakin kuat, tidak berarti mengabaikan peranan pendidikan dalam keluarga. Justru di tengah semakin masif-nya perubahan sosial pada era globalisasi dan informasi ini, peranan pendidikan dalam keluarga sebagai wahana dan informasi, juga peranan pendidikan dalam keluarga sebagai wahana pembinaan keyakinan agama, watak, serta kepribadian, seyogianya semakin diperkuat.

Di beberapa negara maju, di mana peranan keluarganya mengalami demasifikasi, akhir-akhir ini ada kecenderungan pada masyarakat untuk menjadikan (kembali) keluarga sebagai basis bagi pendidikan anak. Di bawah semboyan "back to family” keluarga dihidupkan kembali perananya yang besar dalam pembentukan watak dan kepribadian anak serta pengembangan nilai-nilai moral. Gerak pendahulu ke arah yang berlawanan ini jika dapat diibaratkan demikian - dimaksud untuk mencari keseimbangan kembali dalam tata kehidupan masyarakat. Langkah untuk "kembali kepada keluarga" merupakan solusi yang praktis terhadap berbagai persoalan kemasyarakatan yang terjadi, yang tidak mudah diatasi jika diserahkan sepenuhnya kepada institusi di luar keluarga.

 Fungsi Pendidikan

Peranan pendidikan dalam pengembangan kualitas surnber Jaya insani secara mikro, yaitu sebagai proses belajar­mengajar: alih pengetahuan (transfer of knowledge), alih metode  (transfer of methodology), dan alih nilai (transfer of value).

Fungsi pendidikan sebagai sarana alih pengetahuan dapat ditinjau dari teori "human capital”; bahwa pendidikan tidak dipandang sebagai barang konsumsi belaka tetapi juga sebagai sebuah investasi. Hasil investasi ini berupa tenaga kerja yang mempunyai kemampuan untuk menerapkan pengetahuan dan keterampilannya dalam proses produksi dan pembangunan pada umumnya. Dalam kaitan ini proses alih pengetahuan dalam rangka pembinaan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk berkernbangnya manusia pembangunan. Dengan ilustrasi yang serupa, proses alih pengetahuan ini juga berperan pada proses pembudayaan dan pembinaan iman, takwa dan akhlak mulia.

Berkaitan dengan proses pembudayaan barangkali pendidikan keimanan dapat mewakili semua maksud tersebut. Inti penting dari keimanan itu adalah tauhid kepada Allah SWT. Jika diinginkan adanya konsistensi, maka dalam membahas segala sesuatu yang berkaitan dengan pendidikan Islam, tidak mungkin melakukannya tanpa melihat hubungannya dengan tauhid atau faham Ketuhanan Yang Maha Esa. Seperti diketahui, bahwa tauhid adalah fondasi atau asas bagi semua bangunan Islam, bahkan seharusnya fondasi bagi semua bangunan kemanusiaan yang benar. Tauhid adalah bagian paling inti dari ajaran Islam.

Karena itu, semua pandangan tentang peddidikan harus berpangkal pada hidup tauhid. Berkenaan dengan itu, salah satu implikasi pokok tauhid, ialah pemusatan kesucian hanya kepada Allah SWT (makna tasbih, ucapan subhanallah) dan pencopotan kesucian itu dari segala sesuatu selain Allah SWT. Dalam konteks bangsa Arab di zaman Nabi SAW pandangan ini berakibat dilepaskannya nilai-nilai kesucian dari pandangan kesukuan dan kepemimpinan kesukuan.

Pendidikan keimanan ini dapat dirangkaikan bertujuan untuk menanamkan kepada anak dengan dasar-dasar iman, rukun Is­lam, dan dasar-dasar syari'at. Pendidikan keimanan ini menempatkan hubungan antara hamba dengan khaliknya menjadi bermakna. Perbuatannya bertujuan dan berakhlak mulia, sehingga pada akhirnya ia akan memiliki kompetensi dalam memegang peranan khalifah di muka bumi. Pendidikan keimanan ini dapat dilihat sebagaimana yang pernah dicontohkan oleh Rasulullah SAW dalam hadits berikut: “Bacakanlah pada anak­anak kamu kalimat pertama dengan Laa Ilaha Illa Allah (tiada Tuhan selain Allah)” (HR. Hakim).

Hadits ini mengisyaratkan bahwa sebagai manusia homo educandum dan homo educandus bahwa kalimat tauhid merupakan hal pertama yang harus masuk atau diperdengarkan dan diajarkan kepada anak sebagai penanaman dasar-dasar keimanan. Itu berarti kalirnat tauhid merupakan hal urgen yang harus mendasari rumusan kurikulum yang akan dibentuk. la merupakan pangikat kuat sekaligus dasar fundamen dalam kehidupan manusia untuk mengemban fungsi kekhalifahan dalam kehidupan beragama, dan berbangsa demi memperoleh kedamaian, ketenteraman dan keberkahan hidup.

