KEBERKAHAN UMMAT
MENURUT AL-QUR,AN
DALAM KEHIDUPAN
BERBANGSA DAN BERNEGARA
Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah
Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka
mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan
perbuatannya.
( QS .Al A,raf ayat 96)
Oleh : Drs. H Hamzah MM
Pendahuluan
Alqur,an
sebagai kitab petunjuk bagi ummat manusia selain berfungsi memberi pemecahan problema-problema
masyarakat dengan tujuan tercapainya kesejahteraan di dunia dan akhirat.
Namun juga sangat menaruh perhatian
sangat besar tyerhadap roblema kondisi
masyarakat dalam bidang perbaikan
ekjonomi. Keberkahan dalam bahasa
agama pada dasarnya dapat
di konverasi dengan kemiskinan. Melihat dan memperhatikan kondisi berbangsa
di negara yang kita cintai
ini, perlu kiranya
kita mendalami dan merenungkan
kembali makna yang terdapat dalam berbagai
hal tentang proses berbangsa
dan bernegara dalam ruang lingkup
penjabaran alqur,an.
Penulis
mencoba mengungkapkan sebuah penomena yang
sangat umum di kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini, yaitu sebuah pemaknaan “keberkahan “. Kenapa kata
keberkahan? Mengingat bangsa kita adalah bangsa yang mayoritasmuslim, yang
seharusnya kata ini menjadi acuan riel mereka yang berikan amanah oleh Allah untuk menciptakan sebuah
keberkahan itu bagai manusia yang lain atau ummat.
Seorang teknokrat dan pemikir Islam, Dr. H.Munawir Sjazdali ,MA.
Dalam sebuah bukunya Islam dan Tata
Negara diungkapkan bahwa
Ummat Islam masih terdapat pemahaman
tentang hubungan antara Islam
dan ketatanegaraan pada tiga pemikiran :
Pertama ,
berpendirian bahwa Islam bukanlah semata mata agama dalam pengertian Barat, yakni hanya menyangkut
hubungan antara manusia dengan Tuhan,
sebaliknya Islam adalah satu agama
yang sempurna dan lengkap dengan
pengaturan bagi segala asfek kehidupan
mansuia termasuk kehidupan berbegara.
Para penganut pemikiran ini di antaranya
Syaekh Hasan Al-Banna, Sayyid
Qutub, Syekh Muhammad Sayid Ridho dan
A,A, Maududi. pada umumnya berpendirian
bahwa :[1]
1.
Islam adalah
suatu agama yang sudah lengkap, karena
di dalamnya terdapat, sistem
ketatanegaraan atau politik, oleh
karena itu ummat Islam hendaknya kembali kepada Sistem ketatanegaran Islam.
2.
Sistem ketatanegaraan atau politik Islami yang harus di teladani adalah sistem
yang telah di laksanakan oleh Nabi
Besar Muhammad SAW dan oleh empat
orang sahabat Nabi (lihat ; Piagam
Madinah).
Kedua ; berpendirian
bahwa Islam adalah agama dalam pengertian barat, yang tidak ada hubungannya dengan urusan kenegaraan. Menurut aliran ini
Nabi Muhammad hanyalah seorang Rosul
biasa seperti halnya rasul rasul yang
sebelumnya dengan tugas tunggal mengajak manusia
kembali kepada kehidupan yang
mulia dengan menjunjung Budi pekerti
yang luhur dan Nabi tidak pernah di maksudkan untuk mendirikan dan
mengepalai satu negara.
Ketiga ; menolak
pendapat bahwa agama Islam adalah
agama yang serba lengkap dan bahwa dalam agama Islam terdapat sistem ketata negaraan. Tetapi
aliran ini juga menolak bahwa agama
Islam adalah agama dalam pengertian Barat yang hanya
mengatur Hubungan antara manusia dan penciptanya. Aliran ini berpendirian
bahwa di dalam Islam tidak
terdapat sistem ketata negaraan.[2] Tetapi terdapat perangkat tata nilai
etika bagi kehidupan
bernegara. Diantara tokoh
tokohnya adalah Dr.Mohammad Husein
Haikal, pengarang buku “ Hayau
Muhammad fan Fi Manzil al Wahyi “. [3]
Sebenarnya ada
tiga pilar yang
sangat menentukan suatu bangsa
untuk dapat eksistensi
menciptakan superioritas suatu bangsa, jika di hubungkan dengan upaya melahirkan “ keberkahan pada ummat “. Pertama; keyakinan atau pandangan
bangsa itu terhadap hal-hal yang
bersifat sufreme, keberadaan manusia dan realitas alam semesta. Kedua ; kemampuan bangsa
tersebut dalam
menginterpretasikan secara intelektual dan saintifik
akan keyakinan tersebut dalam realitas kehidupan. Ketiga ; adanya manusia-manusia parexallance yang berani
dan cerdas untuk mendasarkan
hidupnya atas keyakinan dan
agama yang di yakininya secara penuh dan
komprehensif. Tiga pilar ini
pula yang kita temukan dalam
realitas kehidupan ummat Islam era rasulallah saw. Bersama para
sahabatnya dan generasi berikutnya.
Allah melalui ayat-ayatnya
memuji ummat Islam yang
di lahirkan untuk manusia. Mereka
sangat aktife berdakwa, amar ma,ruf nahi munkar. Generasi
awal ummat Islam ini sangat kreatife,imajinatife, sehingga
melahirkan peradaban Baru manusia. [4]
Pada era
global yang sangat kompleks
ini, sebuah kebarkahan tentunya akan
banyak di pengaruhi berbagai keadaan dan situasi. Diantaranya; Keadaan dan
karakter masyarakat suatu bangsa,
Keadaan masyarakat itu sendiri dan
juga karakter manusia itu sendiri
sebagai anak bangsa. Oleh
karena itu sebuah
negara akan mendapatkan posisi
keberkahan secara totalitas
jika memang secara
utuh melakukan kebijakan yang
sesuai dengan sunatullah. Tidak
di sangkal jika suatu
bangsa yang bukan mayoritas muslim mendapatkan keberkahan dari Allah, karena bangsa
tersebut melangkah dengan tata kelola bangsanya dengan
membawa nilai nilai ketuhanan,
seperti, kebijakan, keadilan, kehormatan. Yang
jelas mereka secara
totalitas berjalan dalamrule of law
sehingga mencerminkan kearifan dari tujuan di ciptakannya manusi oleh Allah. Kemudian
bagaimana dengan kehidupan
berbangsa dan bernegara kita ( Indonesia ) jika
kita telusuri dari pemaknaan sebuah
keberkahan ?. Makalah ini akan mencoba
menguraikan makna keberkahan yang
sebenarnya tersebut dalam wilayah kehidupan berbangsa saat ini.
Pembahasan
Dari ketiga pemikiran Dalam
Buku Islam dan Tata negara
oleh H Munawwir Sjadzali tersebut, ummat Islam hendaknya mampu menyeimbangkan
pola pemikirannya dengan melakukan
analisa berdasarkan kitab Absolut kebenaran yaitu Alqur,an. Alqur,an dengan berbagai macam kelebihannya dari berbagai sudut
pemikiran dalam mensikapi tentang
bernegara, setidaknya ada hal- hal yang perlu kita ketahui
berkenaan dengan mengkaji “ Alqur,an
dan bernegara “. Didalam berdirinya sebuah negara
hendaklah mempunyai kondisi
atau mencirikan hal hal di bawah ini :
1. Keadaan suatu negeri tergantung dari penduduknya
2. Beberapa ciri
masyarakat yang dikehendaki oleh Islam
3. Tugas manusia
sebagai khalifah/pemimpin
4. Musyawarah terhadap berbagai Perbedaan Pendapat
Alqur,an yang berisikan
tatanan tatanan kehidupan manusia
yang mencakup berbagai susbstansi kehidupan diantaranya ; aqidah,Ibadah,Hukum-hukum,Peringatan,
sejarah dan juga dorongan kepada manusia
untuk berfikir. Juga sangat berpengaruh terhadap pola
kehidupan berbangsa dan bernegara. Maka
ketika suatu negara ingin
mendapatkan keberkahan, tentunya
tidak akan bisa tercapai jika
meninggalkan ajaran ajaran Alqur,an. Alqur,an sendiri memberikan gambaran sebuah masyarakat dan pola berenegara
yang bisa melahirkan sebuah keberkahan
dengan beberapa ciri yang jelas di
atas.
Dalam Alqur,an Surat
Al A,rof ayat 96
dengan jelas Allah memberikan ilustrasi
tentang berdirinya sebuah negera.
Dengan latar belakang yang sangat jelas.
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُواْ وَاتَّقَواْ لَفَتَحْنَا عَلَيْهِم
بَرَكَاتٍ مِّنَ السَّمَاء وَالأَرْضِ وَلَـكِن كَذَّبُواْ فَأَخَذْنَاهُم بِمَا
كَانُواْ يَكْسِبُونَ
Artinya : Jikalau sekiranya penduduk
negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada
mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami)
itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya. ( QS .Al A,raf ayat 96)
Batasan dasar
sebuah negera dalam pandangan Alqur,an yaitu mutlaq. Yaitu
Beriman. Dengan beriman dan bertaqwa akan di berikan satu kapasitas yang luar
biasa dalam konteks berbangsa dan bernegara. yaitu
“ keberkahan “. Dapat juga
sebenarnya di katakan sebuah
tatanan masyarakat Madani (civil society ). Istilah civil society
itu sendiri merupakan produk sejarah masyarakat Barat. Yang di gagas oleh para pemikir seperti
Aristotels ( 384-322 SM ), Thomes
Hobbes ( 1588-1679) dll. Pemikiran
ini sebenarnya tidakjauh berbeda
dengan pemikiran Ibnu Khaldun “ Konsep
Ashabiyah “. Dalam berbagai
literatur berbahasa Indonesia
di artikan yang cukup beragam, diantaranya ; (1) masyarakat
sipil. (2). Masyarakat kewargaan (3).masyarakat
Madani. Namun ada
juga yang tidak menterjemahkannya, masih menggunakan secara utuh. ( civil society ). [5]. Lebih
Lanjut J.Suyuti Pulungan mengemukakan,
Prinsip prinsip dasar para pakar
untuk membabgun masyarakat madani mencakup,
penegakan supermasi Hukum,
keadilan sosial, penghargaan terhadap hak-hak asasi manusia, kemandirian
masyarakat,persatuan, kedaulatan rakyat,
yang di semangati dengan demokratisasi.[6] Dari
tujuan yang hendak di lahirkan oleh sebuah konsep masyarakat Madani, menurut penulis, tidak lain adalah akan menciptakan sebuah makna
keberkahan dalam suatu
tatanan masyarakat atau ummat. Amartya Sen, peraih nobel Ekonomi tahun 1998
pernah mengataka “ Orang orang
miskin akan mampu
memperjuangkan hak-haknya lebih
efektif dinegara demokratis dibanding di negara
otoriter”. Karena sebuah kebekahan pada ummat sangat
berpengaruh pada jalannya sebuah
roda kenegaraan, ketika
sebuah negara yang
demokratis tidak demokratis maka
itu sama halnya tidak memasuki wilayah keberkahan bagi
Ummat ( warga negara ).
Dalam sebuah makalah yang di tulis oleh Dr.
