Pengaruh Ibadah Bagi Seorang
Muslim
Oleh Drs H Hamzah
MM
Langkah
manusia di dunia
ini agar terciptya satu
kondisi yang kondusip pada lingkup
ilahiyah di bimbing dan di arahkan oleh
Allah dengan yang namanya syariah. Syariat Islam yang mencakup akidah
(keyakinan), ibadah dan mu’amalah, diturunkan oleh Allah Ta’ala dengan
ilmu-Nya yang maha tinggi dan hikmah-Nya yang maha sempurna, untuk kebaikan dan
kemaslahatan hidup manusia. Karena termasuk fungsi utama petunjuk Allah Ta’ala
dalam al-Qur’an dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah
untuk membersihkan hati dan mensucikan jiwa manusia dari semua kotoran dan
penyakit yang menghalanginya dari semua kebaikan dalam hidupnya.Allah Ta’ala
berfirman,
{لَقَدْ
مَنَّ اللَّهُ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولاً مِنْ
أَنْفُسِهِمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ
الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلالٍ مُبِينٍ}
“Sungguh Allah telah memberi karunia (yang besar)
kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus kepada mereka seorang
Rasul dari kalangan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat
Allah, mensucikan (hati/jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab
(al-Qur-an) dan al-Hikmah (as-Sunnah). Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan
Rasul) itu, mereka benar-benar dalam kesesatan yang nyata” (QS Ali
‘Imraan:164).
Makna firman-Nya “mensucikan (Hati/jiwa) mereka”
adalah membersihkan mereka dari keburukan akhlak, kotoran jiwa dan
perbuatan-perbuatan jahiliyyah, serta mengeluarkan mereka dari
kegelapan-kegelapan menuju cahaya (hidayah Allah Ta’ala)[1]. Maka kebersihan hati seorang
muslim merupakan syarat untuk mencapai kebaikan pada dirinya secara
keseluruhan, karena kebaikan seluruh anggota badannya tergantung dari
baik/bersihnya hatinya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إلا وإن في
الجسد مضغة إذا صلحت صلح الجسد كله وإذا فسدت فسد الجسد كله ألا وهي القلب
“Ketahuilah, bahwa dalam tubuh manusia terdapat
segumpal (daging), yang kalau segumpal daging itu baik maka akan baik seluruh
(anggota) tubuhnya, dan jika segumpal daging itu buruk maka akan buruk seluruh
(anggota) tubuhnya), ketahuilah bahwa segumpal daging itu adalah hati (manusia)“[2].
Hikmah
Agung Disyariatkannya Ibadah
Inilah
hikmah agung disyariatkannya ibadah kepada manusia, sebagaimana yang Allah
Ta’ala nyatakan dalam firman-Nya,
{يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ
لِمَا يُحْيِيكُمْ}
“Hai orang-orang beriman, penuhilah seruan Allah
dan seruan Rasul-Nya yang mengajak kamu kepada suatu yang memberi
(kemaslahatan)[3] hidup bagimu” (QS al-Anfaal:24).
Ayat ini menunjukkan bahwa kebaikan dan kemashlahatan
merupakan sifat yang selalu ada pada semua ibadah dan petunjuk yang diserukan
oleh Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan ini sekaligus
menjelaskan manfaat dan hikmah agung dari semua ibadah yang Allah Ta’ala
syariatkan, yaitu bahwa hidup (bersih dan sucinya)nya hati dan jiwa manusia,
yang merupakan sumber kebaikan dalam dirinya[4], hanyalah bisa dicapai dengan
beribadah kepada Allah dan menetapi ketaatan kepada-Nya dan kepada Rasul-Nya r[5].
Ulama
mengemukakan : “Bukanlah tujuan utama dari semua ibadah dan perintah
(Allah dalam agama Islam) untuk memberatkan dan menyusahkan (manusia), meskipun
hal itu (mungkin) terjadi pada sebagian dari ibadah dan perintah tersebut
sebagai (akibat) sampingan, karena adanya sebab-sebab yang menuntut kemestian
terjadinya hal tersebut, dan ini merupakan konsekwensi kehidupan di dunia.
Semua perintah Allah (dalam agama Islam), hak-Nya (ibadah) yang Dia wajibkan
kepada hamba-hamba-Nya, serta semua hukum yang disyariatkan-Nya (pada hakekatnya)
merupakan qurratul ‘uyuun (penyejuk pandangan mata), serta kesenangan
dan kenikmatan bagi hati (manusia), yang dengan (semua) itulah hati akan
terobati, (merasakan) kebahagiaan, kesenangan dan kesempurnaan di dunia dan
akhirat. Bahkan hati (manusia) tidak akan merasakan kebahagiaan, kesenangan
dan kenikmatan yang hakiki kecuali dengan semua itu. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,
{يا أَيُّهَا
النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِمَا فِي
الصُّدُورِ وَهُدىً وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ، قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ
وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُوَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ}
“Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu
pelajaran dari Rabbmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam
dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.
Katakanlah:”Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka
bergembira. Karunia dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka
kumpulkan” (QS.Yuunus:57-58)[6].
Inilah makna ucapan sahabat yang mulia, Abdullah bin
Abbas radhiyallahu ‘anhuma sewaktu beliau berkata, “Sesungguhnya (amal)
kebaikan (ibadah) itu memiliki (pengaruh baik berupa) cahaya di hati, kecerahan
pada wajah, kekuatan pada tubuh, tambahan pada rezki dan kecintaan di hati
manusia, dan (sebaliknya) sungguh (perbuatan) buruk (maksiat) itu memiliki
(pengaruh buruk berupa) kegelapan di hati, kesuraman pada wajah, kelemahan pada
tubuh, kekurangan pada rezki dan kebencian di hati manusia”[7].
Pengaruh
Positif Ibadah bagi Seorang Muslim
Untuk memperjelas keterangan di atas, berikut ini kami
akan sampaikan beberapa poin penting yang menunjukkan besarnya pengaruh positif
ibadah dan amal shaleh yang dilaksanakan seorang muslim dalam hidupnya.
1- Kebahagiaan dan kesenangan hidup
yang hakiki di dunia dan akhirat
Allah Ta’ala
berfirman,
{مَنْ
عَمِلَ صَالِحاً مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ
حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا
يَعْمَلُونَ}
“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh (ibadah), baik
laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami
berikan kepadanya kehidupan yang baik (di dunia), dan sesungguhnya akan Kami
berikan balasan kepada mereka (di akhirat) dengan pahala yang lebih baik dari
apa yang telah mereka kerjakan” (QS. an-Nahl:97).
Para ulama salaf menafsirkan makna “kehidupan yang
baik (di dunia)” dalam ayat di atas dengan “kebahagiaan (hidup)”
atau “rezki yang halal dan baik” dan kebaikan-kebaikan lainnya yang
mencakup semua kesenangan hidup yang hakiki[8].
Sebagaimana orang yang berpaling dari petunjuk Allah
dan tidak mengisi hidupnya dengan beribadah kepada-Nya, maka Allah Ta’ala akan
menjadikan sengsara hidupnya di dunia dan akhirat. Allah Ta’ala berfirman,
{وَمَنْ
أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكاً وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ أَعْمَى}
“Dan barangsiapa yang berpaling dari peringatan-Ku,
maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan
menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta” (QS Thaaha:124)[9].
2-
Kemudahan semua urusan dan jalan keluar/solusi dari semua masalah dan kesulitan
yang dihadapi
Allah Ta’ala
berfirman,
{وَمَنْ
يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجاً. وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لا
يَحْتَسِبُ}
“Barangsiapa
yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan memberikan baginya jalan keluar
(dalam semua masalah yang dihadapinya), dan memberinya rezki dari arah yang
tidak disangka-sangkanya” (QS. ath-Thalaaq:2-3).
Ketakwaan yang sempurna kepada Allah tidak mungkin
dicapai kecuali dengan menegakkan semua amal ibadah yang wajib dan sunnah
(anjuran), serta menjauhi semua perbuatan yang diharamkan dan dibenci oleh
Allah Ta’ala[10].
Dalam ayat
berikutnya Allah berfirman,
{وَمَنْ
يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْراً}
“Barangsiapa
yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan menjadikan baginya kemudahan dalam
(semua) urusannya” (QS. ath-Thalaaq:4).
Artinya: Allah
akan meringankan dan memudahkan (semua) urusannya, serta menjadikan baginya
jalan keluar dan solusi yang segera (menyelesaikan masalah yang dihadapinya)[11].
3-
Penjagaan dan taufik dari Allah Ta’ala
Dalam sebuah
hadits yang shahih, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada
Abdullah bin Abbas
((احفظ
الله يحفظك، احفظ الله تجده تجاهك))
“Jagalah
(batasan-batasan/syariat) Allah maka Dia akan menjagamu, jagalah
(batasan-batasan/syariat) Allah maka kamu akan mendapati-Nya dihadapanmu“[12].
Makna “menjaga (batasan-batasan/syariat) Allah”
adalah menunaikan hak-hak-Nya dengan selalu beribadah kepadanya, serta
menjalankan semua perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya[13]. Dan makna “kamu akan
mendapati-Nya dihadapanmu“: Dia akan selalu bersamamu dengan selalu memberi
pertolongan dan taufik-Nya kepadamu[14].
Keutamaan yang agung ini hanyalah Allah Ta’ala
peruntukkan bagi orang-orang yang mendapatkan predikat sebagai wali (kekasih)
Allah Ta’ala, yang itu mereka dapatkan dengan selalu melaksanakan dan
menyempurnakan ibadah kepada Allah Ta’ala, baik ibadah yang wajib maupun sunnah
(anjuran). Dalam sebuah hadits qudsi yang shahih, Allah Ta’ala
berfirman, “Barangsiapa yang memusuhi wali (kekasih)-Ku maka sungguh Aku
telah menyatakan perang (pemusuhan) terhadapanya. Tidaklah seorang hamba
mendekatkan diri kepada-Ku dengan suatu (ibadah) yang lebih Aku cintai dari
pada (ibadah) yang Aku wajibkan kepadanya, dan senantiasa hamba-Ku mendekatkan
diri kepada-Ku dengan (ibadah-ibadah) yang sunnah (anjuran/tidak wajib)
sehingga Akupun mencintainya…“[15].
4- Kemanisan
dan kelezatan iman, yang merupakan tanda kesempurnaan iman
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
((ذاق طعم الإيمان من رضي
بالله ربا وبالإسلام دينا وبمحمد رسولاً))
“Akan
merasakan kelezatan/kemanisan iman, orang yang ridha dengan Allah Ta’ala
sebagai Rabbnya dan islam sebagai agamanya serta (nabi) Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam sebagai rasulnya“[16].
Imam an-Nawawi – semoga Allah Ta’ala merahmatinya –
ketika menjelaskan hadits di atas, berkata, “Orang yang tidak menghendaki
selain (ridha) Allah Ta’ala, dan tidak menempuh selain jalan agama Islam, serta
tidak melakukan ibadah kecuali dengan apa yang sesuai dengan syariat (yang
dibawa oleh) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak diragukan lagi
bahwa barangsiapa yang memiliki sifat ini, maka niscaya kemanisan iman akan
masuk ke dalam hatinya sehingga dia bisa merasakan kemanisan dan kelezatan iman
tersebut (secara nyata)”[17].
Sifat inilah yang dimiliki oleh para sahabat
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang semua itu mereka capai dengan
taufik dari Allah Ta’ala, kemudian karena ketekunan dan semangat mereka dalam
menjalankan ibadah dan ketaatan kepada Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman,
{وَلَكِنَّ
اللَّهَ حَبَّبَ إِلَيْكُمُ الْأِيمَانَ وَزَيَّنَهُ فِي قُلُوبِكُمْ وَكَرَّهَ
إِلَيْكُمُ الْكُفْرَ وَالْفُسُوقَ وَالْعِصْيَانَ أُولَئِكَ هُمُ الرَّاشِدُونَ}
“Tetapi Allah menjadikan kamu sekalian (wahai para
sahabat) cinta kepada keimanan dan menjadikan iman itu indah dalam hatimu serta
menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan dan perbuatan maksiat. Mereka
itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus” (QS al-Hujuraat:7).
5-
Keteguhan iman dan ketegaran dalam berpegang teguh dengan agama Allah
Allah Ta’ala
berfirman,
{يُثَبِّتُ
اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا
وَفِي الْآخِرَةِ وَيُضِلُّ اللَّهُ الظَّالِمِينَ وَيَفْعَلُ اللَّهُ مَا
يَشَاءُ}
“Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman
dengan ‘ucapan yang teguh’ dalam kehidupan di dunia dan di akhirat, dan Allah
menyesatkan orang-orang yang zalim dan memperbuat apa yang Dia kehendaki”
(QS Ibrahim:27).
Ketika menafsirkan ayat ini Imam Qatadah[18] berkata, “Adapun dalam kehidupan
dunia, Allah meneguhkan iman mereka dengan perbuatan baik (ibadah) dan amal
shaleh (yang mereka kerjakan)”[19].
Fungsi ibadah dalam meneguhkan keimanan sangat jelas
sekali, karena seorang muslim yang merasakan kemanisan dan kenikmatan iman
dengan ketekunannya beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah, maka setelah
itu – dengan taufik dari Allah Ta’ala – dia tidak akan mau berpaling dari
keimanan tersebut meskipun dia harus menghadapi berbagai cobaan dan penderitaan
dalam mempertahankannya, bahkan semua cobaan tersebut menjadi ringan baginya.
Gambaran inilah yang terjadi pada para sahabat
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keteguhan mereka sewaktu
mempertahankan keimanan mereka menghadapi permusuhan dan penindasan dari
orang-orang kafir Quraisy, di masa awal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam mendakwahkan Islam. Sebagaimana yang disebutkan dalam kisah dialog
antara Abu Sufyan dan raja Romawi Hiraql, yang kisah ini dibenarkan oleh
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di antara pertanyaan yang diajukan
oleh Hiraql kepada Abu Sufyan waktu itu, “Apakah ada di antara pengikut
(sahabat) Nabi itu (Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam) yang murtad
(meninggalkan) agamanya karena dia membenci agama tersebut setelah dia
memeluknya?” Maka Abu Sufyan menjawab, “Tidak ada“. Kemudian Hiraql
berkata, “Memang demikian (keadaan) iman ketika kemanisan iman itu telah
masuk dan menyatu ke dalam hati manusia“[20].
Penutup
Beberapa poin yang kami sebutkan di atas jelas sekali
menggambarkan kepada kita besarnya manfaat dan pengaruh positif ibadah dan amal
shaleh yang dikerjakan oleh seorang muslim bagi dirinya. Masih banyak poin lain
yang tentu tidak mungkin disebutkan semuanya.
Semoga tulisan ini menjadi motivasi bagi kita untuk
semakin giat dan bersungguh-sungguh dalam mengamalkan ibadah dan ketaatan
kepada Allah Ta’ala, serta berusaha untuk membenahi amal ibadah yang sudah kita
lakukan selama ini agar benar-benar sesuai dengan petunjuk dan syariat Allah
Ta’ala.