Fungsi pendidikan sebagai sarana alih metode terutama amat berperan pada pengembangan kemampuan penerapan teknologi dan profesionalitas seseorang. Penguasaan pada "tecno-sciences" lebih merupakan suatu dari proses transfer of methodology dari pada transfer of knowledge. Penguasaan teknologi dalam sistem pembelajaran informasi merupakan sesuatu yang harus dikuasai oleh pendidikan agama. Menguasai peluang atau manejemen masa depan diharuskan dapat mengetahui dan menguasai informasi. Menguasai informasi dan teknologi sama artinya dengan menguasai masa depan. Tegasnya penguasaan teknolgi informasi tak dapat dipisahkan dari kehidupan pendidikan agama masa depan.

Fungsi pendidikan sebagai proses alih nilai, secara makro mempunyai tiga sasaran. Pertama, bahwa tujuan pendidikan adalah untuk membentuk manusia yang mempunyai keseimbangan antara kemampuan kognitif dan psikomotor di satu pihak serta kemampuan afektif di pihak lain. Dalam konteks ke-Indonesia-an, hal ini dapat diartikan bahwa pendidikan menghasilkan manusia yang berkepribadian, tetap menjunjung tinggi nilai-nilai budaya yang luhur, serta mempunyai wawasan, sikap kebangsaan dan menjaga seta memupuk jati dirinya. Dalam hal ini proses alih nilai dalam rangka proses pembudayaan. Kedua, dalam sistem ini nilai yang dialihkan juga termasuk nilai-nilai keimanan, ketaqwaan dan akhlak mulia yang senantiasa menjaga harmonisasi hubungan dengan Tuhan, dengan sesama manusia dan dengan alam sekitarnya. Ketiga, dalam alih nilai juga dapat ditransformasikan tata nilai yang mendukung proses industrialisasi dan penerapan teknologi, seperti: penghargaan akan waktu, disiplin, etos kerja, kemandirian, kewirausahaan, dan sebagainya. Seperti diketahui, bahwa era industrialisasi yang berorientasi pada penggunaan teknologi memerlukan sikap dan pola pikir yang menunjang ke arah pemanpaatan dan penerapan teknologi tersebut. Sikap dan pola pikir yang mengarah pada penggunaan teknologi meliputi antara lain penggunaan waktu secara efisien, perencanaan ke masa depan, kreatif, inovatif, etos kerja yang tinggi. Nilai-nilai dan prinsip dasar semua itu dapat ditemukan dalam al-Qur'an.

Pembinaan iman, takwa dan akhlak mulia serta pembudayaan pada dasarnya meliputi pembinaan tentang: keyakinan, sikap, perilaku, dan akhlak mulia serta nilai-nilai luhur budaya bangsa. Semua aspek kehidupan tersebut dapat berkembang apabila ada pemahaman, wawasan keagamaan dan budaya yang diperoleh dari proses alih pengetahuan, serta internalisasi nilai-nilai Qur'ani dan budaya yang diperoleh dari proses alih nilai. Dalam lingkungan keluarga dan masyarakat proses alih nilai berlangsung secara lebih berkesinambungan sehingga interaksi terjadi secara epektif dibandingkan dengan yang terjadi dalam kelas. Di samping faktor pembiasaan dan keteladanan di atas, pembinaan iman, taqwa dan akhlak rnulia serta pembudayaan dalam keluarga, juga lebih dapat berhasil karena adanya penghayatan terhadap nilai-nilai al-Qur'an yang melahirkan keyakinan, sikap, perilaku, dan akhlak mulia di atas.

Dalam upaya aktualisasi nilai-nilai Qur'ani, maka optimalisasi peran keluarga harus dilakukan, di samping memperkuat lembaga pendidikan formal. Dengan demikian, tanggung jawab akan dipikul bersama oleh guru, prang tua dan masyarakat.

Tujuan yang akan dicapai adalah membentuk manusia yang beriman, bertaqwa, berakhlak mulia, maju dan mandiri sehingga memiliki ketahanan rohaniah yang tinggi serta mampu beradaptasi dengan dinamika perkembangan masyarakat. Dengan demikian diharapkan bahwa bangsa Indonesia yang terkenal sangat religius ini akan menjadi bangsa yang kuat dan maju serta makmur dan sejahtera, terutama maju dalam dunia pendidikan sebagai basis pembangunan suatu bangsa.

 DAFTAR BACAAN
 Abuddin Nata, manjemen Pendidikan: mengatasi kelemahan pendidikan Islam di Indonesia, (Bogor: Kencana, 2003)
Arief Rahman, "Peran Pendidik dalam Menanamkan Iman dan Takwa untuk Menghadapi Era teknologi dan Globalisasi", Makalah Disampaikan dalam Konvensi Nasional Pendidikan Indonesia III, Ujung Pandang, 1-4 Maret 1996
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenuim Baru, (Jakarta: Kalimah, 2001)
H.A.R. Tilaar, Pradigma Baru Pendidikan Nasional, (Jakarta: Rineka Cipta, 2000), cet. Ke -1.
Said Agil Husin Al Munawar, Al Qur'an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, Abdul Halim (ed.), (Jakarta: Ciputat Press, 2002)
Siti Malikhah Towaf, "Pendekatan Kontekstual bagi Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum", Makalh Disanpaikan dalam Pelatihan Peningkatan Wawasan Ilmu Pengetahuan dan Kependidikan bagi Dosen PAI di PTU, Malang: 15-25 Oktober 1996
Sudirman, et. al., Ilmu Pendidikan, (Jakarta: Mutiara, 1989), cet. Ke 1

Tidak ada komentar:

Posting Komentar