Muhammad Arifin Baderi, M.A. Keberkahan itu di uraikan.”Berkah” atau “al-barakah” bila kita pelajari dengan
sebenarnya, baik melalui ilmu bahasa Arab atau melalui dalil-dalil dalam
al-Qur’an dan as-Sunnah, niscaya kita akan mendapatkan, bahwa “al barakah”
memiliki kandungan dan pemahaman yang sangat luas dan agung. Secara ilmu
bahasa, “al-barakah” berarti “Berkembang, bertambah dan kebahagiaan. Asal makna keberkahan ialah kebaikan
yang banyak dan abadi.” (Syarah Shahih Muslim
oleh an-Nawawi, 1/225). [7] Adapun
bila ditinjau melalui dalil-dalil dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, maka
“al-barakah” memiliki makna dan perwujudan yang tidak jauh berbeda dari makna
“al-barakah” dalam ilmu bahasa. Walau demikian, kebaikan dan perkembangan
tersebut tidak boleh hanya dipahami dalam wujud yang riil, yaitu jumlah harta
yang senantiasa bertambah dan berlipat ganda. Dikisahkan dalam al-Quran, dan
as-Sunnah di dalam alqur,an Allah memberikan satu ilustrasi yaitu
QS Qaaf ayat
9-11 ;
وَنَزَّلْنَا مِنَ السَّمَاء مَاء مُّبَارَكًا
فَأَنبَتْنَا بِهِ جَنَّاتٍ وَحَبَّ الْحَصِيدِ وَالنَّخْلَ بَاسِقَاتٍ لَّهَا
طَلْعٌ نَّضِيدٌ رِزْقًا لِّلْعِبَادِ وَأَحْيَيْنَا بِهِ بَلْدَةً مَّيْتًا
كَذَلِكَ الْخُرُوجُ
Artinya “Dan
Kami turunkan dari langit air yang diberkahi (banyak membawa kemanfaatan), lalu
Kami tumbuhkan dengan air itu taman-taman dan biji-biji tanaman yang diketam.
Dan pohon kurma yang tingi-tinggi yang memiliki mayang yang bersusun-susun,
untuk menjadi rezeki bagi hamba-hamba (kami), dan Kami hidupkan dengan air itu
tanah yang mati (kering). Demikianlah terjadinya kebangkitan.” (Qs. Qaaf: 9-11).
Kisah
bangsa Saba’, suatu negeri yang tatkala penduduknya beriman dan beramal shaleh,
penuh dengan keberkahan. Sampai-sampai ulama ahli tafsir mengisahkan, bahwa
dahulu wanita kaum Saba’ tidak perlu untuk memanen buah-buahan kebun mereka.
Untuk mengambil hasil kebunnya, mereka cukup membawa keranjang di atas kepalanya,
lalu melintas dikebunnya, maka buah-buahan yang telah masak dan berjatuhan bila
keberkahan telah menyertai hujan yang turun dari langit, tanah gersang, kering
keronta menjadi subur makmur, kemudian muncullah taman-taman indah, buah-buahan
dan biji-bijian yang melimpah ruah. Sehingga negeri yang dikaruniai Allah
dengan hujan yang berkah, menjadi negeri gemah ripah loh jinawi (kata orang
jawa).
بَلْدَةٌ طَيِّبَةٌ وَرَبٌّ غَفُورٌ
Artinya
“(Negerimu adalah) negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan Yang Maha
Pengampun.” (Qs. Saba’:
15). Dalam ayat lain
Allah mengungkapkan surat
dalam surat Hud
ayat 117.وَمَا كَانَ
رَبُّكَ لِيُهْلِكَ الْقُرَى بِظُلْمٍ وَأَهْلُهَا مُصْلِحُونَ
Artinya : Dan Tuhanmu sekali-kali
tidak akan membinasakan negeri-negeri secara zalim, sedang penduduknya orang-orang
yang berbuat kebaikan ( QS Hud ayat 117 ) ).[8]
Janji Allah adalah
mutlaq kebenarannya kepada manusia
di muka bumi ini, ketika
semua komunitas bangsa beriman
dan berbuat kebaikan akan di
berikan kapasitas keberkahan, dan
tidak akan mengalami sebuah kehancuran, tetrapi jika tidak
beriman akan mengalami kehancuran
itu. Jadi Islam melalui alqur,an sudah memberikan alternatif
pemikiran yang sangat jelas.Jika sebuah negara ingin mendapatkan sebuah keberkahan dan jauh dari
kehancuran jalan utama adalah beriman
dan bertaqwa seluruh rakyatnya. Jika kita
ilustrasikan pada bangsa
kita, rasanya semua
kita akan mempunyai persepsi yang sama tentang kondisi
bangsa dan negara kita secara konteks Agama. Di satu sisi
bangsa kita muslim tetapi di satu
sisi bangsa kita tidak menanpakkan nilai
nilai ajaran kemusliman itu. Makanya
keberkahan dari negeri ini belum
nampak maksimal dari Allah, SWT, hanya
sebagian kecil dari bangsa kita yang merasakan nilai nilai keberkahan
tersebut, Mungkin hanya 20% dari 80
% yang belum merasakan hakikat sebuayhu keberkahan
bangsa. Salah satu sebebnya itu bangsa
kita tidak Konswekwen kepada
nikmat nikmat Allah SWT.
Dalam Tafsir
al Misbah juz 6 M.Quraish
Shihab menuliskan tentang surat Hud
ayat 117 ini. Kata
ma-kana/tidak pernah ada/ satu istilah yang mengandung makna penekanan kesungguhan. Kata ini
bisa juga di terjemahkan dengan
tidak wajar atau sepatutnya. Dengan
menyatakan tidak pernah ada maka
tertutup sudah kemungkinan dapat terjadinya hal tersebut dalam keadaan apapaun. Jika istilah itu tertuju kepada
makhluq, maka itu bagaikan menafikan adanya kemampuan melakukan sesuatu. Redaksi
itu menurut Asy-Sa,rawi’.,
berbeda dengan redaksi maayanbaghi yang secara
harfiyah berarti tidak sepatutnya, karena yang terakhir ini masih
menggambarkan adanya kemampuan,
hanya saja tidak sepatutnya di lakukan. Dengan menegaskan tidak ada
kemampuan , maka tertutup sudah kemungkinan bagi wujudnya
sesuatu yang di maksud ,
berbeda jika baru dinyatakan tidak sepatutnya.
Ketika ayat ini di nyatakan tidak pernah
ada, maka itu berarti
apapaun yang terjadi , kezholiman
dari Allah tidak pernah akan ada. Di sinilah terletak penekanan
dan kesungguhan yang di kandung
oleh redaksi tersebut.[9]
Selanjutnya Quraish Shihab mengungkapakan, kata
mushlihun adalah jamak dari
kata muslih. Sesorang di tuntut, paling
tidak menjadi sholeh,
yakni memelihara nilai nilai sesuatu sehingga kondisi
itu tetap bertahan sebagaimana
adanaya. Dan dengan
demikian sesuatu itu tetap berfungsi dan bermanfaat. Seortang yang
mushlih, adalah seorang yang menemukan
sesuatu yang hilang atau berkurang nilaionya, tidak atau kurang berfungsi dan bermanfaat. Lalu ia melakukan aktifitas ( memperbaiki ) sehingga yang kurang itu atau yang hilang itu menyatu kembali dengamn sesuatu itu. Yang
lebih baik dari itu adalah seseorang yang menemukan sesuatu yang telah bermanfaat dan berfungsi
denganm baik., lalau dia melakukan aktifitas yang me;lahirkan nilai tambah
bagi sesuatu itu. Sehingga
kualitasnya lebih tinggi lagi. Huruf
ba’ b ( yang dibaca bi )
pada kata bizulmin pad ayat di atas,b ada
yang memahminya dalam arti, mulabasah yaitu
kebersamaan, bdan persentuhan
dengan kata Tuhanmu.
Atas dasar itu, ia di pahami
bahwa Allah SWT tidak melakukan sesuatu dengan cara aniyaya sekecil appapun. Ada
juga yang memahami huruf
tersebut sebagaio berfungsi
menjelaskan sebab dan dengan
demikian ia berkaitan dengan penduduk negeri. Jika
pendapat kedua ini yang
di pilih, maka yat tertsebut
menjelaskna bahwa jatuhnya siskas Allah terhadap penduudka
suatu negeri bukan di sebabkan
karena kezaliman yang besar yakni kemusyrikan yang di lakukan oleh penduduk
negeri itu. Siksa Allah tidak
akan jatuh terhadap mereka. Ini
karena Allah maha penyantun
dan mendahulukan kemaslahatan hamba-NYA dari pada pengabdian kepada-Nya. Asy Sa,rawqi menulis bahwa “ Negeri negeri yang penduduknya
melakukan perbaikan tidak akan di binasakan oleh Allah. Karena
perbaikan yang mereka lakukan, bila merupakan hasil kepatuhan
terhadap sistem yang di tetapkan oleh Allah swt, maka ketika itu terjadi keseimbangan antara gerak manusia
dengan gerak alam, dan tidak terjkadi
perbenturan antara berbagai gerak. Yang terjadi justru
sebaliknya yakni gerak-gerak
tersebut saling mendukung dan
menguatkan sehingga lahir masyarakat
yang di dambakan. Dan bila perbaikan itu di lakukan oleh mereka
yang patuh kepada Allah dan
sistem yang tetapkan-Nya, tetqpi mereka menemukan satu cara kerja yang menyenangkan
dan sesuai bagi mereka , maka
ketika itupun Allah tidak menjatuhkan siksa-Nya, karena Allah swt. Tidak menghalangi
akal manusia menemukan cara cara yang menyenangkan kehidupan mereka . Hanya saja lanjut Asy Sa,rawi akal manusia
akan tidak akan mencapai apa
yang sesuai dan menyenangkannya dalam kehidupan dunia
ini, kecuali setelah upaya melelahkanya, berbeda dengan sistem yang di tetapkan oleh Allah yang siap di
pakai dan tidak melelahkan manusia . Karena itu asy Sya,rawi dalam menafsirkan
ayat ini , sekali lagi menekankan bahwa
Allah swt. Tidak membinasakan
suatu negeri karena penduduknya
yang kafir. Bahkan dia melanggengkannya dalam keadaan kafir selama mereka menetapkan
dan melaksanakan dengan baik
peraturan peraturan yang menyangkut hak dan kewajibann sebagai anggota masyarakat Dunia. Itu adalah
maksud dari “ waahluhu mushlihun ( dan pendudukknya adalah mushlihun ). [10]Allah
dengan berbagai hak prerogatifnya ternyata
kan memberikan berbagai keleluasan kepada setiap penduduk bumi ini untuk berbuat
dengan sesuai sistem dan keadaan yang ada di bumi ini, tidak akan
Allah hancurkan sebuah negeri itu ketika masih dalam koridor berbuat kebaikan, berarti perbuatan kebaikan baik secara individui dan ankhirnya secara kelompok dan juga
secara Negera, adalah sebagai
anugrah besar dari Allah kepada
suatu bangsa. Allah tidak melepas
dari kondisi azam atau kehancuran terhadap kafur
atau muslim. Selalu da
kebaikan yang menjadi model dalam
kehidupannya.
Kita perlu mengingat kaum Nabi Yunus yang
mampu mendatangkan kebahagian
dan menghilangkan azab yang pada saat itu
menimpanya. Dengan jelas di
tuliskan dalam alqur,an QS.Yunus
ayat 98 :
فَلَوْلاَ
كَانَتْ قَرْيَةٌ آمَنَتْ فَنَفَعَهَا إِيمَانُهَا إِلاَّ قَوْمَ يُونُسَ لَمَّآ
آمَنُواْ كَشَفْنَا عَنْهُمْ عَذَابَ الخِزْيِ فِي الْحَيَاةَ الدُّنْيَا
وَمَتَّعْنَاهُمْ إِلَى حِينٍ
Artinya : Dan mengapa tidak ada
(penduduk) suatu kota yang beriman, lalu imannya itu bermanfa'at kepadanya
selain kaum Yunus? Tatkala mereka (kaum Yunus itu), beriman, Kami hilangkan
dari mereka azab yang menghinakan dalam kehidupan dunia, dan Kami beri
kesenangan kepada mereka sampai kepada waktu yang tertentu. QS
Yunus 98.
Sangat jelas
dalam pandangan Allah dalam
alqur,an bahwa sebuah negara yang di diami oleh penduduk yang beriman dan bertaqwa dengan berbuat berbagai kebaikan akan berbeda
di mata Allah dengan manusia yang melakukan berbagai kdhololiman. Ayat
di atas surat Yunus
tersebut dalam penafsiran M Quraish Shihab di uraikan
ada apa sehingga
Allah memberikan sutau keselamatan kepada kuam Yunus. M.Quraish Shihab menguraikan “. Yunus
ibnu Mata lahir di Gats Aifar,
Palestina, Masyarakatnya menolak ajakannya., sehingga beliau
menuju ke Yafa’ satu pelabuhan
di palestina, dan meluat menuju tempayt
yang di namai Tarsyisy, satu kota
di sebelah Barat Palestina atau
selain itu, lalu beliau di turunkan
ke tengah laut sehingga ditelan Ikan
besar. Kisah itu di sebutkan di
dalam alqur,an secra singkat
dalam surat Nun. Beliau di utus
sekitar awal abad ke VIII SM,
dan di kubur di Jaljun, satu desa yang terletak diantara Qudus di Palestina dan Al-Kholil
yang terletak di tepi barat laut Mati.[11]
Kaum Yunus hidup
di kota Nainawa, salah satu Kota kerajaan
Asyur yang terletak di tepi
sebelah kiri sungai Tigris di Irak danm di bangun pada tahun 2229 SM.
