Kamis, 22 Oktober 2015

Pengaruh Kemuliaan Muharram pada syiar Keislaman Ummat



‘Pengaruh Kemuliaan Muharram Pada  Syiar  Keislaman Ummat ”
Oleh  Drs  H Hamzah  MM
الْحَمْدُ للهِ القَوِيِّ المَتِينِ، سُبْحَانَهُ خَلَقَ الإِنْسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ، وَهَدَاهُ لِلْمَنْهَجِ القَوِيمِ، وَسَنَّ شَرَائِعَ فِيهَا القُوَّةُ وَالتَّمكِينُ، بِحِكْمَتِهِ نُؤْمِنُ، وَبِقُدْرَتِهِ نُوقِنُ، عَلَيْهِ نَتَوَكَّلُ، وَإِيَّاهُ نَستَعِينُ، أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ لاَ نَبِيَّ بَعْدَهُ.
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ تَبِعَ هُدَاهُ. أَمَّا بَعْدُ؛
فَيَا عِبَادَ اللهِ، أُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ، فَقَالَ اللهُ تَعَالَى: يَاأَيُّهاَ الَّذِيْنَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُمْ مُّسْلِمُوْنَ.، أَمّا بَعْدُ
Puji  syukur,.......sholawat  serta  salam,....wasiat  taqwa,....
Kaum muslimin yang dirahmati oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala
Saat ini kita berada di tanggal 10 Muharram 1436 H. Muharram  adalahj bulan  yang  mendapatkan kapasitas  1 diantara  4 bulan yang di muliakan Allah SWT. Hal ini  berdasarkan apa  yang rasulallah sabdakan “  
السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُم :
ثَلاَثٌ مُتَوَالِيَاتٌ ، ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ .
 وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِي بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ
Dari Abu Bakrah r.a., Nabi s.a.w. bersabda: “setahun itu ada 12 bulan, dan di antaranya ada 4 bulan mulia, 3 berurutan; Dzul Qa’dah, DzulHijjah, Muharram, dan Rajab Mudhar yang ia itu berada antara jumada dan sya’ban”. (Muttafaq ‘alaiyh). 

Bulan  bulan  yang mulia  ini di sebut al-Ashur al-urum.  Al  Ashur al hurum adalah kata dari bahasa Arab yang memiliki arti bulan-bulan yang di muliakan. Kata mulia pada mulanya berarti “terhormat”. Sesuatu yang dihormati biasanya lahir akibat penghormatan terhadap aneka larangan. dari sini kata mulia diartikan dengan “larangan”. Imam Nawawi  memberikan penafsiran bahwa yang dimaksud dengan arba’atun hurum  dalam ayat tersebut adalah bulan Dhu al-Qa’dah, Dhu al-Hijjah, Muharram dan Rajab.

Allah  swt Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تُحِلُّوا شَعَائِرَ اللَّهِ وَلَا الشَّهْرَ الْحَرَامَ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi’ar-syi’ar Allah , dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram …” (QS. Al Maidah (5): 2)
Bulan Dzul Qa’dah termasuk bulan haram, karena pada bulan itu, orang-orang mulai melakukan perjalanan menuju Mekah untuk melaksanakan ibadah haji. Pada bulan Dzul Hijjah, termasuk bulan haram, karena bulan tersebut merupakan bulan puncak  pelaksanaan  Ibadah Haji sebagai  penyempurna  keislaman  seseorang di mata Allah.. Bulan Muharram, juga termasuk bulan haram, karena pada bulan tersebut waktu pulangnya para jamaah haji.  Menyebutkan Al Hafifz Ibnu Hajar , telah diriwayatkan dari Sayyidatina Hafsoh RA dari Nabi Muhammad SAW, bersabda :
مَنْ صَامَ آخِرَ يَوْمٍ مِنْ ذِي الْحِجَّةِ وَأَوَّلَ يَوْمٍ مِنَ الْمُحَرَّمِ جَعَلَهُ اللهُ تَعَالَى لَهُ كَفَّارَةَ خَمْسِيْنَ سَنَةً، وَصَوْمَ يَوْمٍ مِنَ الْمُحَرَّمِ بِصَوْمِ ثَلاَثِيْنَ يَوْمًا.
“Barang siapa berpuasa di hari terakhir bulan Dzulhijjah dan awal hari bulan Muharram, maka Allah SWT akan menjadikannya sebagai pelebur dosa 50 tahun. Dan puasa sehari       di bulan Muharram sama dengan 30 hari di bulan lainnya”.

