Sebuah Investasi Alghozali pada Kurikulum Pendidikan Islam
Disusun sebagai Tugas
Individu pada Program
Pascasarjana (S3)
Ilmu pendidikan Institut Perguruan Tinggi Alqur,an (PTIQ) Jakarta
DI SUSUN OLEH :
Nama :
H Hamzah Ahmad
NPM :
11.10.034 2012
Prodi :
Program Pascasarjana (S-3) Ilmu
Pendidikan
Mata Kuliah : Sistem Penyelenggaraan
Pendidikan Islam
Dosen Pengampu :
1.
Prof.Dr.H.M.Darwis Hude,M.Si
2.
Dr. Achmad Sodiq,.MA
3.
Dr.Suparto, M.Ed,. Ph.D
PROGRAM PASCASARJANA
PENDIDIKAN
PERGURUAN TINGGI ILMU
ALQUR,AN (PTIQ) JAKARTA
2012
BAB
I
PENDAHULUAN
1. Latar
Belakang
Ada sebuah fenomena
yang sering berlalu didepan mata, yang hamper
hamper tidak terdeteksi, yakni
proses kejiwaan yang terjadi ketika seorang
pendidik harus memilih antara
menerapkan pendidikan tanpa
menghiraukan landasan
filosofinya, dengan mendalami filosofi
pendidikan senagai bagian dari pengetahuan.[1] Filsafat merupakan pokok dari
segala disiplin ilmu sebagai refleksi rasionil (fikr, nazr, ma'rifat, ra'y)
atas keseluruhan keadaan untuk mencapai hakikat dan memperoleh hikmah.
Berfilsafat adalah berpikir sedalam-dalamnya dengan bebas dan teliti tentang
segala sesuatu yang masuk kedalam pikiran, baik yang di luar maupun yang ada di
dalam diri. Maka timbullah suatu pertanyaan: "Dapatkah seorang Muslim itu
berfilsafat?". Timbulnya pertanyaan ini ialah karena seorang Muslim itu
selamanya terikat dan didoktrin oleh ajaran-ajaran agamanya. Maka bolehkah dia
meninggalkan agamanya untuk berfilsafat?
Perlu diketahui bahwa seorang Muslim yang berpikir dengan
sedalam-dalamnya tanpa suatu maksud, selain dari mencari yang hak dan
kebenaran, yang selalu mengindahkan disiplin dan hukum-hukum berpikir, maka dia
akan sampai kepada kebenaran itu dan tidak akan tersesat.
Di dunia Islam Timur, filsafat mengalami perkembangan yang
sangat signifikan, terbukti dengan munculnya tokoh-tokoh filosof Islam seperti
Al-Kinidi, Al-Razi, Ibnu Rusyd, Al-Ghazali, Ibnu Sina, Ibn Khaldun dan
lain-lain. Para tokoh tersebut memberikan kontribusi yang penting bagi umat
Islam di dunia, khususnya dalam hal filsafat Islam. Atas dasar ini, maka kami
mencoba untuk mengulas pemikiran tokoh filsafat Islam yakani Al-Ghazali dan Ibn
Khaldun. Dalam hal ini penulis akan mengulas tentang pemikiran filosofi dari
kedua tokoh tersebut dan pandangan mereka terhadap pendidikan Islam. Kemudian
penulis akan mencoba membandingkan konsep pemikiran mereka tentang pendidikan
Islam, apakah konsep yang mereka ungkapkan sama ataukah berbeda?
Tujuannya agar kita bisa mengetahui pemikiran tokoh-tokoh
penting dalam dunia Islam. Pendidikan bukan saja dimiliki oleh barat yang
terkenal saat ini, tetapi pendidikan sejak dahulu telah dimiliki oleh dunia
Islam lewat tokoh-tokohnya. mudah-mudahan bermanfaat.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. BIOGRAFI AL-GHAZALI
1. Latar Belakang
Kultural Al-Ghazali
1.
Perjalanan Al-Ghazali, nama lengkapnya adalah
Abu hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali di lahirkan di Tusia di daerah
Khurasan (Persia), pada pertengahan abad ke-5 Hijriyah tepatnya pada tahun 450
Hijriyah bertepatan dengan 1059 M. Tetapi ada juga yang berpendapat bahwa ia
dilahirkan di Ghazalah, yang terletak di ujung Thus, sehingga dapat dikatakan
ia memiliki darah Persia.[2] Sementara
tentang sejarah ibunya tidak banyak orang yang mengetahuinya, selain bahwa dia
hidup hingga menyaksikan kehebatan anaknya di bidang ilmu pengetahuan dan
melihat popularitasnya serta gelar tertinggi di bidang keilmuan.[3]
Ayah Al-Ghazali adalah seorang tasawuf yang
sholeh dan meninggal dunia ketika Al-Ghazali masih kecil. Ia seorang laki-laki
miskin yang bekerja sebagai tukang tenun sutera. Sang ayah ingin sekali
Al-Ghazali tumbuh di lingkungan yang Islami. Karena itu sebelum wafatnya ia
menitipkan Al-Ghazali dan adiknya kepada seorang temannya yang sufi dan
menyerahkan biaya hidup untuk mereka berdua. Sang sufi adalah seorang yang
miskini. Karena itu ketika biaya hidupnya habis, maka ia menyerahkan keduanya
ke salah satu sekolah yang didirikan oleh Nizham al-Mulk yang dapat menyediakan
asrama dan biaya hidup bagi pelajar.[4]
Al-Ghazali memulai pendidikannya di wilayah
kelahirannya Tus dengan mempelajari dasar-dasar pengetahuan. Selanjutnya ia
pergi ke Nisyafur dan Khurasan yang pada waktu itu kedua kota tersebut terkenal
dengan pusat ilmu pengetahuan terpenting di dunia Islam. Di kota Nisyafur
inilah Al-Ghazali berguru kepada Imam al-Haramain Abi al-Ma'ali al-Juwainy,
seorang ulama yang bermazhab Syafi'I yang pada saat itu menjadi guru besar di
Nisyafur.[5] Diantara mata pelajaran yang dipelajari
Al-Ghazali di kota tersebut adalah teologi, hukum Islam, falsafat, logika,
sufisme dan ilmu-ilmu alam. Ilmu-ilmu yang dipelajarinya inilah yang kemudian
mempengaruhi sikap dan pandangan ilmiahnya dikemudian hari. [6] Setelah itu Al-Ghazali berkunjung kepada
Nidzam al-Mulk di kota Mu'askar, dan darinya ia mendapat kehormatan dan
penghargaan yang besar, sehingga ia tinggal di kota itu enam tahun lamanya.
Pada tahun 483 H/1090 M, ia diangkat menjadi guru di sekolah Nidzamah Baghdad,
dan pekerjaannya itu dilaksanakan dengan sangat berhasil sehingga banyak para
penuntut ilmu dan pengagumnya berguru kepadanya.[7]
Pada tahun 487 Hijriyah, khalifah al-Mustadhir
meminta Ghazali untuk menanggapi pemikiran kaum Islamiyah, yang terkenal dengan
al-Bathiniyah atau al-Ta'limiyah. Pada saat itu mereka merupakan
kekuatan yang luar bisaa. Dan Al-Ghazali sampai menulis tiga buku untuk
menanggapi pemikiran mereka.Setelah itu, Al-Ghazali mengalami krisis psikologi
yang serius dan mematikan seluruh kegiatannya serta membuatnya meninggalkan kegiatan
mengajarnya. Dalam bukunya al-Munqidz Min ad-Dhalal, Al-Ghazali menyatakan
bahwa krisis psikologilah yang membuatnya meninggalkan kedudukannya di madrasah
Nizhamiyah. Pekerjaan itu ditinggalkannya sekitar tahun 484 H, Untuk menuju
Damsyik dan dikota ini ia merenung, membaca dan menulis selama kurang lebih 2
tahun, dengan tasawuf sebagai jalan hidupnya.[8]
Kemudian ia pindah ke Palestina dan disinipun
ia tetap merenung, membaca dan menulis dengan mengambil tempat di masjid Baitul
Maqdis. Sesudah itu bergeraklah hatinya untuk menjalankan ibadah haji, dan
setelah selesai pulang ke negeri kelahirannya sendiri yaitu kota Tus dan disana
ia tetap seperti bisaanya, berkhalwat dan beribadah.[9]
Karena desakan penguasa pada masanya, yaitu
Muhammad, Al-Ghazali mau kembali mengajar di sekolah Nazamiyyah di Naisabur
tahun 499 H. akan tetapi pekerjaan ini berlangsung 2 tahun, untuk akhirnya
kembali ke kota Tus lagi, dimana ia kemudian mendirikan sebuah sekolah untuk
para fuqaha dan sebuah biara (Khangak) untuk para mutasawwifin.
