‘Pengaruh Kemuliaan Muharram Pada Syiar
Keislaman Ummat ”
Oleh Drs H Hamzah
MM
الْحَمْدُ للهِ
القَوِيِّ المَتِينِ، سُبْحَانَهُ خَلَقَ الإِنْسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ،
وَهَدَاهُ لِلْمَنْهَجِ القَوِيمِ، وَسَنَّ شَرَائِعَ فِيهَا القُوَّةُ
وَالتَّمكِينُ، بِحِكْمَتِهِ نُؤْمِنُ، وَبِقُدْرَتِهِ نُوقِنُ، عَلَيْهِ
نَتَوَكَّلُ، وَإِيَّاهُ نَستَعِينُ، أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ
وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ
لاَ نَبِيَّ بَعْدَهُ.
اَللَّهُمَّ صَلِّ
عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ تَبِعَ هُدَاهُ. أَمَّا بَعْدُ؛
فَيَا عِبَادَ اللهِ،
أُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ، فَقَالَ اللهُ تَعَالَى: يَاأَيُّهاَ الَّذِيْنَ
ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُمْ
مُّسْلِمُوْنَ.، أَمّا بَعْدُ …
Puji syukur,.......sholawat serta
salam,....wasiat taqwa,....
Kaum
muslimin yang dirahmati oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala
Saat
ini kita berada di tanggal 10 Muharram 1436 H. Muharram adalahj bulan yang mendapatkan kapasitas 1 diantara
4 bulan yang di muliakan Allah SWT. Hal ini berdasarkan apa yang rasulallah sabdakan “
السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُم :
ثَلاَثٌ مُتَوَالِيَاتٌ ، ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ
وَالْمُحَرَّمُ .
وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِي
بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ
Dari
Abu Bakrah r.a., Nabi s.a.w. bersabda: “setahun itu ada 12 bulan, dan di
antaranya ada 4 bulan mulia, 3 berurutan; Dzul Qa’dah, DzulHijjah, Muharram,
dan Rajab Mudhar yang ia itu berada antara jumada dan sya’ban”. (Muttafaq
‘alaiyh).
Bulan bulan
yang mulia ini di sebut al-Ashur al-ḥurum. Al Ashur al hurum
adalah kata dari bahasa Arab yang memiliki arti bulan-bulan yang di muliakan.
Kata mulia pada mulanya berarti “terhormat”. Sesuatu yang dihormati biasanya
lahir akibat penghormatan terhadap aneka larangan. dari sini kata mulia
diartikan dengan “larangan”. Imam
Nawawi memberikan penafsiran bahwa yang
dimaksud dengan arba’atun hurum dalam ayat tersebut adalah bulan Dhu
al-Qa’dah, Dhu al-Hijjah, Muharram dan Rajab.
Allah swt Ta’ala
berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تُحِلُّوا شَعَائِرَ اللَّهِ
وَلَا الشَّهْرَ الْحَرَامَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar
syi’ar-syi’ar Allah , dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram …” (QS.
Al Maidah (5): 2)
Bulan Dzul Qa’dah
termasuk bulan haram, karena pada bulan itu, orang-orang mulai melakukan
perjalanan menuju Mekah untuk melaksanakan ibadah haji. Pada bulan Dzul
Hijjah, termasuk bulan haram, karena bulan tersebut merupakan bulan puncak pelaksanaan
Ibadah Haji sebagai penyempurna keislaman
seseorang di mata Allah.. Bulan Muharram, juga termasuk
bulan haram, karena pada bulan tersebut waktu pulangnya para jamaah haji. Menyebutkan
Al Hafifz Ibnu Hajar , telah diriwayatkan dari Sayyidatina Hafsoh RA dari Nabi
Muhammad SAW, bersabda :
مَنْ صَامَ آخِرَ
يَوْمٍ مِنْ ذِي الْحِجَّةِ وَأَوَّلَ يَوْمٍ مِنَ الْمُحَرَّمِ جَعَلَهُ اللهُ
تَعَالَى لَهُ كَفَّارَةَ خَمْسِيْنَ سَنَةً، وَصَوْمَ يَوْمٍ مِنَ الْمُحَرَّمِ
بِصَوْمِ ثَلاَثِيْنَ يَوْمًا.
“Barang siapa berpuasa di hari terakhir bulan Dzulhijjah dan awal hari
bulan Muharram, maka Allah SWT akan menjadikannya sebagai pelebur dosa 50
tahun. Dan puasa sehari di bulan Muharram
sama dengan 30 hari di bulan lainnya”.
Muharram, terjadi peristiwa besar
dalam sejarah keislaman
yaitu hijrahnya Rasulallah SAW dari makkah
ke madinah ( yastrib ) Saat itu
usia beliau 53 tahun 13 tahun
setelah di angkat menjadi Nabi dan Rosul oleh Allah SWT. Hijrah secara bahasa berarti “tarku”
(meninggalkan). Dikatakan: hijrah ila syai’ berarti “intiqal ilaihi ‘an
ghairihi” (berpindah kepada sesuatu dari sesuatu). Sedangkan secara istilah
hijrah berarti “tarku man nahallaahu ‘anhu”: meninggalkan sesuatu yang
dilarang oleh Allah SWT. Hijrah, dalam
kamus Al-Munawir Arab Indonesia, berarti pindah ke negeri lain, hijrah dan
migrasi. Kata ini berasal dari kata dasar hajara-yahjuru yang berarti
memutuskan dan meninggalkan.
Dari pengertian hijrah di atas, maka ada dua makna yang dapat diambil,
yaitu hijrah makani (perpindahan tempat), yakni dalam konteks fisik dan hijrah
ma’nawi, yakni pada konteks non fisik. (
pemikiran).
Yang kita sayangkan saat ini ummat sudah sangat menjauhkan kondisi ini di
dalam hidup beragamanya, dan lebih
kepada menonjolkan sifat yang sangat bertentangan dengan nilai nilai
keislaman, Prof.DR.H Kaelani dalam bukunya “Mendidik
Warga Bangsa “ khotib kutip :
Dalam hidup berbangsa dan beragama saat ini masyarakat kita pola
pemikirannya sudah sangat berbahaya dan perlu di hijtahkan pada pola
pemikiran yang islami.
Jikalau seseorang berpandangan bahwa
kenikmatan adalah merupakan nilai
terpenting dan tertinggi dalam
kehidupannya, maka orang
tersebut telah hidup
pada sifat dan pola hidup “ Hedonisme “.,
Demikian juga Jika seorang
berpandangan bahwa dalam kehidupan masyarakat
dan Negara adalah kebebasan
Individu maka orang
tersebut telah hidup
bergaya atau bersifat “ Liberalisme “.
Dan jika seseorang memisahkan antara
kehidupan bernegara atau bermasyarakat dan kehidupan
beragama maka orang tesebut telah hidup dengan pola kehidupan
“ Sekulerisme”.
Dari ketiga kategori
di atas multaq harus di hindari oleh pola
pemikiran islam, oleh karenanya
mari kita hijrahkan diri kita untuk
secara totalitas menjalankan nilai nilai keislaman dengan kaaffah, amien. Kita tidak hedonisme,Liberalisme bahkan
Sekulerisme, naujubillah.
Hijrah adalah pintu gerbang kemenangan karena setelah hijrah terjadilah
peristiwa-peristiwa besar yang menjadi penentu masa depan Islam yang gemilang
selanjutnya. Di antara peristiwa-peristiwa tersebut adalah perang badar yang
dimenangkan oleh kaum muslimin dan menewaskan pemimpin-pemimpin kafir Qurays,
perang Uhud, perang Khandaq, perjanjian Hudaibiyah sampai kepada futuh Makkah.
Yang kemenangan-kemenangan tersebut berlanjut sampai dikemudian hari terbukalah
gerbang Eropa oleh Tariq bin Ziad untuk kemudian takluk dalam pangkuan Islam
dan tersebarlah Islam kesegenap penjuru negeri.
Peristiwa hijrah ini menjadi tonggak perjuangan umat Islam untuk
selanjutnya mereka tidak hanya dikagumi oleh kawan tapi juga disegani oleh
lawan. Peristiwa hijrah akan tetap relevan atau cocok dikaitkan dengan konteks
ruang dan waktu sekarang ataupun yang akan datang. Nilai-nilai yang terkandung
dalam peristiwa hijrah itu akan tetap kontekstual dijadikan rujukan kehidupan.
Banyak sekali hikmah yang dapat dipetik dari peristiwa tersebut. Diantaranya:
Pertama, hijrah merupakan perjalanan mempertahankan keimanan. Karena iman para sahabat sudi meniggalkan kampung halaman, meninggalkan
harta benda mereka. Karena iman mereka rela berpisah dengan orang yang
dicintainya yang berbeda akidah. Iman yang mereka pertahankan melahirkan
ketenangan dan ketentraman batin, kalau batin sudah merasa tentram dan terasa
bahagia, maka bagaimanapun pedihnya penderitaan dzahir yang mereka alami tidak
akan terasa. Itulah mengapa sebabnya para sahabat mau berjalan di gurun pasir yang
panas. Mereka melakukan perjalanan dari mekkah menuju madinah dengan bekal
iman. Oleh karena itu, dalam memperingati tahun baru hijriyah ini, masihlah
kita tanamkan keimanan dalam diri kita sebagaimana imannya para sahabat. Dan
diwujudkan dalam bentuk amal-amal saleh dalam kehidupan ini.
Spirit hijrah adalah spirit kemenangan. Karena itu bercermin pada peristiwa
hijrahnya Nabi shoaallahu ‘alaihi wasalam dan para sahabat adalah menghitung
bekal perjuangan kita baik itu bekal secara spiritual maupun material.
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُواْ وَالَّذِينَ هَاجَرُواْ
وَجَاهَدُواْ فِي سَبِيلِ اللّهِ أُوْلَـئِكَ يَرْجُونَ رَحْمَتَ اللّهِ وَاللّهُ غَفُورٌ
رَّحِيمٌ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan orang-orang yang berhijrah dan
berjihad di jalan Alloh,mereka itulah yang mengharapkan rahmat Alloh,Alloh Maha
pengampun, Maha penyayang”.(Q.S. Al Baqarah: 218).
Rasulullah SAW bersabda: “Muhajir (orang yang berhijrah) adalah orang yang
meninggalkan segala larangan Allah”. (HR. Bukhari)
Dengan demikian, hijrah secara maknawi terus relevan sampai kapan pun.
Bahwa nilai dan semangat hijrah harus kita bawa dalam kehidupan modern ini.
Kita berhijrah dari kejahiliyahan menuju Islam. Hijrah dari kekufuran menuju
Iman. Hijrah dari kesyirikan menuju tauhid. Hijrah dari kebathilan menuju
al-haq. Hijrah dari nifaq menuju istiqamah. Hijrah dari maksiat menuju tha’at.
Dan hijrah dari yang haram menuju yang halal.
Hikmah kedua adalah bahwasanya hijrah merupakan perjalanan ibadah. Pada waktu hijrah, dorongan sahabat untuk ikut tidak sama. Oleh karena itu
Rasulullah saw sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori bahwa
amal-amal perbuatan itu tergantung pada niatnya dan bagi tiap orang apa yang
diniatkannya. Oleh karena itu, semangat ibadah inilah yang harus menjiwai
peringatan hijrah dan langkah memasuki tahun baru hijriah.
Dan bulan Rajab termasuk
bulan haram,( mulia ) dalam risalah nabawiyah
dan ulama bersepakakat bahwa Rasulallah SAW
melakukan perjalanan mulia isro
dan mi,roj terjadi pada
bulan ini. ( rajab ). Isra` secara bahasa berasal dari kata ‘saro’
bermakna perjalanan di malam hari. Adapun secara istilah, Isra` adalah
perjalanan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama Jibril dari
Mekkah ke Baitul Maqdis (Palestina), berdasarkan firman Allah :
سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلاً مِّنَ الْمَسْجِدِ
الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الأَقْصَى
“Maha Suci Allah, yang telah
memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil
Aqsha “ (Al Isra’:1)
Dari berbagai kondisi
isi kandungan alqur,an serta
hadist Rasulallah, ummat
harus menjaga dengan sebaik
baiknya koeadaan keimanannya
di bulan bulan mulia ini
Artinya:
“Maka janganlah kamu Menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu” (QS.
At-Taubah: 36).
Rasulallah SAW
mengingatkan kita dalam hadis
ini, bahwa proses perjalanan waktu bumi
ini di berikan situasi situasi yang berbeda di sisi
Allah. Seyogyanya seorang
hamba yang ingin mengalami pertumbuhan
religius di sisi Allah,
mutlak harus melakukan berbagai
perubahan berbagai hal dalam proses beragamanya di dunia ini, dan ketika kita sudah berada pada level
harmonis dalam beragama harus terus dipertahankan dengan maksimal.
Allah
dengan sangat jelas memberikan
stimulus ( rangsangan ) yang
bersifat diniyah :
ذَلِكَ وَمَن
يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِن تَقْوَى الْقُلُوبِ
Firman-Nya: ''Demikianlah (perintah
Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syiar-syiar Allah, maka sesungguhnya itu
timbul dari ketakwaan hati.'' (QS al-Hajj [2]: 32).
Dinamai 'syiar' yang secara harfiah berarti tanda atau
rambu-rambu yang dipasang untuk mengenali sesuatu. Kata syiar berasal dari kata
syu`ur, yang bermakna rasa, karena syiar dibangun agar setiap orang yang melihatnya
merasakan keagungan Allah SWT. Syiar
selanjutnya dipahami sebagai tanda ibadah, terlebih lagi ibadah haji. Syiar
bisa menunjuk pada tempat-tempat yang mulia, seperti Ka`bah, Shafa, Marwah,
Arafah, dan al-Masy`ar al-Haram; bisa menunjuk pada waktu, seperti bulan
Dzulqa`dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab; dan dapat pula menunjuk pada
amalan-amalan agama.
Menurut imam al-Razi, syiar tak hanya menunjuk pada amalan
ibadah haji semata, tetapi semua ibadah, bahkan semua aktivitas yang menjadi
simbol kepatuhan seseorang kepada Allah. Syiar diagungkan sebagai manifestasi
rasa takwa dari perorangan hingga
pada jamiyah ( kelompok ).
Dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara sungguh sangat banyak
hal – hal yang berkolerasi atau berketerkaitan dengan syiar. Terutama syiar Islam.
Semakin tingginya nuansa keislaman
dalam kehidupan suatu ummat
maka akan semakin terasa nilai
nilai keislaman itu sendiri. Sebaliknya, semakin rendah nuansa kegiatan keislaman suatu ummat maka akan
semakin rendah juga nuansa keislaman di dalamnya.
Pada Kegiatan
mengagungkan syiar Allah dipahami oleh para ulama dalam beberapa makna.
Pertama, ihtifal.
Bahwa aktivitas keagamaan yang bernilai syiar, perlu dilakukan secara terbuka,
meriah, dan penuh antusiasme, tetapi tetap khidmat dan penuh makna.
Kedua, iltizam.
Bahwa mengagungkan syiar itu merupakan kewajiban peroses beragama agama yang harus ditunaikan oleh setiap
Muslim sebagai bagian dari proses tadzkir, yaitu usaha untuk
mengingatkan manusia pada keagungan Allah.
وَذَكِّرْ فَإِنَّ
الذِّكْرَى تَنفَعُ الْمُؤْمِنِينَ
Dan tetaplah memberi peringatan,
karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman.''
(QS al-Dzariyat [51]: 55).
Ketiga, itmam.
Bahwa syiar harus dilakukan sebaik dan sesempurna mungkin. Kesempurnaan akan
muncul jika di landasi keilmuan yang di
upayakan oleh setiap insan.
ذَٰلِكَ وَمَن
يُعَظِّمْ حُرُمَاتِ اللَّهِ فَهُوَ خَيْرٌ لَّهُ عِندَ رَبِّهِ ۗ وَأُحِلَّتْ
لَكُمُ الْأَنْعَامُ إِلَّا مَا يُتْلَىٰ عَلَيْكُمْ ۖ فَاجْتَنِبُوا الرِّجْسَ
مِنَ الْأَوْثَانِ وَاجْتَنِبُوا قَوْلَ الزُّورِ
Demikianlah
(perintah Allah). Dan, barangsiapa mengagungkan apa-apa yang dihormati di sisi
Allah, maka itu adalah lebih baik baginya di sisi Rabbnya. (QS. Al-Hajj : 30)
Menurut Al-Laits, hurumatullah adalah apa yang tidak boleh dilanggar. Ada pula yang berpendapat, artinya perintah dan larangan. Menurut Az-Zajjaj, hurumat artinya apa yang harus dilaksanakan dan tidak boleh diabaikan. Dalil dalil di atas, sangat seharusnya menjadi argumentatif aktifitas diniyah ( religiusitas ) ummat untuk terus melakukan berbagai perkembangan dari mekanisme proses beragama kita.
Hikmah :
Bulan bulan
yang di muliakan Allah harus
ummat jadikan batu loncatan untuk
terus dan kembali mensyiarkan Kalimat
Allah di berbagai situasi dan kondisi. Allah akan memberikan Jaminan
dengan kwalitas ketaqwaan yang
sesungguhnya jika ummat melakukan hal
itu.diantaranya sebagai berikut,
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُواْ وَالَّذِينَ هَاجَرُواْ وَجَاهَدُواْ فِي سَبِيلِ اللّهِ أُوْلَـئِكَ يَرْجُونَ رَحْمَتَ اللّهِ وَاللّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ ( البقرة [2] : 218)
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang
berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah,
dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang ” (QS. Albaqarah [2] : 218)