Muharram, terjadi  peristiwa  besar  dalam sejarah  keislaman yaitu  hijrahnya  Rasulallah SAW dari  makkah  ke  madinah ( yastrib ) Saat  itu  usia  beliau 53 tahun 13 tahun setelah di angkat  menjadi  Nabi dan Rosul  oleh Allah SWT. Hijrah secara bahasa berarti “tarku” (meninggalkan). Dikatakan: hijrah ila syai’ berarti “intiqal ilaihi ‘an ghairihi” (berpindah kepada sesuatu dari sesuatu). Sedangkan secara istilah hijrah berarti “tarku man nahallaahu ‘anhu”: meninggalkan sesuatu yang dilarang oleh Allah SWT.  Hijrah, dalam kamus Al-Munawir Arab Indonesia, berarti pindah ke negeri lain, hijrah dan migrasi. Kata ini berasal dari kata dasar hajara-yahjuru yang berarti memutuskan dan meninggalkan.

Dari pengertian hijrah di atas, maka ada dua makna yang dapat diambil, yaitu hijrah makani (perpindahan tempat), yakni dalam konteks fisik dan hijrah ma’nawi, yakni pada konteks non fisik. (  pemikiran).

Yang  kita  sayangkan saat ini ummat sudah sangat  menjauhkan kondisi  ini  di dalam hidup  beragamanya, dan lebih kepada  menonjolkan sifat yang  sangat bertentangan dengan nilai  nilai  keislaman, Prof.DR.H Kaelani dalam bukunya  “Mendidik  Warga  Bangsa “  khotib kutip :
Dalam hidup  berbangsa  dan beragama saat ini masyarakat kita  pola  pemikirannya  sudah sangat  berbahaya dan perlu di hijtahkan pada  pola  pemikiran yang islami.
Jikalau  seseorang berpandangan  bahwa  kenikmatan  adalah merupakan  nilai  terpenting dan tertinggi  dalam kehidupannya,  maka  orang  tersebut  telah  hidup  pada  sifat dan  pola hidup “ Hedonisme “.,
Demikian juga Jika  seorang berpandangan bahwa   dalam kehidupan  masyarakat  dan Negara  adalah kebebasan Individu  maka  orang  tersebut  telah  hidup  bergaya  atau  bersifat “ Liberalisme “.
Dan jika  seseorang memisahkan antara kehidupan  bernegara atau  bermasyarakat dan  kehidupan   beragama maka  orang tesebut  telah hidup dengan pola  kehidupan    Sekulerisme”.
Dari  ketiga  kategori  di atas multaq harus  di hindari  oleh pola  pemikiran islam, oleh karenanya  mari  kita  hijrahkan diri  kita untuk  secara  totalitas  menjalankan nilai nilai  keislaman dengan kaaffah, amien. Kita  tidak hedonisme,Liberalisme bahkan Sekulerisme, naujubillah.

Hijrah adalah pintu gerbang kemenangan karena setelah hijrah terjadilah peristiwa-peristiwa besar yang menjadi penentu masa depan Islam yang gemilang selanjutnya. Di antara peristiwa-peristiwa tersebut adalah perang badar yang dimenangkan oleh kaum muslimin dan menewaskan pemimpin-pemimpin kafir Qurays, perang Uhud, perang Khandaq, perjanjian Hudaibiyah sampai kepada futuh Makkah. Yang kemenangan-kemenangan tersebut berlanjut sampai dikemudian hari terbukalah gerbang Eropa oleh Tariq bin Ziad untuk kemudian takluk dalam pangkuan Islam dan tersebarlah Islam kesegenap penjuru negeri.

Peristiwa hijrah ini menjadi tonggak perjuangan umat Islam untuk selanjutnya mereka tidak hanya dikagumi oleh kawan tapi juga disegani oleh lawan. Peristiwa hijrah akan tetap relevan atau cocok dikaitkan dengan konteks ruang dan waktu sekarang ataupun yang akan datang. Nilai-nilai yang terkandung dalam peristiwa hijrah itu akan tetap kontekstual dijadikan rujukan kehidupan. Banyak sekali hikmah yang dapat dipetik dari peristiwa tersebut. Diantaranya:

Pertama, hijrah merupakan perjalanan mempertahankan keimanan. Karena iman para sahabat sudi meniggalkan kampung halaman, meninggalkan harta benda mereka. Karena iman mereka rela berpisah dengan orang yang dicintainya yang berbeda akidah. Iman yang mereka pertahankan melahirkan ketenangan dan ketentraman batin, kalau batin sudah merasa tentram dan terasa bahagia, maka bagaimanapun pedihnya penderitaan dzahir yang mereka alami tidak akan terasa. Itulah mengapa sebabnya para sahabat mau berjalan di gurun pasir yang panas. Mereka melakukan perjalanan dari mekkah menuju madinah dengan bekal iman. Oleh karena itu, dalam memperingati tahun baru hijriyah ini, masihlah kita tanamkan keimanan dalam diri kita sebagaimana imannya para sahabat. Dan diwujudkan dalam bentuk amal-amal saleh dalam kehidupan ini.

Spirit hijrah adalah spirit kemenangan. Karena itu bercermin pada peristiwa hijrahnya Nabi shoaallahu ‘alaihi wasalam dan para sahabat adalah menghitung bekal perjuangan kita baik itu bekal secara spiritual maupun material.
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُواْ وَالَّذِينَ هَاجَرُواْ وَجَاهَدُواْ فِي سَبِيلِ اللّهِ أُوْلَـئِكَ يَرْجُونَ رَحْمَتَ اللّهِ وَاللّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Alloh,mereka itulah yang mengharapkan rahmat Alloh,Alloh Maha pengampun, Maha penyayang”.(Q.S. Al Baqarah: 218).
Rasulullah SAW bersabda: “Muhajir (orang yang berhijrah) adalah orang yang meninggalkan segala larangan Allah”. (HR. Bukhari)

Dengan demikian, hijrah secara maknawi terus relevan sampai kapan pun. Bahwa nilai dan semangat hijrah harus kita bawa dalam kehidupan modern ini. Kita berhijrah dari kejahiliyahan menuju Islam. Hijrah dari kekufuran menuju Iman. Hijrah dari kesyirikan menuju tauhid. Hijrah dari kebathilan menuju al-haq. Hijrah dari nifaq menuju istiqamah. Hijrah dari maksiat menuju tha’at. Dan hijrah dari yang haram menuju yang halal.

Hikmah kedua adalah bahwasanya hijrah merupakan perjalanan ibadah. Pada waktu hijrah, dorongan sahabat untuk ikut tidak sama. Oleh karena itu Rasulullah saw sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori bahwa amal-amal perbuatan itu tergantung pada niatnya dan bagi tiap orang apa yang diniatkannya. Oleh karena itu, semangat ibadah inilah yang harus menjiwai peringatan hijrah dan langkah memasuki tahun baru hijriah.

Dan bulan Rajab termasuk bulan haram,( mulia ) dalam risalah  nabawiyah dan ulama  bersepakakat bahwa  Rasulallah SAW  melakukan perjalanan mulia  isro dan mi,roj  terjadi  pada  bulan ini. ( rajab ). Isra` secara bahasa berasal dari kata ‘saro’ bermakna perjalanan di malam hari. Adapun secara istilah, Isra` adalah perjalanan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama Jibril dari Mekkah ke Baitul Maqdis (Palestina), berdasarkan firman Allah :
سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلاً مِّنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الأَقْصَى
Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha “ (Al Isra’:1)
Dari  berbagai  kondisi  isi  kandungan alqur,an  serta  hadist Rasulallah, ummat  harus  menjaga dengan sebaik baiknya  koeadaan  keimanannya  di bulan bulan mulia  ini
http://www.penerbitzaman.com/images/rubrik/rajab2.gif


Artinya: “Maka janganlah kamu Menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu” (QS. At-Taubah: 36).

Rasulallah  SAW  mengingatkan kita  dalam hadis ini, bahwa  proses  perjalanan waktu  bumi  ini di berikan situasi situasi yang berbeda  di sisi  Allah. Seyogyanya  seorang hamba  yang ingin mengalami pertumbuhan religius di  sisi  Allah,  mutlak harus melakukan  berbagai perubahan berbagai hal  dalam proses  beragamanya di dunia  ini, dan ketika  kita sudah berada  pada level  harmonis  dalam beragama harus  terus dipertahankan dengan maksimal.

Allah dengan sangat  jelas  memberikan  stimulus  ( rangsangan ) yang bersifat  diniyah :
ذَلِكَ وَمَن يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِن تَقْوَى الْقُلُوبِ
Firman-Nya: ''Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syiar-syiar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati.'' (QS al-Hajj [2]: 32).
Dinamai 'syiar' yang secara harfiah berarti tanda atau rambu-rambu yang dipasang untuk mengenali sesuatu. Kata syiar berasal dari kata syu`ur, yang bermakna rasa, karena syiar dibangun agar setiap orang yang melihatnya merasakan keagungan Allah SWT.  Syiar selanjutnya dipahami sebagai tanda ibadah, terlebih lagi ibadah haji. Syiar bisa menunjuk pada tempat-tempat yang mulia, seperti Ka`bah, Shafa, Marwah, Arafah, dan al-Masy`ar al-Haram; bisa menunjuk pada waktu, seperti bulan Dzulqa`dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab; dan dapat pula menunjuk pada amalan-amalan agama.
Menurut imam al-Razi, syiar tak hanya menunjuk pada amalan ibadah haji semata, tetapi semua ibadah, bahkan semua aktivitas yang menjadi simbol kepatuhan seseorang kepada Allah. Syiar diagungkan sebagai manifestasi rasa takwa dari perorangan hingga  pada  jamiyah ( kelompok ).
Dalam kehidupan berbangsa  dan bernegara sungguh sangat  banyak hal – hal yang  berkolerasi atau  berketerkaitan dengan syiar. Terutama  syiar Islam.  Semakin tingginya   nuansa  keislaman  dalam kehidupan suatu ummat  maka  akan semakin terasa nilai nilai  keislaman itu sendiri.  Sebaliknya, semakin rendah nuansa  kegiatan keislaman suatu ummat maka akan semakin  rendah juga nuansa  keislaman di dalamnya.
Pada  Kegiatan mengagungkan syiar Allah dipahami oleh para ulama dalam beberapa makna.
Pertama, ihtifal. Bahwa aktivitas keagamaan yang bernilai syiar, perlu dilakukan secara terbuka, meriah, dan penuh antusiasme, tetapi tetap khidmat dan penuh makna.
Kedua, iltizam. Bahwa mengagungkan syiar itu merupakan kewajiban peroses  beragama agama yang harus ditunaikan oleh setiap Muslim sebagai bagian dari proses tadzkir, yaitu usaha untuk mengingatkan manusia pada keagungan Allah.
وَذَكِّرْ فَإِنَّ الذِّكْرَى تَنفَعُ الْمُؤْمِنِينَ
Dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman.'' (QS al-Dzariyat [51]: 55).
Ketiga, itmam. Bahwa syiar harus dilakukan sebaik dan sesempurna mungkin. Kesempurnaan akan muncul jika di landasi  keilmuan yang di upayakan oleh setiap  insan.
ذَٰلِكَ وَمَن يُعَظِّمْ حُرُمَاتِ اللَّهِ فَهُوَ خَيْرٌ لَّهُ عِندَ رَبِّهِ ۗ وَأُحِلَّتْ لَكُمُ الْأَنْعَامُ إِلَّا مَا يُتْلَىٰ عَلَيْكُمْ ۖ فَاجْتَنِبُوا الرِّجْسَ مِنَ الْأَوْثَانِ وَاجْتَنِبُوا قَوْلَ الزُّورِ
Demikianlah (perintah Allah). Dan, barangsiapa mengagungkan apa-apa yang dihormati di sisi Allah, maka itu adalah lebih baik baginya di sisi Rabbnya. (QS. Al-Hajj : 30)

Menurut Al-Laits, hurumatullah adalah apa yang tidak boleh dilanggar. Ada pula yang berpendapat, artinya perintah dan larangan. Menurut Az-Zajjaj, hurumat artinya apa yang harus dilaksanakan dan tidak boleh diabaikan.  Dalil dalil di atas, sangat seharusnya  menjadi  argumentatif  aktifitas  diniyah (  religiusitas ) ummat  untuk terus  melakukan berbagai perkembangan  dari mekanisme  proses  beragama kita.

Hikmah :
Bulan  bulan  yang di muliakan Allah harus  ummat jadikan batu  loncatan untuk terus dan kembali mensyiarkan Kalimat  Allah  di berbagai  situasi dan kondisi. Allah akan memberikan  Jaminan  dengan kwalitas  ketaqwaan yang sesungguhnya  jika ummat melakukan hal itu.diantaranya sebagai berikut,

إِنَّ الَّذِينَ آمَنُواْ وَالَّذِينَ هَاجَرُواْ وَجَاهَدُواْ فِي سَبِيلِ اللّهِ أُوْلَـئِكَ يَرْجُونَ رَحْمَتَ اللّهِ وَاللّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ ( البقرة [2] : 218)

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang ” (QS. Albaqarah [2] : 218)