Konon Nabi Yunus as. setelah
sekian lama mengajak kaumnya ke jalan kebenaran tetapi terus membangkang, akhirnya meninggalkan mereka sambil mengancam jatuhnya siksa Allah setelah empat puluh hari. Namun
beberapa hari sebelum berakhirnya
masa itu, mereka melihat tanda tandanya. Ayat
ini merupakan ancaman kepada kaum
musryikin Mekkah, Sementara ulama
berpendapat bahwa kaum musyrikin
mekah serupa keadaannya dengan keadaan kaum nabi Yunus as. Mereka pun pada
kahirnya berduyun duyun memeluk
Islam dan mempercayai Nabi Muhammad SAW.
Begitu beliau bersam akaum muslimin memasuki kota mekah. Ketika
itu mnereka di maafkan oleh
Rasulallah saw. Sambil bersabda. “
Kalian adalah saudara dan anak
anak saudar yang mulia. Pergilah keman
kalain mau kalian adalah orang orang
yang bebas.”.[12]
Dua hal penting
yang perlu di garis bawahi oleh seorang Sayyid Qutub tentang kejadian
ini adalah,
Pertama; Bahwa ayat
ini menghimbau para pendurhaka untuk berpegang pada pelampung terakhir.
Semoga merekapun dapat selamat sebagaimana keselamatan yang di peroleh kaum Nabi
Yunus. As.
Kedua ; Keselamatan yang di alamai
oleh kaum Nabi Yunus as. Ini tidak berarti abhwa sunatullah yakni kebiasaan dan ketentuan Allah terhadap para pembangkang
terhenti atau di abaikan. Mereka
ahanay di biarkan bersenang senanmg sekian lama. Ini karena
sunnah Allah adalah menjatuhkan
siksa bagi mereka yang terus
membangkang sampai datangnya siksa. Karena kaum Nabi Yunus as.
Sadar beberapa beberapa
sebelum datangnya siksa
itu. Maka sunnahnya
yanglain berlaku ketika itu yakni
penyelamatan dari siksa akibat kesadaran itu.
Jika demikian tidak ada pemaksaan dalam kegiatan manusia. Yang ada adalah pemaksaan menerima
akibat akibat buruk dari kegiatan
itu. [13]
Menurut J.Suyuthi
Pulungan, dalam buku Universalisme
Islam, keberkahan terkadang
sangat perpengaruh atu di ukur dengan yang di sebut Asfek
ekonomi. Asfek ini
sangat berhubungan dengan
pesan-pesan alqur,an tentang upaya meningkatkan derajat masyarakat secara keseluruhan dari kemiskinan dan kekurangan.[14]
Prinsip prinsip ekonomi dalam
Alqur,an sangat menekankan
pada pembangunan ekonomi
yang bersifat menyeluruh. Di dalamnya terkandung cita-cita, yang menurut
jargon modern, tentang keadilan sosial.[15] Manusia
di beri kebebasan untuk
mengembangkan ekonominya di permukaan
muka Bumi ini, dengan koridor-koridor yang jelas
berdasarkan ajaran agama. Karena
keberkahan sangat dekat denganistilah kemakmuran, Urgensi pemerataan kemakmuran, terletak pada
perbedaan kemqampuan dan bakat
antara pribadi-pribadi manusia dalam
aktivitas ekonomi yang mnnyebabkan pernedaan
tingkat ekonomi dan kemakmuranaatau keberkahan. Hal ini sebenarnya sudah di ketengahkan oleh Allah. QS An
Nahl ayat 71.
وَاللّهُ
فَضَّلَ بَعْضَكُمْ عَلَى بَعْضٍ فِي الْرِّزْقِ فَمَا الَّذِينَ فُضِّلُواْ
بِرَآدِّي رِزْقِهِمْ عَلَى مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَهُمْ فِيهِ سَوَاء
أَفَبِنِعْمَةِ اللّهِ يَجْحَدُونَ
Artinya :
Dan Allah melebihkan sebahagian kamu dari sebagian yang lain dalam hal rezki,
tetapi orang-orang yang dilebihkan (rezkinya itu) tidak mau memberikan rezki
mereka kepada budak-budak yang mereka miliki, agar mereka sama (merasakan)
rezki itu. Maka mengapa mereka mengingkari ni'mat Allah.( QS An Nahl
ayat 71 )
Ini merupakan
perumpamaan perumpamaan yang di buat Allah, apakah diantara kalian ada orang yang mau berbagi kepmilikan harta, istri, dan tempat tidur dengan orang lain. Lalu kalian memadamkan
Allah dengan makhluq dan hambanya-Nya ? jika kamu
tidak sudi untuk berbagi, tentu Allah lebih tidak sudi lagi ketimbang kamu. [16]
A. Faktor Kebangsaan
“Bahasa Menujukan Bangsa”, demikian kata pepatah Melayu.kemungkinan pepatah ini
berasal dari amtsal (pepatah) Arab. [17] Banyak
kita temukan dalam sejarah ada
bahasa dan bangsa yang pernah ada
kemudian lenyap. Kita ambil contoh bangsa
Qibi yang mempunyai sejarah panjang
yang menjadi penguasa lembah Nil,di Mesir. Bahasa dan
aksara hieroglif ( tulisan paku) dari
bangsa ini telah lenyap di telan sejarah. Hilangnya bangsa dan bahasa ini berkaitan erat dengan hancurnya negara (pemerintahan) mereka. Begitu
Pula Yahudi yang pernah
menjadi penguasa di Baitul Maqdis bahasa
mereka hilang dan hancur,namun
1948 mereka mendirikan negara dengana nama Negara Israel.[18]Dalam Alqur,an surat AlHujurat ayat 13, terdapat kata berbangsa-bangsa dan
bersuku suku. Kata Sya’bun dan Syu’ub
berarti bangsa yang terdiri
dari berbagai qabilah dan qabail yang menjadi satu. Yang akhirnya membentuk
pemerintahan yang sama.
Dalam menelusuri penjelasan
yang terdapat dalam Alqur,an dan kebangsaan tentunya
kita perlu memahami apa
itu sebenarnya kebangsaan. Dalam Buku membumikan
Al qur,an M. Qurais Shihab menuliskan “ Kebangsaan" terbentuk dari
kata "bangsa" yang
dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, diartikan sebagai
"kesatuan orang-orang yang bersamaan asal keturunan, adat,
bahasa dan sejarahnya, serta
berpemerintahan
sendiri.". Menurut
DR.Ir.Satryo Soemantri Brojonegoro,
“ Bangsa orang orang yang memiliki kesamaan asal
keturunan, adat , bahasa dan sejarah
serta berpemerintahan sendiri”.[19] Sedangkan
kebangsaan diartikan sebagai "ciri-ciri yang menandai golongan bangsa."Kebangsaan” terbentuk dari kata
“bangsa” yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, diartikan sebagai kesatuan
orang-orang yang bersamaan asal keturunan, adat, bahasa, dan sejarahnya, serta
berpemerintahan sendiri. Sedangkan “kebangsaan” diartikan sebagai “ciri-ciri”
yang menandai golongan suatu bangsa. Para pakar berbeda pendapat tentang
unsur-unsur yang harus terpenuhi untuk menamai suatu kelompok manusia sebagai
bangsa. Demikian pula mereka berbeda pendapat tentang ciri-ciri yang mutlak
harus terpenuhi guna terwujudnya sebuah bangsa atau kebangsaan. Hal ini
merupakan kesulitan tersendiri dalam upaya memahami pandangan Al Qur’an tentang
paham kebangsaan.Di sisi lain, paham kebangsaan-pada dasarnya- belum dikenal pada
masa turunnya Al Qur’an. Paham ini baru muncul dan berkembang di Eropa sejak
akhir abad ke 18 dan dari sana menyebar ke seluruh dunia Islam.Memang,
keterikatan kepada tanah tumpah darah, adat istiadat leluhur, serta penguasa
setempat telah menghiasi jiwa umat manusia sejak dahulu kala, tetapi paham
kebangsaan (nasionalisme) dengan pengertiannya yang lumrah dewasa ini baru
dikenal pada akhir abad ke 18.Yang pertama kali memperkenalkan paham kebangsaan
kepada umat Islam adalah Napoleon pada saat ekspedisinya ke Mesir. Lantas,
setelah revolusi 1789 Perancis menjadi salah satu negara besar yang berusaha
melebarkan sayapnya. Mesir yang ketika itu dikuasai oleh para Mamluk dan berada
di bawah naungan kekhalifahan Utsmani, merupakan salah satu wilayah yang diincarnya.
Walaupun penguasa-penguasa Mesir itu beragama Islam, tetapi mereka berasal dari
keturunan orang-orang Turki. Napoleon mempergunakan sisi ini untuk memisahkan
orang-orang Mesir dan menjauhkan mereka dari penguasa dengan menyatakan bahwa
orang-orang Mamluk adalah orang asing yang tinggal di Mesir.
Paham kebangsaan sama sekali tidak
bertentangan dengan ajaran Al Qur’an dan sunnah. Bahkan semua unsur yang
melahirkan paham tersebut, inklusif dalam ajaran Al Qur’an, sehingga seorang
muslim yang baik pastilah seorang anggota suatu bangsa yang baik. Kalau anggota
suatu bangsa terdiri dari beragam agama atau anggota masyarakat terdiri dari
berbagai bangsa, hendaknya mereka dapat menghayati firman-Nya dalam surat Al
Baqarah ayat 148:“Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblat (arah yang ditujunya), dia
menghadap ke arah itu. Maka berlomba-lombalah kamu (melakukan) kebaikan. Di
mana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian. Sesungguhnya
Allah Maha kuasa atas segala sesuatu” . [20]
Hemat penulis, Faktor kebangsaan yang pernah di turunkan oleh ke Bumi ini adalh satu bukti
kekuasan Allah juga. Bangsa-bangsa
tersebut akan tetap bertahan dan berkembang peradabannya jika di jaga dengan baik,
berkarakter kuat dan menjaga kontinyuitas
kebangsaa dengan menjaga
sifat dan kondisi sumber daya
alam yang ada,tetapi akan hilang
bangsa itu jika keluar
dari konteks penetapan kholifah dari Tuhan yang di
langgarnya. Jadi Bangsa akan dapat
bertahan dengan memunculkan sebuah
keberkahan kepada rakyatnya jika seluruhnya memandang bahwa ada
kekuatan Allah yang mesti di jaga
dan di pelihara dengan baik. Tetapi
terkadang manusia teramat sukar untuk hal itu. Sesuatu yang mungkin saja Indonesia hanya tinggal
kenangan, ketika penguasa dan rakyatnya
semakin zholim kepada Allah.
B.Konsep Islam dan Problema
Kemiskinan
Keberkahan dalam
lingkungan suatu negeri
sanagat berafiliasi dengan masyarakat yang beradadi dalam kondisi kemiskinan.
Kemiskinan menjadi problema
bagi ummat manusia secara keseluruhan karena ia
selalu hadir kapan saja dan di mana
saja sehingga itu
menjadi musuh besar bagi manusia. Bahkan kemiskinan merupakan sebuah penyakit
sosial dan menjadi kendala
bagi tercapainya kesejahteran
hidup manusisa (keberkahan
dalambahasa agama ). Pada dasawarsa
saat ini kemiskinan itu tidak
hanya berkaitan dengan harta
benda ( material ) tetapi juga
berkaitan dengan masalah non material.[21]
Agama Islam sejak
periode mekkah sudah sangat
konsen dengan istilah
kemiskinan, hal itu
tercermin pada di
turunkannya ayat-ayat pendek seperti QS al-Maun, al-Fajr dll. Yang
berisikan tentang perlunya di
lahirkan rasa care atau peduli dari masyarakat elit ( kaya ) kepada
masyarakat yang berada
dalam kemiskinan. Dan Allah mengecam mereka yang
tidak peduli tersebut.
Al qur,an mengandung ajaran ajaran
ekonomi. Persolaan ekonomi
sendiri berkaitan dengan
masalah-masalah produksi, distribusi
dan konsumsi untuk bagaimana mencapai
kemakmuran suatu bangsa.
Pengelolaan dan penggunaan sumber sumber secara lestari dan kemiskinan.[22]
Dalam kajian teologi kemiskinan akan di bicarakan pada pemikiran jabariyah
dan qodariyah, dimana watak kajiannya hanya hanya
sampai pada tingkat doktrin
dan tidak pada tahapan Operasional. Lain halnya di bidang Fiqh, yang membahas
tentang kemiskinan pada
masalah halal dan haram.
Sedangkan pada pemikiran
Tasawuf, pembicaraan tentang kemiskinan
seringkali di pandang
sebagai suatu kemulyaan.
Sedangkan di bidang Tafsir, kajian mengenai
kemiskinan sangat terkait dengan metode penafsirang yang bersifat
parsial (tajziy). Akibatnya
permasalahn kemiskinan ini tidak pernah
sampai pada pandangan yang utuh.[23]
a.Gagasan Alqur,an
Menanggulangi Kemiskinan
Manusia diciptakan
mempunyai kedudukan sebagai khalifah ( QS ; 2 ; 30 ), dengan tujuan
yang sangat mulia, yaitu untuk
menciptakan sebuah kemakmuran yang
totalitas tentunya. Kemakmuran itu
tentunya tidak akan tercipta
jika banyak faktor yang di lakukan oleh
manusia tidak sesuai dengan hukum dari Allah.
Agar terwujud sangat
diperlukan keteraturan hidup
manusia dalam masyarakat.
Karena Allah menciptakan segala yang
ada di muka bumi
ini sebagai amanat dari Allah.
Agar manusia dapat
melakoni fungsi kekholifahannya itu
Allah menganugrahkan berbagai
potensi ( ghorizah ) kepada
manusia, tentunya hal itu untu
melakukan pengenalan Alam melalui
observasi dan ekperimentasi. Setidaknya
dengan melakukan hal-hal
tersebut akan muncul sebuah “
keberkahan”.
b.Kemiskinan struktural dan Sikap Keberagamaan
Negara-negara maju
dan kaya setelah perang
dunia II, atau saat ini disebut kelompok ( G 7 ). Negara- negara
maju (kaya) ditandai dengan tarap
hidup sosial ekonomi yang
sangat tinggi,pola perkembangan
ekonominya juga sangat maju,
tingkat keterampilan dan pendidikan masyarakatnya
sangat berkembang tetapi tingkat
pertumbuhan masyarakatnya rendah.
Sedangkan pada negara berkembang atau miskin
perkembangan ekonominya lambat
dan tingkat pendidikan dan keterampilan
masyarakat umumnya masih rendah
dengan tingkat pertumbuhan
penduduk yang tinggi.
Fenomena ini berakibat pada “
sangat besar dan semakin bertambahnya besarnya
perbedaan ketidak merataan ekonomi diantara negara-negara berkembang dan negara-negarsa sedang
berkembang :.[24]
Dari kondisi
di atas sangat jelas,bahwa alqur,an memberikan rangsangan yang sangat
mendalam kepada manusia
dalam kapasitas keummatan
atau negara untuk merubah berbagai
keadaan kearah perbaikan kondisi ekonomi ummatnya. Tetapi memang
pengaruh dunia global
ternyata masih menjadi
batu halangan yang sangat
berarti, negara-negara maju
seakan akan lebih ingin mendominasi
peradaban dunia dan seakan akan tidak memberikan kesempatan sekecil
apapun kepada negera berkembang untuk keluar dari kondisi
tersebut.
C. Faktor Manusia
dan Masyarakat
Dalam bukunya,
Man the Unknown, Dr.
A. Carrel menjelaskan tentang kesukaran
yang dihadapi untuk
mengetahui hakikat manusia. Dia
mengatakan bahwa pengetahuan tentang makhluk-makhluk hidup secara umum dan manusia khususnya belum
lagi mencapai kemajuan seperti yang telah dicapai dalam bidang ilmu pengetahuan
lainnya. Selanj utnya ia menulis: “ Sebenarnya
manusia telah mencurahkan perhatian dan usaha
yang sangat besar untuk mengetahui dirinya, kendatipun kita memiliki
perbendaharaan yang cukup banyak dari
hasil penelitian para ilmuwan, filosof, sastrawan,
dan para ahli di bidang keruhanian sepanjang
masa ini. Tapi kita (manusia) hanya mampu mengetahui beberapa segi tertentu
dari diri kita. Kita tidak mengetahui manusia secara utuh. Yang kita ketahui hanyalah bahwa manusia terdiri
dari bagian-bagian tertentu, dan ini
pun pada hakikatnya dibagi lagi
menurut tata cara kita sendiri. Pada
hakikatnya, kebanyakan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh mereka yang mempelajari
manusia kepada diri mereka hingga kini masih tetap tanpa jawaban. Keterbatasan
pengetahuan manusia tentang
dirinya itu disebabkan oleh:
1. Perhatian
manusia hanya tertuju pada penyelidikan
tentang alam materi.
Jika kita
perhatikan redaksi alqur,an dalam surat Ad-Dukhan ayat
38 “ Dan kami
tidak menciptakan langit dan Bumi dan apa
yang ada di antara keduanya dengan bermain-main. ( QS Ad Dukhan ayat 38 ).
Maka sangat jelas
bahwa seluruh ciptaan Allah itu akan
mempunyai nilai bagi manusia untuk
mencukupi berbagai
keperluannya. Ayat ini adalah
ayat ekonomi. Akan tetapi
dalam melihat dan menghadapi hal itu
manusia ada yang bersikap syukur dan kufur (kufr ). Dalam
penjelasan agama manusia tridakl
mengolah secara maksimal sumber
Daya yang ada
baginya. Padahal alqur,an sangat mengharamkan
hal hal yang bersifat
kerusakan dan melangfgar hak-hak manusia. “ .... Dan janmganlah kamu
berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang orang
yang berbuat kerusakan’.(QS
Al-Qoshos ayat 77). [25] terjadi
beberapa kesalahn fatal pada manusia, diantaranya :
Pertama ; walaupun
manusia diberi status sebagai
kholifah Allah di bumi ini, alam raya
diserahkan untuk
digunakannya dan manusia diberi potensi untuk melaksanakan tugas tugas
kekaholifahannya untuk memakmurkan dunia, namun
manusia tidak mempunyai kekuasaan mutlaq dan sewenang wenang dalam
mengolah dan memanfaatkan sumber daya alam tanpa batas.
Kedua ; Alam
dan segala isinya merupakan
satu kesatuan, bila di suatu lingkungan hidup terjadi suatu gangguan dan kerusakan
maka mahluk lain yang ada di
lingkungan tersebut akan mengalami gangguan ekosistemnya.
Ketiga ; alam adalah
bagian dari diri manusia dan dengan
demikian harus bersikap
bersahabat dalam memperlakukannya, dan perusakan terhadap alam berarti perusakan terhadap manusia
itu sendiri.[26]
Pada zaman
primitif, nenek moyang kita disibukkan untuk menundukkan atau menjinakkan alam sekitarnya,
seperti upaya membuat senjata-senjata
melawan binatang-binatang buas,
penemuan api, pertanian, peternakan, dan
sebagainya sehingga mereka tidak mempunyai waktu
luang untuk memikirkan diri mereka sebagai manusia. Demikian pula halnya Pada
Zaman Kebangkitan (Renaisans) ketika para ahli digiurkan oleh penemuan-penemuan
baru mereka yang disamping menghasilkan keuntungan material, juga menyenangkan publik secara umum karena penemuan-penemuan
tersebut mempermudah dan memperindah
kehidupan ini. Karena
aalam memang di buat
oleh Allah untuk diperuntuksan untuk
manusia dari genertasi ke generasi
hendaknya di jaga dengan sebaik
baiknya. Dalam pertemuan ilmiah di Italia, “ cultural relation for the future “
dalam hal “ the limit Growth “.[27]
2.
Multikompleksnya masalah manusia.
Dari penjelasan
di atas, agamawan dapat
berkomentar, bahwa pengetahuan tentang
manusia demikian itu disebabkan karena manusia adalah
satu-satunya makhluk yang
dalam unsur penciptaannya terdapat
ruh Ilahi sedang manusia tidak diberi pengetahuan tentang ruh, kecuali
sedikit (QS Al-Isra'
[17]: 85). Jika apa yang
dikemukakan oleh A. Carrel itu diterima, maka satu-satunya jalan untuk
mengenal dengan baik siapa manusia, adalah merujuk
kepada wahyu Ilahi, agar kita dapat menemukan jawabannya. Untuk maksud
tersebut tentu tidak cukup dengan
hanya merujuk kepada satu
dua ayat, tetapi seharusnya merujuk kepada semua ayat Al-Quran
(atau paling tidak
ayat-ayat pokok) yang berbicara tentang
masalah yang dibahas, dengan mempelajari konteksnya
masing-masing, dan mencari penguat-penguatnya
baik dari penjelasan Rasul,
maupun hakikat-hakikat ilmiah yang telah mapan. Cara ini
dikenal dalam disiplin
ilmu Al-Quran dengan metode
maudhu'i (tematis). Istilah Manusia
dalam Al-Quran diungkapkan dengan kata
yang digunakan Al-Quran untuk menunjuk kepada manusia.
l. Menggunakan kata dari huruf alif, nun, dan
sin, semacam insan, ins, nas, atau unas.
2. Menggunakan kata Basyar (
al-bashar )
3. Menggunakan kata Bani Adam, dan
zuriyat Adam.
Uraian ini akan
mengarahkan pandangan secara
khusus kepada kata basyar dan
kata insan. Kata basyar terambil dari
akar kata yang pada mulanya berarti menampakan sesuatu dengan baik dan indah.
Dari akar kata yang sama lahir
kata basyarah yang berarti kulit. Manusia dinamai basyar karena kulitnya
tampak jelas, dan berbeda dengan kulit
binatang yang lain. Al-Quran
menggunakan kata ini sebanyak 36 kali dalam bentuk tunggal dan
sekali dalam bentuk mutsanna (dual) untuk menunjuk manusia dari
sudut lahiriahnya serta
persamaannya dengan manusia seluruhnya.
Karena itu Nabi
Muhammad Saw. diperintahkan
untuk menyampaikan bahwa, Aku adalah
basyar (manusia) seperti kamu yang diberi
wahyu (QS Al-Kahf [18]: 110).
Dari sisi lain diamati bahwa banyak
ayat-ayat Al-Quran yang menggunakan kata
basyar yang mengisyaratkan bahwa
proses kejadian manusia sebagai basyar, melalui tahap-tahap sehingga mencapai tahap kedewasaan. Dalam Alqur,an di lansir “
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya (Allah) menciptakan kamu dari tanah, kemudian ketika
kamu menjadi basyar kamu bertebaran
(QS Al-Rum [30]: 20). Bertebaran di sini
bisa diartikan berkembang
biak akibat hubungan seks atau bertebaran mencari rezeki. Kedua
hal ini tidak dilakukan oleh manusia kecuali oleh orang
yang memiliki kedewasaan dan tanggung jawab. Karena itu
pula Maryam a.s. mengungkapkan keheranannya dapat memperoleh anak, padahal
dia belum pernah disentuh oleh basyar (manusia dewasa yang
mampu berhubungan seks) (QS Ali 'Imran [3]: 47).
Demikian terlihat
basyar dikaitkan dengan kedewasaan dalam kehidupan manusia,
yang menjadikannya mampu memikul tanggung jawab. Dan
karena itu pula,
tugas kekhalifahan dibebankan kepada basyar {perhatikan QS Al-Hijr 115):
28 yang menggunakan kata basyar), dan QS
Al-Baqarah (2): 30 yang menggunakan kata khalifah, yang keduanya
mengandung pemberitaan Allah
kepada malaikat tentang manusia. Kata
insan terambil dari
akar kata uns yang berarti jinak, harmonis, dan tampak. Pendapat ini,
jika ditinjau dari sudut pandang
Al-Quran lebih tepat dari yang berpendapat bahwa ia
terambil dan kata
nasiya (lupa), atau
nasa-yanusu (berguncang).