Di kota itu pula ia meninggal dunia pada tahun 505 H/1111M, dalam usia 54
tahun.[10]
2. Karya-karya Al-Ghazali
Al-Ghazali banyak mengarang buku dalam berbagai
disiplin ilmu. Karangan-karangannya meliputi Fiqih, Ushul Fiqh, Ilmu Kalam,
Teologi kaum Salaf, bantahan terhadap kaum Batiniah, Ilmu Debat, Filsafat dan
khususnya yang menjelaskan tentang maksud filsafat serta bantahan terhadap kaum
filosof, logika, tasawuf, akhlak dan psikologi.Kitab yang terbesar Al-Ghazali,
yaitu 'Ulumuddin yang artinya "Menghidupkan Ilmu-ilmu Agama",
dan karangannya dalam beberapa tahun dalam keadaan berpindah-pindah antara
Syam, Yerussalem, Hajzz, dan Tus, dan yang berisi paduan yang indah antara
fiqh, tasawuf dan filsafat, bukan saja terkenal di kalangan kaum muslimin,
tetapi juga di kalangan dunia Barat dan Islam. Bukunya yang lain, yaitu al-Minqidz
min ad-Dlalal (Penyelamat dari Kesesatan), berisi sejarah perkembangan alam
pikirannya dan mencerminkan sikapnya yang terakhir terhadap beberapa macam
ilmu, serta jalan untuk mencapai Tuhan. Diantara penulis-penulis modern banyak yang mengikuti jajak
Al-Ghazali dalam menuliskan autobiografinya.
Selain
itu al-Ghazali juga menulis buku yang lainnya, yaitu:
a. Ma'ārij
al-Quds Fī Madārij Ma'rifat an-Nafs, cetakan II, Beirut: Dar al-Afaq
al-Jadidah, 1975.
b. Kīmiyā as-Sa'ādah,
ditahkikkan dan diberi komentar oleh Muhammas Abdul Alim, Kairo: Maktabah
al-Qur'an.
f. Tahāfut
al-Falāsifah, dua jilid, ditahkikkan oleh Sulaiman
Dunya, Kairo: Dar al-Ma'rif, 1980, 1981.[11]
3. Pemikiran
Filosofis Al-Ghazali
Metafisika
Al-Ghazali
Dalam pemikiran filsafat Al-Ghazali, terdapat empat unsur
pemikiran filsafat yang mempengaruhinya. Keempat unsur tersebut sebenarnya
merupakan hal-hal yang ditentang oleh Al-Ghazali, yaitu:
1.
Unsur pemikiran kaum Mutakallimin.
2.
Unsur pemikiran kaum filsafat.
3.
Unsur kepercayaan kaum bathiniah.
4.
Unsur kepercayaan kaum sufi.
Menurut Al-Ghazali terdapat beberapa buah filosof yang
dipandang tersebut antara lain: Tuhan tidak mempunyai sifat; Tuhan mempunyai
substansi dan tidak mempunyai hakikat; Tuhan tidak dapat diberi sifat;
planet-planet adalah bintang yang bergerak dengan kemauan; Hukum alam tak dapat
berubah; dan Jiwa planet-planet mengetahui semua.
Di samping itu Al-Ghazali juga telah berpolemik terhadap
filsafat pada umumnya yang tertuang di dalam bukunya yang berjudul Tahafut
al-Falasifah. Dalam buku tersebut secara umum Al-Ghazali menyerang
pendapat-pendapat filsafat Yunani dan filsafat Ibnu Sina yang meliputi 20
masalah antara lain:
a. Al-Ghazali menyerang dalil-dalil
filsafat (Aristoteles) tentang azalinya alam dan dunia. Di sini Al-Ghazali
berpendapat bahwa alam (dunia) berasal dari tidak ada menjadi ada sebab
diciptakan oleh Tuhan.
b. Al-Ghazali menyerang pendapat kaum
filsafat (Aristoteles) tentang pastinya keabadian alam. Ia berpendapat bahwa
soal keabadian alam itu terserah kepada Tuhan semata-mata. Mungkini saja alam
itu terus menerus tanpa akhir andaikata Tuhan menghendakiniya. Akan tetapi
bukanlah suatu kepastian harus adanya keabadian alam disebabkan oleh dirinya
sendiri di luar iradat Tuhan.
c. Al-Ghazali menyerang pendapat kaum
filsafat bahwa Tuhan hanya mengetahui soal-soal yang besar saja, tetapi tidak
mengetahui soal-soal yang kecil-kecil (juz iyat).
d. Al-Ghazali juga menentang pendapat
filsafat bahwa segala sesuatu terjadi dengan kepastian hukum sebab dan akibat
semata-mata, dan mustahil ada penyelewengan dari hukum itu. Bagi Al-Ghazali
segala peristiwa yang serupa dengan hukum sebab akibat itu hanyalah kebisaaan
(adat) semata-mata, dan bukan hukum kepastian. Dalam hal ini jelas Al-Ghazali
meyokong pendapat Ijraul-'adat dari Al-Asyari.[12]
Epistimologi
Al-Ghazali
Al-Ghazali memandang bahwa manusia memperoleh pengetahuan
melalui dua cara : Pertama, melalui belajar dibawah bimbingan seorang
guru, serta dengan menggunakan indera dan akal. Melalui cara ini, manusia
mengenal inderawi, menghasilkan ilmu dan pengetahuan, serta mempelajari huruf
dan keahlian. Kedua, melalui belajar yang bersifat Rabbani atau
belajar Ladunni, dimana terungkap pengetahuan hati secara langsung
melalui ilham dan wahyu.
Pengetahuan yang bersifat Rabbaniyah atau pengetahuan
Ladunniyah adalah tingkatan tertinggi pengetahuan. Pengetahuan ini
membutuhkan ibadah, kezuhudan Mujahadah (mendekatkan diri kepada Allah),
dan olah batin (Riyadhah an-Nafs) atas akhlak yang mulia.
Sepertinya al-Ghazali mengaitkan antara keluhuran dan kesempurnaan jiwa manusia
dengan keluhurannya dalam memperoleh pengetahuan. Oleh karena itu, semakini
meningkat dan luhur jiwa manusia melalui kontrakanya dengan Allah SWT, maka
semakini berkembang pengetahuannya.
Pengetahuan yang diperoleh manusia melalui alat indera dan
akal adalah pengetahuan yang terbatas, dan pengetahuan itu sendiri tidak
mengaitkan manusia dan alam ghaib. Sedangkan pengetahuan Rabbaniyah
adalah satu-satunya pengetahuan yang mengaitkan manusia dengan Allah SWT.
pengetahuan inilah yang dapat membuat manusia memperoleh ketenangan,
kebahagiaan, dan kenikmatan pengetahuan sejati. Dan manusia tidak akan
memperoleh pengetahuan Rabbaniyah, kecuali melalui pembersihan jiwa dari
sifat-sifat tercela, dan pendekatan jiwa dengan sifat-sifat terpuji yang
membuatnya siap menerima pengetahuan Rabbaniyah, yaitu pengetahuan
sejati[13]
Aksiologi
Al-Ghazali
Menurut
Al-Ghazali orang sufi benar-benar berada di atas jalan yang benar , berakhlak
yang baik dan berpengetahuan. Manusia sejauh mungkin meniru perangai dan sifat-sifat
Tuhan seperti pengasih, penyayang, pengampun (pemaaf), dan sifat-sifat yang
disukai Tuhan, sabar, jujur, takwa, ikhlas, zuhud, beragama dan sebagainya.
Dalam Ihya ‘Ulumuddin itu Al-Ghazali mengupas rahasia-rahasia ibadat dan
tasawuf dengan mendalam sekali. Misalnya dalam mengupas soal at-thaharah ia
tidak hanya mengupas kebersihan badan lahir saja, tetapi juga kebersihan
rohani. Dalam penjelasannya yang panjang lebar tentang salat, puasa, dan haji.
Kita dapat menyimpulkan bahwa bagi Al-Ghazali semua amal ibadah yang wajib itu
merupakan pangkal dari segala jalan pembersihan rohani.
Al-Ghazali
melihat sumber kebaikan manusia itu terletak pada kebersihan rohaninya dan asa
akrabnya terhadap Tuhan. Sesuai dengan prinsip Islam, Al-Ghazali menganggap Tuhan
sebagai pencipta yang aktif berkuasa, yang sangat memelihara dan menyebarkan
rahmat bagi sekalian alam.
Alghazali
juga sesuai dengan prinsip Islam, mengakui bahwa kebaikan tersebar di
mana-mana, juga materi. Hanya pemakainya yang disederhanakan, yaitu kurangi
nafsu dan jangan berlebihan.[14]
B. Pemikiran
Al-Ghazali Tentang Pendidikan Islam
1. Pendidikan
Islam
Adapun
pemikiran pendidikan Al-Ghazali termuat dalam tiga buku karangannya, yaitu Fatihat
al-Kitab, Ayyuha al-Walad dan Ihya Ulum al-Din. Menurut pendapat Imam
Ghazali, pendidikan yang baik merupakan jalan untuk mendekatkan diri kepada
Allah dan untuk mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat.[15]
Al-Ghazali
termasuk kedalam kelompok sufistik yang banyak menaruh perhatian yang besar
terhadap pendidikan, karena pendidikanlah yang banyak menentukan corak
kehidupan suatu bangsa dan pemikirannya. Dalam masalah pendidikan, Al-Ghazali
lebih cenderung berfaham empirisme. Hal ini disebabkan karena ia sangat
menekankan pengaruh pendidikan terhadap anak didik. Menurutnya seorang anak
tergantung kepada orang tua yang mendidiknya. Hati seorang anak itu bersih,
murni laksana permata yang berharga, sederhana dan bersih dari gambaran apapun.[16]
Al-Ghazali
merupakan sosok ulama yang menaruh perhatian terhadap proses internalisasi ilmu
dan pelaksana pendidikan. Menurutnya, untuk menyiarkan agama Islam, memelihara
jiwa dan taqarrub kepada Allah. Oleh karena itu pendidikan merupakan
ibadah dan upaya peningkatan kualitas diri. Pendidikan yang baik merupakan
jalan untuk mendekatkan diri Allah dan mendapatkan kebahagian dunia-akhirat.[17]
Salah
satu keistimewaan Al-Ghazali adalah penelitian, pembahasan dan pemikirannya
yang sangat luas dan mendalam dalam masalah pendidikan. Selain itu, ia juga
mempunyai pemikiran dan pandangan yang luas mengenai aspek-aspek pendidikan,
dalam arti bukan memperhatikan aspek akhlak semata-mata seperti yang di
tuduhkan oleh sebagian sarjana dan ilmuwan tetapi juga memperhatikan
aspek-aspek lain.
Pada
hakikatnya usaha pendidikan di mata Al-Ghazali adalah mementingkan semua hal
tersebut dan mewujudkannya secara utuh dan terpadu karena konsep pendidikan
yang di kembangkan Al-Ghazali berprinsip pada pendidikan manusia seutuhnya.
2. Kurikulum
Pendidikan Islam
Adapun
mengenai materi pendidikan Al-Ghazali berpendapat bahwa al-Quran beserta
kandungannya adalah merupakan ilmu pengetahuan. Isinya sangat bermanfaat bagi
kehidupan, membersihkan jiwa, memperindah akhlak, dan mendekatkan diri kepada
Allah. [18]
Pandangan
Al-Ghazali tentang kurikulum dapat dipahami dari pandangannya mengenai ilmu
pengetahuan. Ia membagi ilmu pengetahuan kepada yang terlarang dan yang wajib
dipelajari oleh anak didik menjadi tiga kelompok, yaitu:
1. Ilmu
yang tercela, banyak atau sedikit. Ilmu ini tidak ada manfaatnya bagi manusia
di dunia dan di akhirat.
2. Ilmu
yang terpuji, banyak atau sedikit. Ilmu ini akan membawa seseorang kepada jiwa
yang suci bersih dan mendekatkan diri kepada Allah SWT.
3. Ilmu
yang terpuji pada taraf tertentu, yang tidak boleh diperdalam, karena ini dapat
membawa kegoncangan iman dan meniadakan Tuhan seperti ilmu filsafat.[19]
Dari
ketiga kelompok ilmu tersebut Al-Ghazali membagi lagi ilmu-ilmu tersebut
menjadi dua kelompok ilmu dilihat dari segi kepentingannya, yaitu:
1. Ilmu-ilmu
fardu ain yang wajib di pelajari oleh semua orang Islam meliputi ilmu-ilmu
agama yakni ilmu yang bersumber dari kitab suci al-Quran.
2. Ilmu-ilmu
yang merupakan fardu kifayah, terdiri dari ilmu-ilmu yang dapat di manfaatkan
untuk memudahkan urusan hidup duniawi, seperti ilmu hitung (matematika), ilmu
kedokteran, ilmu teknik, ilmu pertanian dan industri[20].
Dari
kedua kategori ilmu tersebut Al-Ghazali merinci lagi menjadi:
1. Ilmu
al-Quran dan ilmu agama seperti fiqhi, hadist dan tafsir.
2. Ilmu-ilmu
bahasa, seperti nahwu sharaf, makhraj, lafal-lafalnya yang membantu ilmu agama.
3. Ilmu-ilmu
yang fardu kifayah, terdiri dari berbagai ilmu yang memudahkan urusan kehidupan
duniawi seperti ilmu kedokteran, matematika, teknologi (yang beraneka ragam
jenisnya), ilmu politik dan lain-lain.
3. Tujuan
Pendidikan
Menurut
Al-Ghazali tujuan pendidikan adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT,
bukan untuk mencari kedudukan, kemegahan dan kegagahan atau kedudukan yang
menghasilkan uang. Karena jika tujuan pendidikan diarahkan bukan untuk
mendekatkan diri kepada Allah, akan dapat menimbulkan kedengkian, kebencian dan
permusuhan. Selain itu rumusan tersebut mencerminkan sikap zuhud al-Ghazali
terhadap dunia, merasa qana'ah (merasa cukup dengan yanng ada), dan
banyak memikirkan kehidupan akhirat daripada kehidupan dunia.[22]
Selanjutnya
pemikiran tentang tujuan pendidikan Islam menurut Al-Ghazali dapat
diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu: Tujuan mempelajari ilmu pengetahuan
semata-mata untuk ilmu pengetahuan itu sendiri sebagai wujud ibadah kepada
Allah, Tujuan utama pendidikan Islam adalah pembentukan akhlakul al-karimah,
Tujuan pendidikan Islam adalah mengantarkan peserta didik mencapai
kebahagiaan dunia dan akhirat. Dengan ketiga tujuan ini di harapkan pendidikan
yang diprogramkan akan mampu mengantarkan peserta didik pada kedekatan diri
kepada Allah.[23]
4. Metode
Pendidikan Islam
Dalam
hal yang berhubungan dengan metode pendidikan Islam, Al-Ghazali menekankan
pentingnya bimbingan dan pembisaaan. Dalam menerapkan metode tersebut
Al-Ghazali menyarankan agar tujuan utama dari penggunaan metode tersebut di
selaraskan dengan tingkat usia, tingkat kecerdasan, bakat dan pembawaan anak
dan tujuannya tidak lepas dari hubungannya dengan nilai manfaat. Oleh karena
itu dalam metode pendidikannya ini Al-Ghazali cenderung mendasarkan
pemikirannya pada prinsip ajaran sufi (penyucian jiwa) dan pragmatis (nilai
guna).[24]
Dalam
uraiannya yang lain, Al-Ghazali juga meletakkan prinsip metode pendidikan pada
aspek mental atau sikap, sebagaimana kata-kata beliau "wajib atas para
murid untuk membersihkan jiwanya dari kerendahan akhlak dan dari sifat-sifatnya
yang tercela, karena bersihnya jiwa dan baiknya akhlak menjadi asas bagi
kemajuan ilmu yang dituntutnya." [25]
Dan hal tersebut dapat digunakan dengan menggunakan berbagai
macam metode antara lain: metode keteladanan, metode bimbingan dan penyuluhan,
metode cerita, metode motivasi, dan sebagainya.
Selain itu menurut Al-Ghazali dalam metode pendidikan ini
ada dua macam kecenderungan yaitu:
1. Kecenderungan
religius sofistis, yang meletakkan ilmu-ilmu agama di atas pemikirannya. Dan
melihatnya sebagai alat untuk menyucikan jiwa dan membersihkannya dari kotoran
duniawi. Dengan demikian ia menekankan kepentingan akhirat yang menurutnya
harus di kaitkan dengan pendidikan agama.
2. Kecenderungan
aktualitas manfaat yang tampak dari tulisan-tuliasannya meskipun ia seorang
sufi dan tidak suka kepada duniawi, namun dia mengulangi penilaiannya terhadap
ilmu-ilmu menurut kegunaanya bagi manusia baik di dunia ataupun di akhiratnya.
5. Pendidik
Sejalan
dengan pentingnya pendidikan untuk mencapai tujuan sebagaimana disebutkan
diatas, al-Ghazali juga menjelaskan tentang ciri-ciri pendidik yang boleh
melaksanakan pendidikan. Ciri-ciri tersebut adalah:[26]
- Guru harus mencintai muridnya seperti mencintai anak kandungnya sendiri.
- Guru jangan mengharapkan materi (upah) sebagai tujuan utama dari pekerjaannya (mengajar), karena mengajar adalah tugas yang diwariskan oleh Nabi Muhammad SAW. Sedangkan upahnya adalah terletak pada terbentuknya anak didik yang mengamalkan ilmu yang diajarkannya.
- Guru harus mengingatkan muridnya agar tujuannya dalam menuntut ilmu bukan untuk kebanggaan diri atau mencari keuntungan pribadi, tetapi untuk mendekatkan diri kepada Allah.
- Guru harus mendorong muridnya agar mencari ilmu yang bermanfaat, yaitu ilmu yang membawa pada kebahagiaan dunia dan akhirat.
- Di hadapan muridnya, guru harus memberikan contoh yang baik, seperti berjiwa halus, sopan, lapang dada, murah hati dan berakhlak terpuji lainnya.
- Guru harus mengajarkan pelajaran yang sesuai dengan tingkat intelektual dan daya tangkap anak didiknya.
- Guru harus mengamalkan apa yang di ajarkannya, karena ia menjadi idola di mata anak muridnya.
- Guru harus memahami minat, bakat dan jiwa anak didiknya, sehingga di sampaing tidak akan salah dalam mendidik, juga akan terjalin hubungan yang akrab dan baik antara guru dengan anak didiknya.
- Guru harus dapat menanamkan keimanan kedalam pribadi anak didinya, sehingga akal pikiran anak didik tersebut akan dijiwai oleh keimanan itu.
Tipe
ideal guru yang dikemukakan Al-Ghazali yang demikian sarat dengan norma akhlak
dan masih dianggap relevan, jika tidak dianggap hanya satu-satunya mode,
melainkan jika dilengkapi dengan persyaratan yang lebih bersifat akademis dan
profesi. Guru yang ideal di masa sekarang adalah guru yang memiliki persyaratan
kepribadian sebagai mana yang dikemukakan Al-Ghazali dan persyaratan akademis
dan profesional.[27]
6. Peserta
Didik
Dalam
kaitannya dengan peserta didik, lebih lanjut Al-Ghazali menjelaskan bahwa
mereka adalah makhluk yang telah dibekali potensi atau fitrah untuk beriman
kepada Allah. Fitrah itu sengaja disiapkan oleh Allah sesuai dengan kejadian
manusia, cocok dengan tabi'at dasarnya yang memang cenderung kepada agama
Islam.
Al-Ghazali
dalam memberikan pendidikan kepada umat, membagi manusia itu menjadi tiga
golongan yang sekaligus menunjukkan kepada keharusan menggunakan metode
pendekatan yang berbeda pula, yaitu:
a. Kaum
awam, yang cara berfikirnya sederhana sekali. Dengan cara berfikir terebut,
mereka tidak dapat mengembangkan hakikat-hakikat. Mereka mempunyai sifat lekas
percaya dan menurut. Golongan ini harus dihadapi dengan sikap memberi nasehat
dan petunjuk.
b. Kaum
pilihan, yang akalnya tajam dengan cara berfikir yang mendalam. Kepada kaum
pilihan tersebut, harus dihadapi dengan sikap menjelaskan hikmat-hikmat.
c. Kaum
penengkar (ahl al jidal), mereka harus dihadapi dengan sikap mematahkan
argumen-argumen mereka.
Di
samping itu Al-Ghazali juga membagi manusia kedalam dua golongan besar, yaitu
golongan awam dan golongan khawas, yang daya tangkapnya tidak sama. Oleh karena
itu apa yang dapat diberikan kepada golongan khawas tidak selamanya dapat
diberikan kepada golongan awam. Dan sebaliknya pengertian kaum awam dan kaum
khawas dalam hal sama, sering kali berbeda dan perbedaan itu disebabkan karena
perbedaan daya berfikir masing-masing. Bisaanya kaum awam membaca apa yang
tersurat dan kaum khawas, membaca apa yang tersirat.[28]
Selanjutnya
menurut Al-Ghazali dalam menuntut ilmu, peserta didik memilki tugas dan
kewajiban, yaitu:
1. Mendahulukan
kesucian jiwa.
2. Bersedia
merantau untuk mencari ilmu pengetahuan.
3. Jangan
menyombongkan ilmunya dan menentang guru.
Dengan
tugas dan kewajiban tersebut diharapkan seorang peserta didik mampu untuk
menyerap ilmu pengetahuan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.
C. BIOGRAFI IBN KHALDUN
1.
Sosio-Kultural Ibn Khaldun
Abd
al-Rahman Abu Zaid Ibn Muhammad Ibn Muhammad Ibn Khaldun (lebih dikenal dengan
Ibn Khaldun) lahir di Thunisia pada tanggal 1 Ramadhan 732 H/27 Mei 1332 M. dan
meninggal di Cairo tanggal 25 Ramadhan 808 H/19 Maret 1406 M. ia dikenal
sebagai pakar kenegaraan, sejarawan, dan ahli hukum mazhab Maliki. Asal usul nenek
moyangnya berasal dari Hadramaut yang kemudian melakukan imigrasi ke sevill
(Spanyol) pada abad ke-8, bersamaan dengan gelombang penaklukan Islam di
Semenanjung Andalusia. Keluarganya merupakan tokoh politik yang cukup
berpengaruh. Diantara keluarganya, hanya ayahnya yang tidak terjun di bidang
pendidikan dan memilih untuk lebih intens di bidang pendidikan.[30]
Latar belakang keluarga dan saat ia dilahirkan serta menjalani hidupnya
tampaknya merupakan faktor yang menentukan dalam perkembangan pemikirannya.
Keluarganya telah mewariskan tradisi intelektual kedalam dirinya.[31]
Sebagaimana
para pemikir Islam lainnya, pendidikan masa kecilnya berlangsung secara
tradisional. Artinya, ia harus belajar membaca al-Qur'an, hadits, fiqh, sastra,
dan nahwu sharaf.[32]Khaldun
pertama kali menerima pendidikan langsung dari ayahnya. Di samping dengan
ayahnya ia juga mempelajari tafsir, hadits, fiqih (Maliki), gramatika Bahasa
Arab, ilmu mantiq, dan filsafat dengan sejumlah ulama Andalusia dan Thunisia.
Pendidikan formalnya di laluinya hanya sampai pada usia 17 tahun. Ia belajar
al-Qur'an berikut tafsirnya, fiqh, tasawuf, dan filsafat. Dalam usia yang masih
relatif muda ini ia telah mampu menguasai beberapa disiplin ilmu klasik,
termasuk 'ulum 'aqliyah (ilmu-ilmu filsafat, tasawuf, dan metafisika).
Di samping itu, Khaldun juga tertarik untuk mempelajari dan menggeluti ilmu
politik, sejarah, ekonomi, geografi, dan lain sebagainya.
Ketika
usianya melewati 17 tahun, ia kemudian belajar sendiri (otodidak), meneruskan
apa yang telah diperolehnya pada masa pendidikan formal sebelumnya. Di samping
memegang jabatan penting kenegaraan, seperti qadhi, diplomat, dan guru pada berbagai
kesempatan.
Selama
40 tahun, Khaldun hidup di Spanyol dan Afrika Utara. Di sini, ia senantiasa
dihadapkan pada situasi pergolakan politik dan memegang jabatan penting dibawah
para penguasa yang silih berganti. Sekembalinya ia ke Afrika Utara, Khaldun
memutuskan untuk menunaikan ibadah haji. Pada tahun 1832 M, ia kemudian pergi
ke Iskandariyah. Akan tetapi, dalam perjalanannya ia terlebih dahulu singgah di
Mesir. Karena popularitas dan kredebilitasnya sebagai seorang ilmuan, maka atas
permintaan raja dan rakyat Mesir, ia ditawari menduduki jabatan guru dan ketua
Mahkamah Agung Dinasti Mamluk. Tawaran ini akhirnya di terima sehingga niatnya
untuk melaksanakan haji terpaksa di tunda. Keinginannya ini baru dapat terwujud
pada tahun 1837 M.
Dari
tahun 1832 M hingga wafatnya Ibn Khaldun memegang jabatan sebagai guru besar
dan rektor di Madrasah Qamliyah serta ketua Hakim Agung (Mufti) di Mesir selama
6 periode. Disinilah ia memanfaatkan sisa usianya untuk mengembangkan dan
mengabdikan ilmu pengetahuan yang selama ini ditinggalkannya.
2.
Karya-karya Ibn Khaldun
Buku
pertama dari Ibn khaldun adalah Lubab Al-Muhashshal, diselesaikan atas
bimbingan guru yang dicintainya, Al-Abili, pada waktu Ibn Khaldun baru berusia
19 tahun dan masih berada di Thunisia. Buku yang terakhir, yaitu sebuah
komentar atas puisi rajaz mengenai ushul al-fiqh karya Ibn
Khathib, mungkini dikerjakan di Granada, sekitar 765 H/1363 M, ia telah banyak
menulis risalah, walaupun kurang begitu penting. Mayoritas karyanya kemudian
berhubungan dengan persoalan-persoalan teologico-filosofis.
Masih
ada lagi sebuah karya sebelum kitab Al-Ibar, yaitu Syifa' Al-Sa'il yang ditulis
selama masa singgahnya yang kedua di Fez sekitar 775 H/1373 M. ia tidak
melontarkan sepatah kata pun berkenaan dengan teks ini (yang merupakan
sumbangan nyata bagi mistisme Islam) dalam autografinya.[33]
Selain
itu Ibn Khaldun juga menulis sebuah karya yang momumental, yaitu al-'Ibar wa
Diwan al-Mubtada' wa al-Khabar fi ayyami al-A'rab wa al-'Ajam wa al-Barbar wa
man 'Asarahun min Dzami as-Sulthan al-Akbar. Seluruh bangunan ilmunya dalam
kitab al-Muqaddimah memaparkan tentang ilmu sosial, kebudayaan, dan
sejarah. Sementara cakupan kitab al-'Ibar merupakan bukti
empiris-historis dari teori yang dikembangkannya. Orisinalitas dan kedalaman
pemikirannya, telah berhasil meletakkan karyanya al-Muqaddimah sebagai
sebuah karya besar yang unik dan melampui zamannya.
3.
Pemikiran Filosofis Al-Ghazali
Metafisika
Ibn Khaldun
Dalam
bab yang berjudul "suatu penolakan terhadap filsafat dan penyelewengan
dari pengkajiannya", Ibn Khaldun memilih tesis Neoplatonik yang menyatakan
adanya hierarki wujud, dari yang indrawi hingga yang supra-indriawi yang
berpuncak pada akal pertama yang identik dengan Wujud Niscaya (Tuhan) dan
gagasan yang menyatakan bahwa pikiran manusia mampu mencapai pengetahuan tanpa
bantuan wahyu. Lebih jauh, bagi orang yang mengetahui, pengetahuan menghasilkan
kebahagiaan.
Di
satu pihak, bagi Ibn Khaldun, semua penalaran metafisik bersandar dan
bergantung pada"intelijibel-intelijibel kedua". Bahkan,
kesesuaian yang kita temukan antara intelijibel primer (hal-hal
partikular) dan exsintentia individual (proposisi-proposisi yang menggambarkan
hal-hal khusus primer tadi) bukan kemestian logis, melainkan harus dibuktikan
secara empiris. Merujuk pada plato yang berlawanan dengan Theologica pseudo
Aristoteles, ia berkata bahwa dalam bidang ini kita mungkini sekedar mendapatkan
dugaan saja. Lagi pula, ketika mengklaim hendak melukiskan dan mengungkapkan
hakikat Tuhan, teori-teori Neoplatonik mempunyai pengaruh buruk terhadap
entitas politik karena dapat menggeser ajaran agama dari fungsi pokoknya yang
diperlukan bukan saja oleh negara, melainkan juga organisasi sosial. Bagi Ibn
Khaldun klaim ini mengandaikan secara keliru bahwa seorang yang berpersepsi
menyusun eksistensi dalam persepsi-persepsinya. Tetapi menurut Ibn Khaldun baik
eksistensi yang luas bagi akal manusia maupun kebahagiaan yang dijanjikan tidak
mungkin tercakup.[34]
Epistimologi
Ibn Khaldun
Ibn
Khaldun berpendapat bahwa pertumbuhan pendidikan dan ilmu pengetahuan
dipengaruhi oleh peradaban. Hal ini dapat dilihat pada negara Qairawan dan
Cordova yang keduanya berperadaban Andalus dan luas pula problematikanya atau
heterogen. Di situ terdapat pertumbuhan ilmu, pabrik-pabrik, pasar yang tersusun
rapi. Keadaan ini akan berpengaruh terhadap corak pendidikannya.
Pada
bagian lain, Ibn Khaldun mengatakan bahwa adanya perbedaan lapisan sosial
timbul dari hasil kecerdasannya yang diproses melalui pengajaran. Hal ini
berbeda dengan apa yang diduga oleh sebagian orang yang mengatakan bahwa
perbedaan ini bersumber pada perbedaan hakikat manusia.
Menurutnya,
ilmu pengetahuan dalam kebudayaan umat Islam dapat dibagi menjadi dua bagian,
yaitu: ilmu pengetahuan Syar'iyyah dan ilmu pengetahuan filosofis. Ilmu
pengetahuan Syar'iyyah berkenaan dengan hukum dan ajaran agama Islam.
Ilmu ini diantaranya tentang al-Qur'an, Hadits, prinsip-prinsip Syari'ah, fiqh,
teologi, dan sufisme. Sementara ilmu pengetahuan filosofis meliputi:
logika, ilmu pengetahuan alam (fisika), metafisika, dan matematika. Ilmu
pengetahuan filosofis juga sering di sebut sains alamiah. Hal ini
disebabkan karena dengan potensi akalnya, setiap orang memiliki kemampuan untuk
menguasainya dengan baik.
Ilmu
pengetahuan Syar'iyyah dan filosofis merupakan pengetahuan yang
ditekuni manusia (peserta didik) dan saling berinteraksi, baik dalam proses
memperoleh atau proses mengajarkan. Konsepsi ini kemudian merupakan pilar dalam
merekonstruksi kurikulum pendidikan Islam yang ideal, yaitu kurikulum pendidikan
yang mampu mengantarkan peserta didik yang memiliki kemampuan membentuk dan
membangun peradaban manusia
Berkenaan
dengan ilmu pengetahuan, Ibn Khaldun membaginya menjadi tiga macam, yaitu:
a. Ilmu
lisan (bahasa) yaitu ilmu tentang tata bahasa (gramatika) sastra atau bahasa
yang tersusun secara puitis (sya'ir).
b. Ilmu
naqli, yaitu ilmu yang diambil dari kitab suci dan sunah nabi. Ilmu ini berupa
membaca kitab suci al-Qur'an dan tafsirnya, sanad dan hadits yang
pentashihannya serta istinbath tentang kaidah-kaidah fiqh. Dengan ilmu ini
manusia akan dapat mengetahui hukum-hukum Allah yang diwajibkan kepada manusia.
Dari al-Qur'an itulah akan didapati ilmu-ilmu tafsir, ilmu hadits, ilmu ushul
fiqih, yang dapat dipakai untuk menganalisa hukum-hukum Allah itu melalui cara
istinbath.
c. Ilmu
'aqli, yaitu ilmu yang dapat menunjukkan manusia dengan daya fikir atau
kecerdasannya kepada filsafat dan semua ilmu pengetahuan. Termasuk di dalam
katagori ilmu ini adalah ilmu mantiq (logika), ilmu alam, ilmu ketuhanan,
ilmu-ilmu teknik, ilmu hitung, ilmu tingkah laku manusia, termasuk juga ilmu
sihir dan ilmu nujum (perbintangan). Mengenai ilmu nujum, Ibn Khaldun
menganggapnya sebagai ilmu yang fasid, karena ilmu ini dapat dipergunakan untuk
meramalkan segala kejadian sebelum terjadi atas dasar perbintangan. Ini
merupakan sesuatu yang batil, berlawanan dengan ilmu tauhid yang menegaskan
bahwa tak ada yang menciptakan kecuali Allah sendiri.
Aksiologi
Ibn Khaldun
Menurut
Ibn Khaldun dalam pandangan aksiologinya bahwa manusia berbeda dengan makhluk
yang lain karena manusia memiliki akal yang telah diberikan Tuhan kepadanya.
Dengan akal tersebut manusia bias menciptakan tekbologi yang canggih dan bisa
merubah peradaban manusia. Dan hal tersebut tidak terlepas dari wujud Tuhan
yang ada yang tidak bias dibuktikan secara empiris tetapi hanya bias di yakini.
Pengaplikasian
semua ilmu yang ada dalam diri kita, bias membawa kita kepada keberhasilan
peradaban masyarakat. Khaldun adalah seorang sejarawan yang telah memilki banyak
pengalaman dari perjalanannya dan dari sanalah konsep filosofisnya mengalami
perkembangan. Ia menitik beratkan pemikirannya pada pengalaman yang ada dan
menurutnya manusia adalah makhluk semprna dari makhluk yang ada. Dan tujuan
dari penerapan ilmu yang dimilki adalah bukan semata untuk kebahagiaan akhirat
tetapi juga untuk kebutuhan duniawi.
D. Pemikiran Ibn Khaldun Tentang
Pendidikan Islam
1. Ilmu
dan Pendidikan
Menurut
pandangan Ibn Khaldun, ilmu dan pendidikan sebagai suatu gejala konklusi yang lahir
dari terbentuknya masyarakat dan perkembangan di dalam tahapan kebudayaan dan
mendorong manusia untuk memiliki pengetahuan yang penting baginya di dalam
kehidupan yang sederhana pada periode pertama pembentukan masyarakat. Lalu
lahirlah ilmu-ilmu dengan bertumpuknya pengetahuan, sejalan dengan perjalanan
masa, karena ilmu lahir sebagai akibat dari kebimbangan pikiran. Kemudian lahir
pula pendidikan sebagai akibat adanya kesenangan manusia untuk memahami dan
mendalami pengetahuan. Jadi ilmu dan pendidikan merupakan dua anak yang lahir
dari kehidupan yang berkebudayaan dan bekerja untuk melestarikan dan
meningkatkannya.
Oleh
karena itu Ibn Khaldun berpendapat bahwa pendidikan berusaha untuk melahirkan
masyarakat yang berkebudayaan dan bekerja untuk melestarikan eksistensi
masyarakat selanjutnya, maka pendidikan akan mengarahkan kepada pengembangan
sumber daya manusia yang berkualitas.
Rumusan
pendidikan yang dikemukakan oleh Ibn Khaldun adalah merupakan hasil dari
berbagai pengalaman yang dilaluinya sebagai seorang ahli filsafat sejarah dan
sosiologi yang mencoba menghubungkan antara konsep dan realita. Sebagai seorang
ahli filsafat sejarah, tentu ia menggunakan pendekatan filsafat sejarah atau historical
philosophy approach, karena kedua pendekatan tersebut akan mempengaruhi
terhadap system berfikir dan pemikirannya dalam pembahasan setiap permasalahan,
karena kedua pendekatan tersebut mampu merumuskan beberapa pendapat dan
interpretasi dari suatu kenyataan dan pengalaman yang telah dilalui.[35]
2. Kurikulum
Pendidikan Islam
Pemikiran
Khaldun tentang kurikulum dapat dilihat dari konsep epistimologinya.
Menurutnya, ilmu pengetahuan dalam kebudayaan umat Islam dapat dibagi menjadi
dua bagian, yaitu: ilmu pengetahuan Syar'iyyah dan ilmu pengetahuan filosofis.
Ilmu pengetahuan Syar'iyyah berkenaan dengan hukum dan ajaran agama
Islam. Ilmu ini diantaranya tentang al-Qur'an, Hadits, prinsip-prinsip
Syari'ah, fiqh, teologi, dan sufisme. Sementara ilmu pengetahuan filosofis meliputi:
logika, ilmu pengetahuan alam (fisika), metafisika, dan matematika. Ilmu
pengetahuan filosofis juga sering di sebut sains alamiah. Hal ini
disebabkan karena dengan potensi akalnya, setiap orang memiliki kemampuan untuk
menguasainya dengan baik.
Ilmu
pengetahuan Syar'iyyah dan filosofis merupakan pengetahuan yang
ditekuni manusia (peserta didik) dan saling berinteraksi, baik dalam proses
memperoleh atau proses mengajarkan. Konsepsi ini kemudian merupakan pilar dalam
merekonstruksi kurikulum pendidikan Islam yang ideal, yaitu kurikulum
pendidikan yang mampu mengantarkan peserta didik yang memiliki kemampuan
membentuk dan membangun peradaban manusia.[36]
Selain
itu, berkenaan dengan ilmu pengetahuan, Ibn Khaldun membaginya menjadi tiga
macam, yaitu:
a. Ilmu
lisan (bahasa) yaitu ilmu tentang tata bahasa (gramatika) sastra atau bahasa
yang tersusun secara puitis (sya'ir).
b. Ilmu
naqli, yaitu ilmu yang diambil dari kitab suci dan sunah nabi. Ilmu ini berupa
membaca kitab suci al-Qur'an dan tafsirnya, sanad dan hadits yang
pentashihannya serta istinbath tentang kaidah-kaidah fiqh. Dengan ilmu ini
manusia akan dapat mengetahui hukum-hukum Allah yang diwajibkan kepada manusia.
Dari al-Qur'an itulah akan didapati ilmu-ilmu tafsir, ilmu hadits, ilmu ushul
fiqih, yang dapat dipakai untuk menganalisa hukum-hukum Allah itu melalui cara
istinbath.
c. Ilmu
'aqli, yaitu ilmu yang dapat menunjukkan manusia dengan daya fikir atau
kecerdasannya kepada filsafat dan semua ilmu pengetahuan. Termasuk di dalam
katagori ilmu ini adalah ilmu mantiq (logika), ilmu alam, ilmu ketuhanan,
ilmu-ilmu teknik, ilmu hitung, ilmu tingkah laku manusia, termasuk juga ilmu
sihir dan ilmu nujum (perbintangan). Mengenai ilmu nujum, Ibn Khaldun
menganggapnya sebagai ilmu yang fasid, karena ilmu ini dapat dipergunakan untuk
meramalkan segala kejadian sebelum terjadi atas dasar perbintangan. Ini
merupakan sesuatu yang batil, berlawanan dengan ilmu tauhid yang menegaskan
bahwa tak ada yang menciptakan kecuali Allah sendiri.
Ilmu
yang harus diajarkan kepada anak didik menurut Ibnu Khaldun ada empat macam,
yaitu:
1. Ilmu
Syari'ah dengan segala jenisnya.
2. Ilmu
filsafat seperti ilmu alam dan ilmu ketuhanan.
3. Ilmu
alat yang membantu ilmu agama seperti ilmu bahasa, gramatika, dan sebagainya.
Selain
itu Ibn Khaldun berpendapat bahwa al-Qur'an adalah ilmu yang pertama kali harus
diajarkan kepada anak, karena mengajarkan al-Qur'an kepada anak termasuk
syari'at Islam yang dipegang teguh oleh para ahli agama dan dijunjung tinggi
oleh setiap negara Islam. Al-Qur'an yang telah ditanamkan pada anak didik akan
jadi pegangan hidupnya, karena pengajaran pada masa kanak-kanak masih mudah,
karena otak si anak masih jernih.[38]
3. Tujuan
Pendidikan Islam
Rumusan
Ibn Khaldun mengenai tujuan pendidikan adalah untuk:
a. Memberikan
kesempatan kepada pikiran untuk aktif dan bekerja, karena aktifitas ini bagi
terbukanya pikiran dan kematangan individu, kemudian kematangan ini akan
mendapatkan faedah bagi masyarakat.
b. Memperoleh
berbagai ilmu pengetahuan, sebagai alat untuk membantunya, hidup dengan baik di
dalam masyarakat yang maju dan berbudaya.
c. Memperoleh
lapangan pekerjaan, yang digunakan untuk meperoleh rizki.
Ada
beberapa faktor yang dijadikan alasan untuk merumuskan tujuan pendidikan,
yaitu:
1. Pengaruh
filsafat sosiologi, yang tidak bisa memisahkan antara masyarakat, ilmu
pengetahuan dan kebutuhan masyarakat.
2. Perencanaan
ilmu pengetahuan sangat menentukan bagi perkembangan masyarakat berbudaya.
3. Pendidikan
sebagai aktivitas akal insani, merupakan salah satu industri yang berkembang di
dalam masyarakat, karena sangat urgen dalam kehidupan setiap individu.
Rumusan
tujuan pendidikan dan factor-faktor yang dijadikan sebagai dasar pertimbangan
menentukan tujuan pendidikan, tampaknya masih ada kesesuaian dengan pendidikan
pada masa kini.[39]
4. Metode
Pendidikan Islam
Menurut
Ibn Khaldun bahwa mengajarkan pengetahuan kepada pelajar hanyalah akan bermanfaat
apabila dilakukan dengan berangsur-angsur, setapak demi setapak dan sedikit
demi sedikit. Pertama ia harus diberi pelajaran tentang soal-soal mengenai
setiap cabang yang dipelajarinya. Keterangan-keterangan diberikan harus secara
umum, dengan memperhatikan kekuatan pikiran pelajar dan kesanggupannya memahami
apa yang diberikan kepadanya. Apabila dengan jalan itu seluruh pembahasan pokok
telah dipahami, maka ia telah memperoleh keahlian dalam cabang ilmu pengetahuan
tersebut, tetapi itu baru sebagian keahlian yang belum lengkap. Sedangkan,
hasil keseluruhan dari keahliannya itu adalah ia memahami pembahsan pokok itu
seluruhnya dengan segala seluk beluknya. Untuk itu jika pembahasan yang pokok
itu belum dicapai dengan baik, maka harus diulanginya kembali hingga dikuasai
benar.
Dalam
menggunakan metode pendidikan seorang pendidik hendaknya memperhatikan enam
prinsip utama, yaitu:
1. Prinsip
pembisaaan.
2. Prinsip
berangsur-angsur.
3. Prinsip
pengenalan umum.
4. Prinsip
kontinuitas.
5. Prinsip
memperhatikan bakat dan kemampuan peserta didik.
5. Pendidik
Seorang
pendidik hendakanya memiliki pengetahuan yang memadai tentang perkembangan
psikologi peserta didik. Pengetahuan ini akan sangat membantunya untuk mengenal
setiap individu peserta didik dan mempermudah dalam melaksanakan proses belajar
mengajar. Para pendidik hendakanya mengetahui kemampuan dan daya serap peserta
didik. Kemampuan ini akan bermanfaat bagi menetapkan materi pendidikan yang
sesuai dengan tingkat kemampuan peserta didik. Bila pendidik memaksakan materi
di luar kemampuan peserta didiknya, maka akan menyebabkan kelesuan mental dan
bahkan kebencian terhadap ilmu pengetahuan yang di ajarkan. Bila ini terjadi,
maka akan menghambat proses pencapaian tujuan pendidikan. Oleh karena itu,
diperlukan keseimbangan antara materi pelajaran yang sulit dan mudah dalam
cakupan materi pendidikan.[41]
6. Peserta
Didik
Ibn
Khaldun memandang manusia (peserta didik) sebagai mahluk yang berbeda dengan
berbagai mahluk yang lain. Manusia, kata Ibn Khaldun adalah mahluk berfikir.
Oleh karena itu ia mampu melahirkan ilmu (pengetahuan) dan teknologi.
Sifat-sifat semacam ini tidak dimiliki oleh mahluk yang lain. Lewat kemampuan
berpikirnya itu, manusia tidak hanya membuat kehidupannya, tetapi juga menaruh
perhatian terhadap berbagai cara guna memperoleh makanya hidup. Proses-proses
yang semacam ini melahirkan peradaban.
Pada
bagian lain, Ibn Khaldun berpendapat bahwa dalam proses belajar atau menuntut
ilmu pengetahuan, manusia disamping harus sungguh-sungguh juga harus memiliki
bakat. Menurutnya, dalam mencapai pengetahuan yang bermacam-macam itu seseorang
tidak hanya membutuhkan ketekunan, tetapi juga bakat. Berhasilnya suatu
keahlian dalam satu bidang ilmu atau disiplin memerlukan pengajaran.[42]
E. Analisis Dan Perbandingan
Konsep
pemikiran pendidikan Islam, Al-Ghazali berpendapat pendidikan yang baik merupakan
jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah dan untuk mendapatkan kebahagiaan
dunia dan akhirat. Al-Ghazali menggabungkan antara kebahagiaan di dunia dan
kebahagiaan di akhirat. Sedangkan pemikiran Ibn Khaldun tentang pendidikan
Islam adalah pendidikan berusaha untuk melahirkan masyarakat yang berkebudayaan
dan bekerja untuk melestarikan eksistensi masyarakat selanjutnya, maka
pendidikan akan mengarahkan kepada pengembangan sumber daya manusia yang
berkualitas. konsep pendidikan yang dikemukakan oleh Ibn Khaldun adalah
merupakan hasil dari berbagai pengalaman yang dilaluinya sebagai seorang ahli
filsafat sejarah dan sosiologi yang mencoba menghubungkan antara konsep dan
realita. Jadi disini terlihat bahwa Al-Ghazali berbeda pendapat dengan Ibn
Khaldun tentang pendidikan.
Tentang
kurikulum pendidikan Islam al-Ghazali mengatakan bahwa al-Quran beserta
kandungannya adalah merupakan ilmu pengetahuan. Isinya sangat bermanfaat bagi
kehidupan, membersihkan jiwa, memperindah akhlak, dan mendekatkan diri kepada
Allah. Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan Ibn Khaldun. Ia berpendapat
bahwa al-Qur'an adalah ilmu yang pertama kali harus diajarkan kepada anak,
karena mengajarkan al-Qur'an kepada anak termasuk syari'at Islam yang dipegang
teguh oleh para ahli agama dan dijunjung tinggi oleh setiap negara Islam.
Al-Qur'an yang telah ditanamkan pada anak didik akan jadi pegangan hidupnya,
karena pengajaran pada masa kanak-kanak masih mudah, karena otak si anak masih
jernih
Pandangan
Ibn Khaldun tentang pendidikan, berbeda dengan pandangan Al-Ghazali mengenai
tujuan pendidikan. Menurut Al-Ghazali tujuan pendidikan Islam hanyalah untuk
mendekatkan diri kepada Allah, sedangkan pendapat Ibn Khaldun sudah dihubungkan
dengan memperoleh rizki.
Mengapa
tujuan pendidikan Islam dimasukkan Ibn Khaldun untuk mendapatkan rizki?
Ternyata pengalaman, pengamatannya dalam pergaulan dan pengalaman bekerja dalam
berbagai lapangan pekerjaan serta kepandaiannya dalam berbagai ilmu pengetahuan
telah membawanya ke puncak kejayaan dan kepercayaan penguasa yang sedang
berkuasa. Dengan demikian pendapat Ibn Khaldun sudah mulai maju selangkah,
artinya ia sudah memunculkan suatu pendapat baru, yang berbeda dengan
AL-Ghazali. Dari pendapat Ibn Khaldun tersebut sudah ada pergeseran nilai
mengenai pengertian ikhlas dari pendapat Al-Ghazali dalam mengamalkan
pengetahuan. Maka keberaniannya mengemukakan pendapat yang berbeda itulah ia
memperoleh temuan-temuan baru, yang dapat diaplikasikan pada masa kini,
sehingga di antara rumusannya mengenai pendidikan masa kinii masih up to
date.
Dalam
hal yang berhubungan dengan metode pendidikan Islam, Al-Ghazali menekankan
pentingnya bimbingan dan pembisaaan. Dalam menerapkan metode tersebut
Al-Ghazali menyarankan agar tujuan utama dari penggunaan metode tersebut di selaraskan
dengan tingkat usia, tingkat kecerdasan, bakat dan pembawaan anak dan tujuannya
tidak lepas dari hubungannya dengan nilai manfaat. Metode pendidikan Islam menurut Ibn
Khaldun adalah bahwa mengajarkan pengetahuan kepada pelajar hanyalah akan bermanfaat
apabila dilakukan dengan berangsur-angsur, setapak demi setapak dan sedikit
demi sedikit. Metode pendidikan Islam yang disampaikan Ghazali selaras
dengan yang disampaikan Ibn Khaldun.
Tentang
Pendidik Al-Ghazali menekankan bahwa seorang pendidik harus memiliki
norma-norma yang baik, khususnya norma akhlak. Karena pendidik adalah merupakan
contoh bagi anak didiknya. Mengenai pendidik Ibn Khaldun mengatakan seorang
pendidik hendakanya memiliki pengetahuan yang memadai tentang perkembangan
psikologi peserta didik. Pengetahuan ini akan sangat membantunya untuk mengenal
setiap individu peserta didik dan mempermudah dalam melaksanakan proses belajar
mengajar. Para pendidik hendakanya mengetahui kemampuan dan daya serap peserta
didik
Dalam
kaitannya dengan peserta didik, lebih lanjut Al-Ghazali menjelaskan bahwa
mereka makhluk yang telah dibekali potensi atau fitrah untuk beriman kepada
Allah. Fitrah itu sengaja disiapkan oleh Allah sesuai dengan kejadian manusia,
cocok dengan tabi'at dasarnya yang memang cenderung kepada agama Islam.
Selanjutnya tentang anak didik, Ibn Khaldun memandang manusia (peserta didik)
sebagai mahluk yang berbeda dengan berbagai mahluk yang lain. Manusia, kata Ibn
Khaldun adalah mahluk berfikir. Oleh karena itu ia mampu melahirkan ilmu
(pengetahuan) dan teknologi. Pemikiran ini sejalan dengan apa yang disampaikan
Ghazali karena mengakui adanya kemampuan dari masing individu sejak lahirnya
kedunia.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, Yogyakarta:
Islamika, 2003.
Arifin
M., Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta, Bumi Aksara, 1991.
Hanafi,
Ahmad, Pengantar Filsafat Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1990.
Jalaluddin
& Usman Said, Filsafat Pendidikan Islam, Konsep dan Perkembangan
Pemikiran, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1994.
Kholiq,
Abdul Dkk., Pemikiran Pendidikan Islam Kajian Tokoh Klasik &
Kontemporer, Yogyakarta: Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang
bekerjasama dengan Pustaka Pelajar, 1999.
Leaman, Seyyed Hossein Nasr dan Oliver, Ensiklopedi
Tematis Filsafat Islam, Bandung: Penerbit Mizan dan anggota IKAPI, 2003.
Nata, Abuddin, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta:
Logos Wacana Ilmu, 1997.
Najati, Muhammad Utsman, Jiwa Dalam Pandangan Filosofis
Muslim, Bandung: Pustaka Hidayah, 2002.
Nizar,
Samsul, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta, Ciputat Pers, 2002.
Sudarsono,
Filsafat Islam, Jakarta: PT Rineka Cipta, 1997.
Tadjab, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, Malang:
Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel, 1984.
[1]Winarno,Surachman,Pendidikan
Nasional Strategi dan Tragedi,(Jakarta: Penerbit Buku Kompas,2009),hal.29
[2] Abudin Nata,Filsafat Pendidikan
Islam,(Jakarta : Logos Wacana Ilmu,1997),160
[4]Muhammad Utsman
Najati, Jiwa Dalam Pandangan Filosofis Muslim, (Bandung: Pustaka
Hidayah, 2002),hal. 201.
[5]Abdul Hamid
Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, (Yogyakarta: Islamika, 2003),hal.29
[6]Abudin Nata,Filsafat Pendidikan
Islam,(Jakarta : Logos Wacana Ilmu,1997),hal.34
[7] Ahmad Hanafi,Pengantar Pendidikan Islam,(Jakarta:Bulan
Bintang,1990),hal.135
[8] Ahmad,Hanafi,Pengantar pendidikan Islam,(Jakarta:Bulan
Bintang,1990),hal.136-137
[9]
Muhammad,Utsman Najati,Ibid
[10] Sudarsono,Filsafat Islam,(Jakarta: PT Rineka
Cipta,1997),hal.7071
[11]Muhammad,
Utsman Najati,Jiwa Dalam Pandangan
Filosofis Muslim,(Bandung : Pustaka
Hidayah,2002).
[12]
Ahmad,Hanafi,Ibid,144.
[13] Sudarsono,Filsafat
Islam,(Jakarta:Rineka Cipta,1997)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar