Jumat, 27 Desember 2013
Memaknai Waktu Dalam Religiusitas Ummat
“ Memaknai
Waktu dalam Religiustias Ummat “
“
Memaknai
Waktu dalam Religiustias Ummat “
“ Memaknai
Waktu dalam Religiustias Ummat “
Oleh
Drs.H Hamzah MM
( Mahasiswa Program Doktor PTIQ
Jakarta )
Bismilahirrohmaanirrohim. Assalamu’alaikum Wr Wb.
Puji
syukur kehadirat Allah SWT, Sholawat teriring salam tercurah kepada Nabi Muhammad SAW.
“ Dia (Allah) menjadikan malam dan siang silih berganti untuk memberi waktu
(kesempatan) kepada orang yang ingin mengingat (mengambil pelajaran) atau orang
yang ingin bersyukur (QS Al-Furqan [25]: 62
Berbicara
mengenai “waktu” mengingatkan penulis kepada ungkapan tidak terbit fajar suatu
hari, kecuali dia berseru. “Putra-putri Adam, aku waktu, aku ciptaan baru,
yang menjadi saksi usahamu. Gunakan aku karena aku tidak akan kembali lagi
sampai hari kiamat, Waktu adalah sungai yang mengalir ke seluruh penjuru sejak
dahulu kala, melintasi pulau, kota, dan desa, membangkitkan semangat atau
meninabobokan manusia. Ia diam seribu bahasa, sampai-sampai manusia sering
tidak menyadari kehadiran waktu dan melupakan nilainya, walaupun segala sesuatu
–selain Tuhan– tidak akan mampu mlepaskan diri darinya?
Sedemikian
besar peranan waktu dalam kehidupan setiap
manusia, sehingga Allah Swt. Berkali-kali bersumpah dengan menggunakan
berbagai kata yang menunjuk pada waktu-waktu tertentu seperti wa Al-Lail (demi
Malam), wa An-Nahar (demi Siang), wa As-Subhi, wa AL-Fajr, dan
lain-lain.
APA
YANG DIMAKSUD DENGAN WAKTU?
Dalam Kamus Besar Bahasa indonesia paling tidak terdapat empat arti kata “waktu”: (1) seluruh rangkaian saat, yang telah berlalu, sekarang, dan yang akan datang; (2) saat tertentu untuk menyelesaikan sesuatu; (3) kesempatan, tempo, atau peluang; (4) ketika, atau saat terjadinya sesuatu.
Dalam Kamus Besar Bahasa indonesia paling tidak terdapat empat arti kata “waktu”: (1) seluruh rangkaian saat, yang telah berlalu, sekarang, dan yang akan datang; (2) saat tertentu untuk menyelesaikan sesuatu; (3) kesempatan, tempo, atau peluang; (4) ketika, atau saat terjadinya sesuatu.
Waktu memiliki sifat irreversible (tidak pernah kembali),
untransfersible (tidak bisa dipindahkan kepada orang lain), unsubstitution
(tidak tergantikan oleh apa pun), dan unpayable (tak dapat dibeli).
Al-Quran menggunakan beberapa kata untuk menunjukkan makna-makna
di atas, seperti:
a.
Ajal, untuk menunjukkan waktu berakhirnya sesuatu, seperti berakhirnya
usia manusia atau masyarakat. Setiap umat mempunyai batas waktu berakhirnya
usia (QS Yunus [10]: 49)
Kata ajal
memberi kesan bahwa segala sesuatu ada batas waktu berakhirnya, sehingga tidak
ada yang langgeng dan abadi kecuali Allah Swt. sendiri.
b.Asr
; makna aslinya adalah perasan,
yang berarti bahwa manusia itu harus memeras pikiran dan keringatnya untuk amal
soleh. Menunjukkan bahwa saat – saat yang dialami oleh manusia harus diisi
dengan kerja keras, amal shaleh, dsb. Kata ‘ashr adalah hal
terpenting dalam kehidupan manusia.
عَنْ
عَبْدِاللهِ بْنِ عُمَرَ رَضِي اللهُ عَنْهُمَا قَالَ أَخَذَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمَنْكِبِيْ فَقَالَ كُنْ فِي الدُّنْيَا كَأَنَّكَ
غَرِيبٌ أَوْ عَابِرُ سَبِيلٍ وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ يَقُولُ إِذَا أَمْسَيْتَ
فَلاَ تَنْتَظِرِ الصَّبَاحَ وَإِذَا أَصْبَحْتَ فَلاَ تَنْتَظِرِ الْمَسَاءَ
وَخُذْ مِنْ صِحَّتِكَ لِمَرَضِكَ وَمِنْ حَيَاتِكَ لِمَوْتِكَ
Diriwayatkan dari Ibnu Umar
bahwa dia berkata, “Rasulullah Saw memegang pundakku seraya bersabda, ‘Di dunia
ini, jadilah engkau seperti orang asing atau pengembara!” Ibnu Umar berkata, “Bila kamu berada pada waktu sore, jangan menunggu pagi; dan bila
kamu berada pada waktu pagi, jangan menunggu waktu sore. Ambillah sebagian dari
sehatmu untuk sakitmu dan sebagian hidupmu untuk matimu” (HR. Bukhari)
Religiusitas merupakan tingkah laku manusia yang
sepenuhnya dibentuk oleh kepercayaan terhadap alam gaib.Dalam hal ini
religiusitas lebih melihat aspek yang ada di dalam lubuk hati dan tidak dapat
dipaksakan. Menurut Prof. Dr. Zakiyah Daradjat
(1989), ada dua istilah yang dikenal dalam agama yaitu kesadaran beragama
(religious conciousness) dan pengalaman beragama (religious
experience).
Untuk mengukur religiusitas tersebut, kita
mengenal tiga dimensi dalam Islam yaitu aspek akidah (keyakinan),
Asfek syariah (praktik agama, ritual formal) dan Asfek akhlak (pengamalan dari
akidah dan syariah).
Pada tanggal 23
Desember 2013. Harian republika memuat satu artikel tentang “ Pendangkalan Aqidah Sudah tersistem “. Sudah sangat urgent kita
ummat islam mengantisipasi betapa
mereka yang benci terhadap Islam memang sudah membuat
sistematis tertentu pada pada
bangsa kita, hal itu
seperti ; Pelarangan jilbab,
pembagian Kondom,dan di canangkannya Identitas
tanpa status Agama.
Khotimah: Waktu
yang masih dianugrahkan Allah pada
diri kita harus semaksimal mungkin kita obsesikan untuk
mencari ridho Allah (berjuang) untuk jalan Allah
diberbagai asfek hidup kita. Religiusitas
seorang akan meningkat jika
selalu di lingkari oleh aqidah,
syariah dan akhlaq, karenanya media
Ilmu dan kuliah subuh adalah
bagian dari pencapaian itu semua.
Wallahu a’lam. Wassalamu’alaikum Wr Wb. 27/12/13 ( 25 Syafar 1435 H )
Minggu, 22 Desember 2013
Menyambut Manusia termulia
Perenungan Religiusitas dari Menyambut lahirnya Nabi Muhammad
Rasulallah SAW “
Oleh
Drs.H Hamzah MM
( Kuliah
Subuh Masjid Arrohmah Jakarta )
Puji
syukur kehadirat Allah SWT, Sholawat teriring salam tercurah kepada Nabi Muhammad SAW.
Religiusitas adalah : Penghayatan
keagamaan dan kedalaman kepercayaan yang diekspresikan dengan melakukan ibadah
sehari-hari, berdoa, dan membaca kitab suci.(Ismail, 1997), dalam bahasa lain
religius ; elegare berarti melakukan sesuatu perbuatan dengan penuh
penderitaan, yakni jenis laku peribadatan yang dikerjakan berulang-ulang dan
tetap. ( Hawari ; 1996 ).
Dalam bahasa Arab, agama dikenal dengan kata al-din
dan al-milah. Kata al-din sendiri mengandung berbagai arti.
Ia bisa berarti al-izz (kejayaan), al-ikrah (pemaksaan),
al-ihsan (kebajikan), al-adat (kebiasaan), al-ibadat (pengabdian),),
al-tadzallul wa al-khudu (tunduk dan patuh), al-tha’at (taat),
al-islam al-tauhid (penyerahan dan mengesakan Tuhan) (Kahmad, 2002). Berdasarkan
uraian tersebut, religiusitas adalah
dorongan naluri untuk meyakini dan melaksanakan dari agama yang diyakininya,
dalam wujud taat kepada agama yang dianut meliputi keyakinan kepada Tuhan,
peribadatan, dan norma yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan.
Peringatan
Maulid Nabi Muhammad saw. diperkirakan pertama kali muncul setelah
diperkenalkan oleh Abu Said al-Qakburi, seorang Gubernur Irbil di Irak, pada
masa pemerintahan Sultan Salahuddin al-Ayyubi (1138-1193). Tujuannya adalah
untuk membangkitkan kecintaan kepada Nabi Muhammad saw. dan meningkatkan
semangat kaum muslimin yang tengah berjuang melawan pasukan Kristen Eropa dalam
Perang Salib. Sultan Salahuddin al-Ayyubi juga menyampaikan pesan bahwa
peringatan Maulid Nabi menjadi sarana yang
sangat penting untuk
membangkitkan semangat keislaman umat dengan meneladani akhlak dan kepribadian
Rasulallah.
Menurut
pakar tafsir Alquran yang juga mantan Menteri Agama RI, Prof. Dr. M. Quraish
Shihab, peringatan Maulid Nabi tetap
penting dilaksanakan. Selain untuk terus meningkatkan kecintaan kepada
Rasulullah saw. juga dalam rangka mengajak pada kebaikan dan mencegah
kemungkaran. Peringatan kelahiran Nabi Muhammad
saw. sejatinya bukan semata-mata perayaan yang hampa makna atau sekedar
berhura-hura. Namun, sebagian kelompok muslim, terutama kalangan Salafiah dan
Wahabi, berpendapat bahwa perayaan Maulid Nabi Muhammad saw. adalah bid'ah
(mengada-adakan dalam urusan agama). Pendapat tersebut benar jika peringatan Maulid
hanyalah ritual yang justru tidak menambah sentuhan mahabbah (cinta) terhadap Nabi Muhammad saw., menghamburkan
materi, energi, dan waktu.
Hikmah : Meneladani perilaku dan perbuatan mulia Rasulullah
SAW. dalam setiap gerak kehidupan kita. Allah SWT begitu
banyak mengingatkan kita :
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ
فِيْ رَسُوْلِ اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللهَ وَالْيَوْمَ
الْآَخِرَ وَذَكَرَ اللهَ كَثِيرًا )الأحزاب/21 ((Sesungguhnya
telah ada pada diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi
orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak
menyebut Allah. (QS. Al-Ahzab: 21)
Dalam
ayat lain Allah dengan
sangat jelas memberikan kepada kita ummat Manusia untuk melakukan perenungan totalitas tentang diutusnya Rasulallah SAW kepada
manusia yang mempunyai variabel kepada kehiodupan berikutnya yaitu etafe kehidupan akhirat
sebagai ending perjalanan
hidup setiap Ruh, yaitu Rasulallah adalah “ Rahmat “..
“ Dan tiadalah Kami mengutus kamu,
melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam. (QS. Al-Anbiya’ 107)
Analisis
penulis :
Fenomena ummat islam saat ini
( terutama
kaum nahdiyin ) yang sangat menjaga
ritual Maulid Nabi
Muhammad SAW, tidak bisa kita
pungkiri dari kenyataan di
lapangan. Bahwa
terdapat indikasi Pelaksanaan Maulid hanya
bersifat ceremonial agamis
insidensial, namun belum totalitas di jadikan satu momentum utama atau
momentum prinsip sebagai acuan
untuk memperbaiki berbagai gerak langkah
beragama seperti yang di amanatkan oleh
Rasulallah SAW bagi ummat manusia dalam menjalan etafe kehidupan dunia untuk
kehidupan berikutnya.
Penulis satu kritik
dari pihak non muslim tentang
SK 3 Menteri tentang perizinan tempat peribadatan ummat beragama,kata mereka. “
kami pada dasarnya
menyadari dengan sadar, bahwa tidak mungkin mendirikan tempat ibadah jika kami hanya berada
4 keluarga yang berada di satu
daerah. Tetapi kami juga
melihat merasa kurang bijak jika
ada satu empat ibadah yang
hanya di perdengarkan
suara kaset dan ummat yang beribadahnya
kososng “. Dengan Maulid Nabi
Muhammad SAW sangat di harapkan mampu memunculkan nilai nilai dan
kekuatan religiusitas secara maksimal dalam diri setiap muslim. Jika kita ummat Islam tidak mengantisipasi dan melakukan berbagai perbaikan pola
keibadahan kita, hal ini berarti stigma
kaum wahabiyah dan lainnya tentang Mubaziritas ‘ ( bahasa penulis) benar
adanya bagi ummat
islam nahdiyin yang mengedepankan
peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW.
Khatimah : Pertama adalah melakukan suatu pengukuran individual
( personal ) bagaimana aktualisasi Ibadah Sholat 5 waktu
yang kita lakukan dalam hidup
kita, karena pada sholat itulah sebenarnya hakikat hidup ini, Rasulallah mengamanatkan
kepada ummat tentang tingginya
value sholat di sisi Tuhan. Yang kedua,
hanya dengan berakhlaq dalam hidup
bermasyarakat manusia akan
mendapat nilai di sisi
Allah, jika akhlaq
kita meniru akhlaqnya
kaum Yahudi dan Nasrani
berarti kita tidak
Power full menjadi ummat
Rasulallah SAW. Wallahu a’lam bishowab. Mohon maaf. Jeruk Purut, 27
Desember 2013/ 26 Syafar 1435 H
Langganan:
Postingan (Atom)