Kitab Suci Al-Quran seperti tulis
Bint Al-Syathi' dalam Al-Quran wa Qadhaya Al-Insan seringkali
memperhadapkan insan dengan
jin/jan. Jin adalah makhluk halus yang tidak tampak,
sedangkan manusia adalah makhluk yang nyata lagi ramah. Kata insan, digunakan
Al-Quran untuk menunjuk kepada manusia dengan seluruh
totalitasnya, jiwa dan
raga. Manusia yang berbeda antara
seseorang dengan yang lain, akibat
perbedaan fisik, mental, dan kecerdasan. [28]
Masyarakat itu sendiri adalah kumpulan sekian banyak individu kecil
atau besar-- yang terikat oleh satuan, adat, ritus atau hukum khas, dan hidup
bersama. Demikian satu
dari sekian banyak definisinya. Ada
beberapa kata yang digunakan Al-Quran untuk menunjuk kepada masyarakat
atau kumpulan manusia. Antara lain: qawm, ummah, syu'ub, dan qabail. Di samping
itu, Al-Quran juga memperkenalkan masyarakat dengan sifat-sifat tertentu,
seperti al-mala', al-mustakbirun, al-mustadh'afun, dan lain-lain. Walaupun
Al-Quran bukan kitab ilmiah --dalam pengertian umum-- namun Kitab
Suci ini banyak sekali
berbicara tentang
masyarakat. Ini disebabkan karena fungsi
utama Kitab Suci ini adalah mendorong lahirnya
perubahan-perubahan positif dalam masyarakat, atau
dalam istilah Al-Quran: litukhrija an-nas minazh-zhulumati
ilan nur (mengeluarkan manusia
dari gelap gulita menuju
cahaya terang benderang). Dengan alasan yang sama, dapat
dipahami mengapa Kitab
Suci umat Islam
ini memperkenalkan sekian banyak hukum-hukum yang berkaitan dengan
bangun runtuhnya suatu masyarakat. Bahkan
tidak berlebihan jika dikatakan
bahwa Al-Quran merupakan
buku pertama yang memperkenalkan hukum-hukum kemasyarakatan. Manusia adalah "makhluk sosial".
Ayat kedua dari wahyu pertama yang diterima Nabi Muhammad Saw., dapat dipahami
sebagai salah satu ayat yang menjelaskan hal tersebut. Khalaqal
insan min 'alaq bukan
saja diartikan sebagai "menciptakan manusia dari segumpal darah"
atau "sesuatu yang
berdempet di dinding rahim", tetapi juga dapat
dipahami sebagai "diciptakan dinding dalam keadaan selalu bergantung
kepada pihak lain atau tidak dapat hidup sendiri." Ayat lain
dalam konteks ini adalah surat Al-Hujurat
ayat 13. Dalam
ayat tersebut secara
tegas dinyatakan bahwa manusia
diciptakan terdiri dari lelaki dan perempuan, bersuku-suku
dan berbangsa-bangsa, agar
mereka saling mengenal. Dengan
demikian dapat dikatakan
bahwa, menurut Al-Quran, manusia secara fitri adalah makhluk
sosial dan hidup bermasyarakat
merupakan satu keniscayaan
bagi mereka. Tingkat kecerdasan,
kemampuan, dan status
sosial manusia menurut Al-Quran
berbeda-beda: Apakah mereka yang
membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami
yang membagi antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia ini. Dan Kami telah
meninggikan sebagian mereka atas
sebagian yang lain beberapa tingkat,
agar sebagian mereka dapat mempergunakan
sebagian yang lain, dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan (0S Al-Zukhruf
[43]: 32). [29]
Masyarakat itu
sendiri adalah bagian bagian
kecil dari ummat, demikian
dalam pandangan Islam. Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia,
kata "umat" diartikan sebagai:
(1) para
penganut atau pengikut suatu agama
(2) makhluk
manusia
Dalam beberapa
ensiklopedi, kata tersebut
diartikan dengan berbagai arti.
Ada yang memahaminya sebagai bangsa seperti keterangan
Ensiklopedi Filsafat yang ditulis
oleh sejumlah Akademisi Rusia,
dan diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh Samir Karam, Beirut 1974
M; ada juga
yang mengartikannya negara seperti
dalam Al-Mu'jam Al-Falsafi, yang disusun oleh Majma' Al-Lughah
Al-'Arabiyah (Pusat Bahasa Arab), Kairo 1979.[30]
Pengertian-pengertian
seperti yang telah diungkapkan di atas dapat
mengakibatkan kerancuan pemahaman terhadap konsep ummat yang ada dalam
Al-Quran. Bahkan, bisa jadi, akan menimbulkan kesalahpahaman di kalangan umat
Islam sendiri. Kata ummat terambil
dari kata [tulisan arab]
(amma-yaummu) Yang berarti menuju, menumpu, dan meneladani. Dari akar
yang sama, lahir antara
lain kata um yang berarti "ibu" dan imam yang maknanya
"pemimpin"; karena keduanya
menjadi teladan, tumpuan
pandangan, dan harapan anggota masyarakat. Pakar-pakar bahasa
berbeda pendapat tentang jumlah anggota satu umat. Ada yang
merujuk ke riwayat yang dinisbahkan kepada Nabi Saw. bahwa beliau bersabda, Tidak seorang mayat pun yang dishalatkan oleh
umat dari kaum Muslim sebanyak seratus
orang, dan memohonkan kepada Allah agar diampuni, kecuali diampuni oleh-Nya (HR An-Nasa'i).
Ada juga yang mengatakan bahwa, angka empat
puluh sudah bisa disebut
umat. Pakar hadis An-Nasa'i yang meriwayatkan hadis
serupa menyatakan bahwa Abu Al-Malih ditanyai
tentang jumlah orang yang shalat
itu, dan menjawab, "Empat puluh orang." Kalau kita
merujuk kepada Al-Quran,
agaknya penjelasan Ar-Raghib
dapat dipertanggungjawabkan. Pakar bahasa Al-Quran itu (w. 508
H/1108 M) dalam
bukunya Al-Mufradat fi Gharib
Al-Qur'an, menjelaskan bahwa kata ini didefinisikan sebagai
semua kelompok yang
dihimpun oleh sesuatu, seperti
agama, waktu, atau tempat yang sama, baik penghimpunannya
secara terpaksa maupun atas kehendak mereka.
Secara tegas
Al-Quran dan hadis tidak
membatasi pengertian umat hanya
pada kelompok manusia. Dan tidaklah
binatang-binatang yang ada di bumi, dan
burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya kecuali umat-umat juga seperti kamu (QS
Al-An'am [6]: 38).
Kata
umat tidak hanya
digunakan untuk manusia-manusia yang taat beragama, karena dalam
sebuah hadis dinyatakan
bahwa Rasul Saw. bersabda,
"Semua umatku masuk surga, kecuali yang enggan." Beliau ditanyai, "Siapa yang enggan
itu?" Dõjawabnya, "Siapa
yang taat kepadaku dia akan masuk surga, dan
yang durhaka maka ia telah enggan" (HR Bukhari melalui Abu Hurairah).
Kata
ummat dalam bentuk tunggal
terulang lima puluh dua kali dalam Al-Quran. Ad-Damighani menyebutkan sembilan arti
untuk kata itu, yaitu, kelompok, agama (tauhid), waktu yang panjang,
kaum, pemimpin, generasi lalu, umat Islam, orang-orang kafir, dan manusia seluruhnya. Benang
merah yang menggabungkan
makna-makna di atas adalah "himpunan". Sesungguhnya umatmu ini
(agama tauhid) adalah umat (agama) yang satu, dan Aku adalah Tuhanmu, maka sembahlah Aku (QS Al-Anbiya' [21]: 92).
Dalam kata "umat" terselip
makna-makna yang cukup dalam. Umat
mengandung arti gerak dinamis, arah,
waktu, jalan yang jelas, serta gaya dan cara hidup. Untuk menuju pada satu
arah, harus jelas jalannya, serta harus
bergerak maju dengan gaya dan cara tertentu, dan pada saat yang
sama membutuhkan waktu
untuk mencapainya. Al-Quran surat
Yusuf (12): 45 menggunakan kata umat untuk arti waktu. Sedangkan surat
Al-Zukhruf (43): 22
D.Faktor Produksi dan Reproduksi Manusia
Al-Quran
menguraikan produksi dan reproduksi
manusia. Ketika berbicara tentang
penciptaan manusia pertama,
Al-Quran menunjuk kepada sang
Pencipta dengan menggunakan
pengganti nama berbentuk tunggal Sesungguhnya Aku akan menciptakan
manusia dan tanah (QS Shad [38]:
71).
Apa yang menghalangi kamu (iblis)
sujud kepada apa yang Aku ciptakan
dengan kedua tangan-Ku? (0S Shad
[38]: 75). Tetapi ketika
berbicara tentang reproduksi
manusia secara umum, Yang
Maha Pencipta ditunjuk dengan menggunakan
bentuk jamak. Demikian kesimpulan kita
kalau membaca surat
At-Tin ayat 4: “ Sesungguhnya
Kami telah menjadikan manusia dalam
bentuk yang sebaik-baiknya. “.
Ha1
itu untuk menunjukkan perbedaan
proses kejadian manusia secara umum
dan proses kejadian Adam a.s. Penciptaan manusia secara umum,
melalui proses keterlibatan
Tuhan bersama selain-Nya, yaitu
ibu dan bapak. Keterlibatan ibu
dan bapak mempunyai pengaruh menyangkut bentuk fisik dan
psikis anak, sedangkan dalam
penciptaan Adam, tidak terdapat keterlibatan pihak lain termasuk ibu dan
bapak. Al-Quran tidak menguraikan secara rinci proses kejadian Adam, eh
mayoritas ulama dinamai
manusia pertama. Yang disampaikannya dalam konteks ini hanya:
a.
Bahan awal manusia adalah tanah.
b. Bahan tersebut disempurnakan.
c. Setelah proses penyempurnaannya selesai, ditiupkan kepadanya ruh
Ilahi. (QS Al-Hijr [15]: 28-29; Shad
[38]: 71-72).
Apa
dan bagaimana penyempurnaan itu, tidak
disinggung oleh Al-Quran. Dari
sini, terdapat sekian banyak
cendekiawan dan ulama Islam, jauh sebelum Darwin yang melakukan
penyelidikan dan analisis sehingga berkesimpulan bahwa manusia diciptakan
melalui fase atau
evolusi tertentu, dan
bahwa ada tingkat-tingkat tertentu
menyangkut ciptaan Allah. Nama-nama seperti Al-Farabi (783-950 M), Ibnu
Miskawaih (Wafat 1030 M), Muhammad bin
Syakir Al-Kutubi (1287- 1363 M), Ibnu Khaldun (1332-1406 M)
dapat disebut sebagai tokoh-tokoh paham
evolusi sebelum lahirnya teori
evolusi Darwin (1804-1872 M).
Perlu ditambahkan bahwa kesimpulan
ulama-ulama tersebut tidak sepenuhnya sama
dalam rincian teori evolusi yang
dirumuskan oleh Darwin.
Dari sini pula
dapat dimengerti uraian pakar
tafsir Syaikh Muhammad Abduh
yang menyatakan bahwa seandainya teori Darwin tentang proses
penciptaan manusia dapat
dibuktikan kebenarannya
secara ilmiah, maka
tidak ada alasan
dari Al-Quran untuk menolaknya. Al-Quran hanya menguraikan
proses pertama, pertengahan, dan
akhir. Apa yang
terjadi antara proses pertama dan pertengahan, serta antara pertengahan
dan akhir, tidak dijelaskannya Abbas
Al-Aqad, seorang ilmuwan dan ulama Mesir kontemporer, dalam
bukunya Al-Insan fi Al-Quran ( Manusia dalam
Al-Quran) mempersilakan
setiap muslim, untuk menerima atau menolak teori itu--
berdasarkan penelitian ilmiah, tanpa
melibatkan Al-Quran sedikit pun, karena Al-Quran tidak berbicara secara
ci tentang proses kejadian manusia pertama.
E.Faktor Potensi Manusia
Yang banyak dibicarakan oleh Al-Quran
tentang manusia adalah
sifat-sifat dan potensinya.
Dalam hal ini, ditemukan sekian ayat yang memuji dan memuliakan manusia,
seperti pernyataan tentang terciptanya
manusia dalam bentuk
dan keadaan yang sebaik-baiknya (QS Al-Tin [95]:
5), dan penegasan
tentang dimuliakannya
makhluk ini dibanding
dengan kebanyakan makhluk-makhluk
Allah yang lain (QS Al-Isra' [17]: 70) Tetapi, di samping
itu sering pula
manusia mendapat celaan Tuhan
karena ia amat aniaya dan mengingkari nikmat (QS Ibrahlm [14]: 34), sangat
banyak membantah (QS
Al-Kahf [18]: 54), dan bersifat keluh kesah lagi kikir (QS
Al-Ma'arij [70]: l9), dan masih banyak
lagi lainnya.
Ini bukan
berarti bahwa ayat-ayat Al-Quran bertentangan satu dengan lainnya,
akan tetapi ayat-ayat
tersebut menunjukkan beberapa kelemahan manusia yang harus dihindarinya.
Disamping menunjukkan bahwa makhluk ini
mempunyai potensi (kesediaan) untuk menempati
tempat tertinggi sehingga ia terpuji, atau berada di tempat
yang rendah sehingga ia tercela.
Seperti dikemukakan di
atas, Al-Quran menjelaskan
bahwa manusia diciptakan dari tanah dan setelah sempurna kejadiannya
dihembuskanlah kepadanya Ruh Ilahi (QS Shad [38]: 71-72)
Dari sini jelas
bahwa manusia merupakan kesatuan
dua unsur pokok, yang tidak dapat
dipisahkan karena bila dipisahkan maka ia bukan manusia lagi. Sebagaimana
halnya air yang merupakan perpaduan antara
oksigen dan hidrogen
dalam kadar-kadar tertentu. Bila
kadar oksigen dan hidrogennya dipisahkan,
maka ia tidak akan menjadi air lagi.
Potensi
manusia dijelaskan oleh Al-Quran
antara lain melalui kisah Adam dan Hawa (QS Al-Baqarah [2]: 30-39). Dalam ayat itu dijelaskan bahwa sebelum
kejadian Adam, Allah telah
merencanakan agar manusia
memikul tanggung jawab kekhalifahan di bumi. Untuk maksud
tersebut di samping tanah (jasmani) dan
Ruh Ilahi (akal
dan ruhani), makhluk
ini dianugerahi pula:
a. Potensi untuk mengetahui nama dan
fungsi benda-benda alam.
Dari
sini dapat ditarik
kesimpulan bahwa manusia
adalah makhluk yang berkemampuan
untuk menyusun konsep-konsep, mencipta, mengembangkan, dan
mengemukakan gagasan, serta melaksanakannya. Potensi
ini adalah bukti yang membungkamkan malaikat, yang tadinya merasa wajar
untuk dijadikan khalifah di bumi, dan karenanya mereka
bersedia sujud kepada Adam.
b. pengalaman
hidup di surga, baik yang berkaitan
dengan kecukupan dan kenikmatannya, maupun rayuan Iblis dan akibat buruknya. Pengalaman di surga
adalah arah yang
harus dituju dalam membangun dunia
ini, kecukupan sandang, pangan, dan papan, serta rasa aman
terpenuhi (QS Thaha [20]: 116-ll9),
sekaligus arah terakhir bagi
kehidupannya di akhirat kelak. Sedangkan godaan Iblis, dengan
akibat yang sangat
fatal itu, adalah pengalaman yang amat berharga dalam
menghadapi rayuan Iblis di dunia, sekaligus peringatan bahwa jangankan yang
belum masuk, yang sudah
masuk ke surga pun, bila mengikuti rayuannya akan terusir.
c.Petunjuk-petunjuk keagamaan.
Masih banyak
ayat-ayat lain yang dapat
dikemukakan tentang sifat dan
potensi manusia serta arah yang harus ia tuju.
Dari kitab suci Al-Quran dan hadis-hadis Nabi Saw.
diperoleh informasi serta isyarat-isyarat yang
boleh jadi dapat mengungkap sebagian
misteri makhluk ini.
Namun demikian, pemahaman atau
informasi dan isyarat
tersebut tidak dapat dilepaskan dari
subjektivitas manusia, sehingga
ia tetap mengandung kemungkinan
benar atau salah, seperti halnya yang dikemukakan oleh tulisan ini. Secara
tegas Al-Quran mengemukakan
bahwa manusia pertama diciptakan dari tanah dan Ruh Ilahi
melalui proses yang tidak
dijelaskan rinciannya, sedangkan
reproduksi manusia, walaupun dikemukakan tahapan-tahapannya, namun tahapan tersebut
lebih banyak berkaitan dengan
unsur tanahnya. Isyarat yang
menyangkut unsur immaterial, ditemukan antara lain dalam
uraian tentang sifat-sifat manusia, dan dari uraian tentang fithrah,
nafs, qalb, dan ruh yang
menghiasi makhluk manusia. Berikut dicoba
untuk memahami istilah-istilah tersebut.
F.Faktor Potensi
Fithrah
Dari segi
bahasa, kata fithrah
terambil dari akar
kata al-fathr yang berarti
belahan, dan dari
makna ini lahir makna-makna lain
antara lain "penciptaan" atau "kejadian". Konon sahabat Nabi, Ibnu Abbas tidak
tahu persis makna
kata fathir pada ayat-ayat yang berbicara tentang penciptaan langit dan
bumi sampai ia mendengar pertengkaran
tentan kepemilikan satu sumur.
Salah seorang berkata, "Ana fathar tuhu". Ibnu
Abbas memahami kalimat ini dalam arti, "Saya yang
membuatnya pertama kali." Dan
dari situ Ibnu Abbas memahami bahwa kata ini digunakan untuk penciptaan
atau kejadian sejak awal. Fithrah
manusia adalah kejadiannya sejak
semula atau bawaan sejak lahirnya. Dalam
Al-Quran kata ini
dalam berbagai bentuknya terulang
sebanyak dua puluh delapan kali, empat belas diantaranya dalam konteks uraian
tentang bumi dan atau langit. Sisanya dalam konteks
penciptaan manusia baik dari
sisi pengakuan bahwa penciptanya adalah
Allah, maupun dari
segi uraian tentang fitrah manusia. Yang terakhir ini ditemukan sekali
yaitu pada surat Al-Rum ayat 30: “Maka
hadapkanlah wajahmu kepada agama, (pilihan) fitrah Allah yang telah
menciptakan manusia atas fitrah
itu. Tidak ada perubahan
pada fitrah Allah. Itulah agama
yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya. Merujuk kepada fitrah yang dikemukakan di
atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa
manusia sejak asal
kejadiannya, membawa potensi
beragama yang lurus, dan dipahami
oleh para ulama sebagai tauhid “.Selanjutnya dipahami
juga, bahwa fitrah
adalah bagian dan khalq (penciptaan) Allah. Kalau kita memahami kata la pada
ayat tersebut dalam
arti "tidak",
maka ini berarti
bahwa seseorang tidak
dapat menghindar dari fitrah itu. Dalam konteks ayat ini, ia berarti
bahwa fitrah keagamaan
akan melekat pada diri manusia untuk selama lamanya,
walaupun boleh jadi
tidak diakui atau diabaikannya. Tetapi apakah
fitrah manusia hanya
terbatas pada fitrah keagamaan? Jelas tidak. Bukan
saja karena redaksi
ayat ini tidak dalam
bentuk pembatasan tetapi juga karena masih ada ayat-ayat lain
yang membicarakan tentang penciptann
potensi manusia walaupun tidak
menggunakan kata fitrah, seperti misalnya: Telah dihiaskan kepada manusia
kecenderungan hati kepada perempuan
(atau lelaki), anak lelaki (dari
perempuan), serta harta yang banyak berupa emas, perak, kuda pilihan, binatang ternak dan
sawah ladang (QS Ali 'Imran [3]:
14).
Karena
itu agaknya tepat kesimpulan Muhammad bin
Asyur dalam tafsirnya tentang
surat Al-Rum (30):
30, yang menyatakan bahwa: Fitrah adalah bentuk dan sistem yang
diwujudkan Allah pada setiap
makhluk. Fitrah yang berkaitan dengan
manusia adalah apa yang diciptakan Allah pada manusia yang berkaitan dengan jasmani dan akalnya
(serta ruhnya). Manusia berjalan dengan
kakinya adalah fitrah
jasadiahnya, sementara
menarik kesimpulan melalui
premis-premis adalah fitrah akliahnya.
Senang menerima nikmat
dan sedih bila ditimpa musibah juga adalah
fitrahnya.
a.
Fitrah pada
unsur Nafs
Kata nafs
dalam Al-Quran mempunyai
aneka makna, sekali diartikan sebagai
totalitas manusia, seperti
antara lain maksud surat
Al-Maidah ayat 32,
di kali lain ia menunjuk kepada
apa yang terdapat dalam diri manusia yang
menghasilkan tingkah laku seperti maksud kandungan firman Allah.
Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan satu masyarakat, sehingga mereka mengubah apa yang
terdapat dalam diri mereka (QS
Al-Ra'd [13]: 11) Kata nafs digunakan
juga untuk menunjuk kepada
"diri Tuhaan"
(kalau istilah ini dapat diterima), seperti dalam firman-Nya
dalam surat Al-An'am {6): 19: Allah mewajibkan atas diri-Nya menganugerahkan
rahmat. Secara umum dapat
dikatakan bahwa nafs
dalam konteks pembicaraan tentang
manusia, menunjuk kepada
sisi dalam manusia yang
berpotensi baik dan buruk. Dalam pandangan Al-Quran, nafs diciptakan Allah
dalam keadaan sempurna untuk
berfungsi menampung serta mendorong manusia berbuat kebaikan dar1
keburukan, dan karena itu
sisi dalam manusia inilah
yang oleh Al-Quran
dianjurkan untuk diberi perhatian lebih besar. Demi nafs serta penyempurnaan ciptaan,
Allah mengilhamkan kepadanya
kefasikan dan ketakwann (QS Al-Syams
[91]: 7-8).
Mengilhamkan
berarti memberi potensi agar manusia melalui nafs dapat menangkap makna baik
dan buruk, serta dapat mendorongnya untuk melakukan kebaikan dan
keburukan. Di sini antara lain
terlihat perbedaan pengertian
kata ini menurut Al-Quran
dengan terminologi kaum
sufi, yang oleh Al-Qusyairi dalam
risalahnya dinyatakan bahwa,
"Nafs dalam pengertian kaum
sufi adalah sesuatu
yang melahirkan sifat tercela dan perilaku buruk." Pengertian kaum
sufi ini sama dengan
penjelasan Kamus Besar Bahasa Indonesia, yang antara lain,
menjelaskan arti kata nafsu, sebagai "dorongan hati yang kuat untuk
berbuat kurang baik".
Walaupun
Al-Quran menegaskan bahwa nafs berpotensi positif dan negatif, namun diperoleh
pula isyarat bahwa pada
hakikatnya potensi positif manusia
lebih kuat dari potensi negatifnya, hanya saja daya tarik keburukan
lebih kuat dari
daya tarik kebaikan. Karena itu
manusia dituntut agar memelihara kesucian nafs, dan tidak mengotorinya, Sesungguhnya beruntunglah orang-orang
yang menyucikannya dan merugilah
orang-orang yang mengotorinya (QS
Al-Syams [91]: 9-10)
Bahwa
kecenderungannya kepada kebaikan lebih
kuat dipahami dari isyarat
beberapa ayat, antara lain firman-Nya: Allah tidak membebani seseorang
melainkan sesuai dengan
kesanggupannya. Nafs memperoleh ganjaran dan
apa yang diusahakannya, dan memperoleh siksa dari apa yang diusahakannya (QS Al-Baqarah [2]:
286)
Kata kasabat
yang dalam ayat di atas menunjuk
kepada usaha baik sehingga
memperoleh ganjaran, adalah
patron yang digunakan bahasa
Arab untuk menggambarkan
pekerjaan yang dilakukan dengan
mudah, sedangkan iktasabat adalah patron yang digunakan untuk menunjuk kepada
hal-hal yang sulit lagi berat. Ini
--menurut pakar Al-Quran Muhammad
Abduh-- mengisyaratkan bahwa nafs pada hakikatnya lebih mudah melakukan
hal-hal yang baik daripada
melakukan kejahatan, dan
pada gilirannya mengisyaratkan
bahwa manusia pada dasarnya diciptakan
Allah untuk melakukan kebaikan.
Ayat lain yang
sejalan dengan isyarat
di atas, adalah firman-Nya Wahai manusia! Apa yang memperdayakanmu
(berbuat dosa) terhadap Tuhanmu yang
telah menciptakan engkau,menyempurnakan kejadianmu, dan menjadikan engkau
"adil" (seimbang atau cenderung kepada keadilan) (QS Al-Infithar [82): 6-7).
Kata
"menjadikan engkau adil" dipahami
oleh sementara pakar seperti Yusuf Ali sebagai kecenderungan
berbuat adil. Pendapat ini cukup beralasan,
karena dengan pemahaman
semacam itu, menjadi amat
lurus kecaman Allah
terhadap manusia yang mendurhakainya. Al-Quran
juga mengisyaratkan keanekaragaman nafs
serta peringkat-peringkatnya,
secara eksplisit disebutkan tentang an-nafs al-lawamah,
ammarah, dan muthmainnah.Di sisi lain
ditemukan pula isyarat
bahwa nafs merupakan wadah.Firman Allah
dalam surat Al-Ra'd (13): 11 yang dikutip di atas, mengisyaratkan bahwa
nafs menampung paling
tidak gagasan dan kemauan. Suatu kaum tidak dapat berubah keadaan lahiriahnya, sebelum mereka mengubah
lebih dulu apa yang ada dalam
wadah nafs-nya. Yang
ada di sini antara lain adalah
gagasan dan kemauan atau tekad
untuk berubah. Gagasan
yang benar, yang disertai dengan
kemauan satu kelompok masyarakat, dapat mengubah keadaan masyarakat itu.
Tetapi gagasan saja tanpa
kemauan, atau kemauan
saja tanpa gagasan tidak akan
menghasilkan perubahan. Yang terdapat dalam wadah nafs bukan hanya gagasan dan
kemauan yang disadari manusia, tetapi juga menampung sekian banyak hal lainnya,
bahkan boleh jadi ada hal-hal yang sudah hilang
dari ingatan pemiliknya. Al-Quran mengisyaratkan hal tersebut, Dan jika
kamu mengeraskan ucapanmu, maka sesungguh nya
Dia mengetahui rahasia dan yang lebih tersembunyi (QS Thaha [20]: 7). Yang lebih tersembunyi dan
rahasia adalah yang terdapat dalam
"bawah sadar manusia", sedangkan yang tersembunyi adalah "yang
disadari manusia namun dirahasiakannya." Khalifah keempat Ali bin Abi
Thalib pernah berkata: Tidak seorangpun menyembunyikan sesuatu kecuali
tampak pada salah ucapnya atau air
mukanya. Apa yang ada dalam nafs dapat
juga muncul dalam mimpi,
yang oleh Al-Quran pada
garis besarnya dibagi dalam dua bagian pokok. Pertamaa
dinamainya ru'ya dan
kedua dinamainya adhghatsu ahlam.
Yang pertama dipahami sebagai gambaran atau simbol dari peristiwa yang
telah, sedang, atau akan dialami, dan
yang belum atau
tidak terlintas dalam
benak yang memimpikannya. Yang
kedua lahir dan keresahan atau perhatian manusia terhadap
sesuatu dan hal-hal
yang telah berada di bawah sadarnya.
b. Fitrah pada
Unsur Qalb
Kata qalb terambil dari
akar kata yang
bermakna membalik karena seringkali
ia berbolak-balik, sekali
senang sekali susah, sekali setuju dan sekali menolak. qa1b amat berpotensi untuk tidak
konsisten. Al-Quran pun
menggambarkan demikian, ada yang baik, ada pula sebaliknya. Berikut beberapa
contoh.
a. Sesungguhnya yang demikian itu benar-benar
terdapat peringatan bagi orang-orang
yang memiliki kalbu, atau yang
mencurahkan pendengaran lagi menjadi saks~ (QS Qaf [50]: 37)
b. Kami jadikan dalam kalbu orang-orang yang
mengikuti (Isa a.s ) kasih sagang
dan rahmat (QS Al-Hadid [57]:
c. Kami akan mencampakkan ke dalam hati
orang-orang kafir rasa takut (QS Ali
'Imran [3]: 151).
d. Dia (Allah) menjadikan kamu cinta kepada
keimanan, dan menghiasinya indah
dalam kalbumu (QS Al-Hujurat [49]:
7).
Dari ayat-ayat
di atas terlihat bahwa kalbu adalah wadah
dari pengajaran, kasih sayang,
takut, dan keimanan. Dari isi kalbu yang
dijelaskan oleh ayat-ayat
di atas (demikian
juga ayat-ayat lainnya), dapat
ditarik kesimpulan bahwa
kalbu memang menampung hal-hal yang disadari oleh
pemiliknya. Ini merupakan salah
satu perbedaan antara kalbu dan nafs. Bukankah seperti yang dinyatakan
sebelumnya bahwa nafs menampung
apa yang berada di
bawah sadar, dan
atau sesuatu yang tidak diingat
lagi? Dari sini
dapat dipahami mengapa
yang dituntut untuk dipertanggungiawabkan hanya isi kalbu
bukan isi nafs, Allah menuntut tanggungjawab
kau menyangkut apa yang dilakukan
oleh kalbu kamu (95 Al-Baqarah [2]: 225).
Namun
dinyatakan bahwa, Allah lebih mengetahui (dari kamu sendiri) apa yang terdapat dalam nafs (diri kamu) (QS
Al-Isra' [17]: 25) Di sisi lain seperti
dikemukakan di atas, bahwa nafs
adalah "sisi
dalam" manusia, kalbu
pun demikian, hanya saja kalbu berada dalam satu kotak tersendiri yang
berada dalam kotak besar
nafs. Dalam keadaannya sebagai kotak,
maka tentu saja ia dapat diisi dan atau diambil isinya, seperti yang
digambarkan ayat-ayat berikut
ini: Kami cabut apa yang terdapat dalam kalbu mereka rasa iri, sehingga mereka semua merasa
bersaudara duduk berhadap-hadapan di
atas dipan-dipan (QS Al-Hijr [15]:
47)
Belum lagi masuk keimanan ke dalam kalbu
kamu (QS Al-Hujurat [49]: 14). Bahkan Al-Quran menggambarkan bahwa ada kalbu
yang disegel: Allah telah
mengunci mati kalbu mereka (QS Al-Baqarah [2]: 7), sehingga wajar jika Al-Quran
menyatakan bahwa ada kunci-kunci
penutup kalbu (QS
Muhammad [47]:24). Wadah
kalbu dapat diperbesar,
diperkecil, atau dipersempit. Ia diperlebar dengan amal-amal kebajikan
serta olah jiwa.
Al-Quran mengatakan, "mereka itulah yang diperluas kalbunya untuk
menampung takwa" (QS Al-Hujurat
[49]: 3). Bukankah
kami telah memperluas dadamu? (QS Alam Nasyrah [94]: 1).
Dan siapa yang dikehendaki Allah
kesesatannya, Dia menjadikan dada (kalbu)nya sempit lagi sesak (QS Al-An'am
[6]: 125).Perlu ditambahkan bahwa Al-Quran --sesuai dengan kaidah bahasa
Arab-- seringkali menggunakan
bagian dari sesuatu
untuk menunjuk keseluruhan bagian-bagiannya, seperti
menggunakan kata sujud dalam arti shalat yang mencakup berdiri, rukuk,
dan lain-lain. Al-Quran juga
biasa menyebut sesuatu
yang menggambarkan keseluruhan
bagian-bagian, tetapi yang dimaksud hanyalah
salah satu bagiannya
seperti firman-Nya "mereka memasukkan jari-jari
mereka ke dalam
telinganya" (QS Al-Baqarah
[2]: 19)
dalam arti ujung
jari-jari. Al-Quran
terkadang menggunakan kata nafs dalam arti kalbu. Biasa juga
menyebut tempat sesuatu tetapi yang
dimaksud adalah isinya, seperti "tanyakanlah kampung"
(QS Yusuf [12]:
82), yang dimaksud adalah
penghuninya, demikian seterusnya. Kata
dada dalam ayat di atas adalah tempat kalbu sebagai mana ditegaskan “Sesungguhnya bukan mata yang
buta, tetapi kalbu yang berada di
dalam dada (QS Al-Hajj [22]: 46).
Dalam beberapa
ayat, kata qalb
yang merupakan wadah
itu, dipahami dalam arti
"alat" seperti dalam firman-Nya: Mereka mempunyai kalbu,
tetapi tidak dõgunakan untuk
memahami (QS Al-A'raf [7]: 179).
Kalbu sebagai alat, dilukiskan pula dengan fu'ad (seperti dalam firman-Nya:
Allah mengeluarkan kamu dan perut
ibumu da1am keadaan tidak
mengetahui sesuatu. Maka Dia memberikanmu (alat-alat) pendengaran, (alat-alat)
penglihatan, serta (banyak) hati agar
kamu bersyukur (menggunakannya untuk memperoleh pengetahuan) (QS Al-Nahl [16]:
78). Membersihkan kalbu, adalah salah satu
cara untuk memperoleh pengetahuan. Imam
Al-Ghazali memberi contoh mengenai kalbu sebagai wadah
pengetahuan, serta cara mengisinya. "Kalau
kita membayangkan satu kolam
yang digali di
tanah, maka untuk mengisinya
dapat dilakukan dengan
mengalirkan air sungai
dari atas ke dalam
kolam itu. Tetapi bisa juga
dengan menggali dan menyisihkan tanah yang menutupi mata
air. Jika itu dilakukan, maka air
akan mengalir dari bawah ke atas untuk memenuhi kolam, dan air itu, jauh lebih
jernih dari air sungai yang
mengalir dari atas.
Kolam adalah kalbu,
air adalah pengetahuan, sungai adalah pancaindera dan eksperimen. Sungai (pancaindera) dapat dibendung atau ditutup, selama tanah
yang berada di kolam (kalbu)
dibersihkan agar air (pengetahuan)
dari mata air memancar ke atas (kolam).Al-Quran
juga menegaskan bahwa
Allah Swt. dapat mendinding manusia dengan kalbunya. Dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah
mendinding antara manusia dan
hatinya (0S Al-Anfal [8]: 24). Salah satu
makna ayat ini adalah bahwa Allah
menguasai kalbu manusia, sehingga
mereka yang merasakan
kegundahan dan kesulitan dapat
bermohon kepada-Nya untuk
menghilangkan kerisauan dan penyakit kalbu yang dideritanya. Ayat ini
sangat berkaitan dengan firman-Nya dalam Al-Ra'd (13): 28: Sesungguhnya hanya dengan mengingat Allah hati
akan tenteram.Demikian sekelumit dari
pengertian dan peranan
hati yang diperoleh dari
isyarat-isyarat Al-Quran.
b.
Fitrah pada
Unsur Ruh
Berbicara tentang
ruh, Al-Quran mengingatkan
kita akan firman-Nya:
Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh.
Katakanlah, "Ruh adalah urusan
Tuhan-Ku, kamu tidak diberi ilmu
kecuali sedikit" (QS Al-Isra' [17]: 85) Apa yang dimaksud dengan
pertanyaan tentang ruh di sini? Apakah
substansinya? Kekekalan atau
kefanaannya, kebahagiaan atau
kesengsaraannya? Tidak jelas.
Selain itu, apa
yang dimaksud dengan "kamu tidak diberi ilmu kecuali sedikit"?
Yang sedikit itu apa? Apakah yang berkaitan
dengan ruh? Sehingga ada
informasi sedikit tentang ruh, misalnya gejala-gejalanya? Ataukah
"yang sedikit itu" adalah ilmu pengetahuan kita, tidak termasuk di
dalamnya ruh, karena ilmu kita hanya sedikit Yang menambah
sulitnya persoalan adalah
bahwa kata ruh terulang di dalam Al-Quran
sebanyak dua puluh
empat kali dengan berbagai
konteks dan berbagai makna, dan
tidak semua berkaitan dengan manusia.
Dalam surat Al-Qadar
misalnya dibicarakan tentang turunnya
malaikat dan ruh
pada malam Lailat Al-Qadr. Ada
juga uraian tentang
ruh yang membawa Al-Quran.
Kata ruh yang
dikaitkan dengan manusia juga dalam konteks yang bermacam-macam, ada yang
hanya dianugerahkan Allah
kepada manusia pilihan-Nya (QS Al-Mu'min [40]: 15) yang dipahami oleh
sementara pakar sebagai wahyu yang dibawa malaikat Jibril, ada juga yang
dianugerahkannya kepada orang-orang
Mukmin (QS Al-Mujadilah [58]: 22)
dan di sini dipahami sebagai dukungan dan
peneguhan hati atau
kekuatan batin; dan ada juga yang
dianugerahkannya kepada seluruh manusia, Kemudian Kuhembuskan kepadanya dan
ruh-Ku.
Apakah
di sini dia
berarti nyawa? Ada
yang berpendapat demikian, ada
juga yang menolak pendapat ini, karena dalam Surat
Al-Mu'minun dijelaskan bahwa dengan
ditiupkannya ruh maka menjadilah
makhluk ini khalq akhar (makhluk yang unik), yang berbeda dari makhluk
lain. Sedangkan nyawa juga dimiliki
oleh orang utan,
misalnya. Kalau demikian nyaa bukan unsur yang menjadikan manusia
makhluk yang unik.
Demikian
terlihat Al-Quran berbicara tentang ruh
dalam makna yang beraneka
ragam, sehingga sungguh sulit untuk menetapkan maknanya apalagi
berbicara tentang substansinya. Dalam
beberapa hadis, ada disinggung tentang
ruh, misalnya sabda Nabi
Saw., Ruh-ruh adalah himpunan yang
terorganisasi, yang saling mengenal
akan bergabung, dan yang tidak saling
mengenal akan berselisih. Hadis
di atas seringkali dirangkaikan dengan
ungkapan yang dikenal luas dalam
literatur keagamaan: Burung-burung
akan bergabung dengan jenisnya. Hadis ini, sekali lagi tidak membicarakan apa
yang disebut ruh tersebut? Dia hanya
mengisyaratkan tentang keanekaragamannya, dan bahwa manusia mempunyai
kecenderungan yang berbeda-beda, dan setiap pemilik
kecenderungan jiwanya akan bergabung dengan sesamanya. Demikian kembali kita bertanya,
"Apa ruh itu
dan bagaimana ia?"
Katakanlah, "Ruh adalah urusan Tuhan-Ku." Kamu tidak diberi pengetahuan kecuali sedikit.
d.Fitrah pada
Unsur 'Aql
Kata 'aql (akal) tidak ditemukan
dalam Al-Quran, yang
ada adalah bentuk kata
kerja masa kini,
dan lampau. Kata tersebut dari segi bahasa pada mulanya
berarti tali pengikat, penghalang. Al-Quran
menggunakannya bagi "sesuatu
yang mengikat atau menghalangi seseorang terjerumus dalam kesalahan
atau dosa." Apakah sesuatu itu? Al-Quran
tidak menjelaskannya secara
eksplisit, namun dari
konteks ayat-ayat yang menggunakan akar kata 'aql dapat dipahami
bahwa ia antara lain adalah akal itu
mempunyai daya untuk memahami dan menggambarkan sesuatu, seperti
firman-Nya dalam QS Al-'Ankabut (29): 43.
Demikian itulah
perumpamaan-perumpamaan yang kami berikan kepada manusia, tetapi tidak ada
yang memahaminya kecuali orang-orang
alim (berpengetahuan) (QS
Al-'Ankabut [29]: 43) Daya manusia dalam
hal ini berbeda-beda.
Ini diisyaratkan Al-Quran antara
lain dalam ayat-ayat yang
berbicara tentang kejadian langit dan bumi, silih bergantinya malam dan
siang, dan lain-lain. Ada yang dinyatakan sebagai bukti-bukti keesaan
Allah Swt. bagi "orang-orang berakal"
(QS Al-Baqarah [2]: 164),
dan ada juga
bagi Ulil Albab yang juga dengan
makna sama, tetapi mengandung pengertian lebih
tajam dari sekadar memiliki pengetahuan.
Keanekaragaman akal dalam
konteks menarik makna
dan menyimpulkannya terlihat juga dari penggunaan istilah-istilah semacam nazhara,
tafakkur, tadabbur, dan
sebagainya yang semuanya
mengandung makna mengantar
kepada pengertian dan kemampuan pemahaman.
Kesimpulan
Demikian
sekilas tentang pengertian kata-kata yang boleh
jadi dapat menggambarkan sekilas
tentang manusia dalam pandangan Al-Quran. Karena
manusia itu sendirilah yang
dapat menciptakan sebuah keberkahan di dalam suatu komunitas negara. Allah
sebagai pemilik kehidupan ini hanya memfasilitasi berbagai
kebutuhan manusia. Jadi perkembangan suatu negara sangat
berafiliasi dengan kinerja
manusia itu sendiri, baik
secara individu , masyarakat dan juga secara
berbangsa tentunya. Penulis sepenuhnya sadar bahwa uraian di atas
amat terbatas. Uraian yang memadai mungkin dapat diperoleh dengan
kerja sama pakar-pakar Al-Quran dengan
Pakar dalam berbagai disiplin ilmu lain.
Unsur kebangsaan, manusia dan masyarakat
dengan berbagai hajat
kehidupannya dalam suatu negara
ternyata saling mempengaruhi untuk mendapatkan sebuah kapasitas negara yang memunculkan sebuah kesejahteraan bagi
ummatnya ( masyarakatnya ).
Sebuah komunitas negara dalam qlqur,an tidak hany akan di lihat berdasarkan
kapasitas nilai dan kondisi
beragamanya saja, ternyata mereka
yang berjalan dengan arif dan
bijaksana berjalan di permukaan muka
bumi ini akan di berikan oleh Allah banyak hal yang berhubungan dengan sebuah keberkahan. Tetapi ironisnya
ketika sebuah komunitas negara
yang berkonstitusi ajaran Allah,
tetapi berprilaku pada nilai nilai
kezholiman di muka bumi, maka tentunya
Allah sebagai pemilik kehidupan
ini akan memberikan sesuatu yang buruk dalam kapasitas berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu, setiap langkah anak bangsa akan membawa
kolerasi yang nyata di sisi
Allah. Kita begitu
banyak negara-negara yang maju dan berkembang karena para
kholifah ( pemimpinnya ) berbuat
dan memimpin ummatnya dengan
memakai nilai nilai dari Allah. Yaitu sebuah “ Kebijaksanaan”” dalam setiap
langkah langkahnya.
Daftar Pustaka.
Al-Qur’an
Dan Terjemahannya Departemen Agama Tahun 1990
Hatta,Ahmad,
Tafsir Qur,an Perkata, Dilengkapi
dengan Asbabun Nujul & Terjemah,(
Jakarta : Maghfiroh Pustaka,2009),cet.3
H.Munawir Sjadzali,
Islam Tata Negara, ( Jakarta :
Universitas Indonesia ;2008)
Esposito,L.Jhone,
The Oxport History Of Islam,(terj),Sains-sains Islam,Khirul,M.Anam,
(Jakarta : Inisiari Press, 2004),cet.I.
J.Suyuti, Pulungan,Universalisme
Islam ( Jakarta: PT.Semoyo Agung,2002)
Shihab,M.Quraish,H., Tafsir
Almisbah, Juz 1,( Jakarta :
Lentera Hati ,2000)
-----------------------------,.Tafsir Almisbah, Juz 2,( Jakarta : Lentera
Hati ,2000)
---------------------------,.WAWASAN
AL-QURAN,Tafsir Maudhu'i Atas Pelbagai
Persoalan Umat h.316, ebook by.nazilhilmie@yahoo.com
---------------------------,.Membumikan
Al-Qur,an : Fungsi dan Peran Wahyu
dalam kehidupan masyarakat,( Bandung : Mizan ,1992 ).
--------------------------,.
Kebangsaan Menurut Alqur,an ; 2010
Bahasan,Ibnu,Mari Menuju
Ridho Allah,(Jakarta: Mara Media Publishing,2010)
Muhammad Nashib Arrifai ; Taisirul al
Aliyyul qadir li
Ikhtisari Tafsir Ibnu katsir’,
Kemudahan Dari Allah : Ringkasan Tafsir Ibnu
Katsir.terj. Shihabudin ; 1989)
Raharjo Dawam, 1990;112 ( dalam) :
J.Suyuthi Pulungan,Universalisme
Islam,( PT Moyo Segoro Agung, 2002 ),h.238
Nurholis Madjid 1987 :101 (dalam) J.Suyuthi Pulungan,Universalisme Islam,(
PT Moyo Segoro Agung, 2002 ),h.17
Gunnar Myrdar, Bangsa – Bangsa Kaya
dan Miskin ( dalam ) J.Suyuthi Pulungan,Universalisme Islam,(
PT Moyo Segoro Agung, 2002 ),h.240
Satryo Seomatri
Brojonegoro,Pendidikan Kewarganegaraan, ( Gramedia Pusta
utama,2007 ), h.7
[2] Op.cit.h.2
[4] Jhon L. Espositi,
M.Khoirul Anam,Terj.“Sains- sains
Islam” (Inisiari Press,2004 )
[5] J.Suyuti Pulungan,universalisme Islam ( Jakarta: PT.Semoyo Agung,2002),h.178
[6] Op.cit.h.181
[9] H.M. Quraish Shihab, Tafsir
Almisbah, Juz 1,( Jakarta :
Lentera Hati ,2000 ), h. 360
[10] H.M. Quraish Shihab, Tafsir
Almisbah, Juz 1,( Jakarta :
Lentera Hati ,2000 ), h. 361
[11] op.cit.h.159
[12] Op.cit,h.160
[13]H.M.Quraish
Shihab, WAWASAN AL-QURAN,Tafsir Maudhu'i
Ata Pelbagai Persoalan Umat h.316, ebook by.nazilhilmie@yahoo.com
[14] J.Suyuthi Pulungan,Universalisme Islam,( PT Moyo Segoro
Agung, 2002 ),h.16
[15] Nurholis Madjid 1987 :101
dalam J.Suyuthi Pulungan,Universalisme
Islam,( PT Moyo Segoro Agung, 2002 ),h.17
[16] Muhammad Nashib Arrifai ; Taisirul al Aliyyul qadir
li Ikhtisari Tafsir Ibnu katsir’, Kemudahan Dari
Allah : Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir.terj.
Shihabudin ; 1989) ; h.1047
[18] Ibnu Bahasan,Mari
Menuju Ridho Allah,(Jakarta: Mara Media
Publishing,2010),h.47
[19] Satryo Seomatri
Brojonegoro,Pendidikan Kewarganegaraan,( Gramedia Pusta
utama,2007 ), h.7
[22] Raharjo Dawam, 1990;112 dalam : [22]
J.Suyuthi Pulungan,Universalisme Islam,( PT
Moyo Segoro Agung, 2002 ),h.238
[24] Gunnar Myrdar, Bangsa –
bangsa kaya dan Miskin ( dalam ) J.Suyuthi
Pulungan,Universalisme Islam,( PT Moyo
Segoro Agung, 2002 ),h.240
[25] J.Suyuthi
Pulungan,Universalisme Islam,( Jakarat : PT
Moyo Segoro Agung, 2002 ),25
[26] Op.cit.h.26
[27] Op.cit.h.25
[28] M.Quraish Shihab, WAWASAN AL-QURAN Tafsir
Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat h.
319, ebook by.nazilhilmie@yahoo.com
[29]H. M.Quraish Shihab, WAWASAN AL-QURAN Tafsir
Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat h.
320, ebook by.nazilhilmie@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar