Selasa, 18 Desember 2012

" Keberkahan Sebuah Negara Menurut Alqur,an "


KEBERKAHAN UMMAT MENURUT AL-QUR,AN
 DALAM  KEHIDUPAN BERBANGSA DAN BERNEGARA
Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.
( QS .Al  A,raf ayat 96)

Oleh : Drs. H Hamzah MM
Pendahuluan
Alqur,an sebagai  kitab petunjuk bagi ummat  manusia selain  berfungsi memberi pemecahan problema-problema masyarakat dengan tujuan tercapainya kesejahteraan di dunia  dan akhirat.  Namun juga  sangat menaruh perhatian sangat besar tyerhadap roblema  kondisi masyarakat dalam bidang  perbaikan ekjonomi.  Keberkahan  dalam bahasa  agama pada  dasarnya  dapat  di konverasi  dengan  kemiskinan. Melihat dan  memperhatikan kondisi  berbangsa  di negara yang kita  cintai ini,  perlu  kiranya   kita  mendalami dan merenungkan kembali makna yang terdapat dalam berbagai  hal  tentang proses  berbangsa  dan bernegara  dalam ruang lingkup penjabaran alqur,an.   
Penulis mencoba  mengungkapkan sebuah penomena yang sangat  umum di kehidupan berbangsa  dan bernegara saat  ini, yaitu sebuah  pemaknaan “keberkahan “. Kenapa  kata  keberkahan? Mengingat  bangsa  kita adalah bangsa yang mayoritasmuslim, yang seharusnya  kata ini menjadi  acuan riel mereka yang berikan amanah  oleh Allah untuk menciptakan sebuah keberkahan itu bagai manusia yang lain atau ummat.
 Seorang teknokrat  dan pemikir  Islam, Dr. H.Munawir  Sjazdali ,MA.  Dalam sebuah bukunya  Islam  dan Tata  Negara  diungkapkan  bahwa  Ummat  Islam masih terdapat  pemahaman  tentang  hubungan  antara Islam  dan ketatanegaraan pada  tiga  pemikiran :
Pertama , berpendirian  bahwa   Islam bukanlah semata mata agama   dalam pengertian Barat, yakni hanya  menyangkut  hubungan  antara manusia  dengan Tuhan,  sebaliknya Islam adalah satu agama  yang  sempurna dan lengkap dengan pengaturan  bagi segala asfek kehidupan mansuia  termasuk kehidupan berbegara. Para  penganut  pemikiran ini   di antaranya   Syaekh Hasan Al-Banna,  Sayyid Qutub, Syekh Muhammad Sayid  Ridho dan A,A, Maududi. pada umumnya berpendirian  bahwa :[1]
1.      Islam adalah suatu agama yang sudah lengkap, karena  di dalamnya terdapat,  sistem ketatanegaraan  atau politik, oleh karena  itu  ummat Islam hendaknya kembali kepada  Sistem ketatanegaran  Islam.
2.      Sistem  ketatanegaraan  atau politik Islami  yang harus di teladani  adalah sistem  yang telah  di laksanakan  oleh Nabi  Besar  Muhammad SAW dan oleh empat orang sahabat Nabi (lihat ; Piagam  Madinah).
Kedua ;  berpendirian  bahwa  Islam adalah agama  dalam pengertian barat, yang tidak ada  hubungannya dengan urusan  kenegaraan. Menurut  aliran ini    Nabi Muhammad hanyalah  seorang Rosul biasa  seperti halnya rasul rasul yang sebelumnya dengan  tugas tunggal mengajak  manusia  kembali kepada kehidupan  yang mulia dengan menjunjung  Budi pekerti yang luhur dan Nabi  tidak pernah  di maksudkan untuk mendirikan  dan  mengepalai  satu  negara.
Ketiga ;   menolak   pendapat bahwa  agama  Islam  adalah agama yang serba  lengkap dan bahwa  dalam agama Islam  terdapat sistem ketata negaraan. Tetapi aliran ini juga menolak  bahwa  agama  Islam  adalah   agama dalam pengertian Barat  yang hanya  mengatur  Hubungan antara  manusia dan penciptanya. Aliran ini  berpendirian  bahwa  di dalam Islam tidak terdapat  sistem ketata negaraan.[2]  Tetapi terdapat perangkat tata  nilai  etika  bagi kehidupan bernegara.  Diantara  tokoh  tokohnya adalah  Dr.Mohammad Husein Haikal, pengarang buku “  Hayau Muhammad  fan Fi  Manzil al Wahyi “. [3]
            Sebenarnya  ada  tiga  pilar  yang  sangat   menentukan suatu  bangsa  untuk dapat eksistensi  menciptakan superioritas suatu bangsa, jika  di hubungkan dengan upaya  melahirkan “ keberkahan pada  ummat “. Pertama; keyakinan atau  pandangan  bangsa  itu terhadap  hal-hal yang  bersifat sufreme, keberadaan manusia dan realitas alam  semesta. Kedua ; kemampuan  bangsa  tersebut  dalam menginterpretasikan  secara intelektual  dan saintifik  akan keyakinan tersebut dalam realitas kehidupan.  Ketiga ; adanya  manusia-manusia parexallance yang  berani  dan cerdas  untuk  mendasarkan  hidupnya atas keyakinan  dan agama  yang di yakininya secara penuh dan komprehensif.  Tiga  pilar ini  pula yang kita  temukan dalam realitas kehidupan ummat  Islam era  rasulallah saw. Bersama  para  sahabatnya  dan generasi  berikutnya.  Allah  melalui  ayat-ayatnya  memuji  ummat  Islam yang  di lahirkan  untuk manusia. Mereka sangat  aktife  berdakwa, amar  ma,ruf nahi munkar.  Generasi  awal ummat  Islam ini sangat  kreatife,imajinatife,  sehingga  melahirkan peradaban Baru manusia. [4]
Pada  era  global  yang sangat  kompleks  ini,  sebuah  kebarkahan tentunya  akan  banyak  di pengaruhi berbagai  keadaan dan situasi. Diantaranya; Keadaan dan karakter   masyarakat suatu bangsa, Keadaan masyarakat itu  sendiri  dan  juga  karakter manusia itu sendiri sebagai  anak bangsa.  Oleh  karena  itu  sebuah  negara akan mendapatkan posisi  keberkahan secara  totalitas jika  memang  secara  utuh  melakukan kebijakan yang sesuai  dengan sunatullah.  Tidak  di sangkal  jika  suatu  bangsa yang  bukan mayoritas  muslim mendapatkan  keberkahan dari Allah, karena  bangsa  tersebut melangkah dengan tata kelola bangsanya  dengan  membawa nilai nilai  ketuhanan, seperti, kebijakan, keadilan, kehormatan. Yang  jelas  mereka  secara  totalitas  berjalan dalamrule  of  law sehingga  mencerminkan  kearifan dari tujuan  di ciptakannya  manusi oleh Allah.  Kemudian  bagaimana dengan  kehidupan berbangsa  dan bernegara  kita ( Indonesia )  jika  kita telusuri  dari pemaknaan  sebuah  keberkahan ?. Makalah  ini  akan mencoba  menguraikan makna keberkahan   yang  sebenarnya tersebut dalam wilayah kehidupan berbangsa saat  ini.
Pembahasan
Dari  ketiga pemikiran   Dalam  Buku  Islam dan Tata  negara  oleh H Munawwir Sjadzali tersebut, ummat Islam hendaknya mampu menyeimbangkan pola  pemikirannya dengan melakukan analisa  berdasarkan kitab Absolut  kebenaran yaitu  Alqur,an. Alqur,an dengan   berbagai  macam kelebihannya dari berbagai  sudut  pemikiran dalam mensikapi  tentang bernegara, setidaknya  ada  hal- hal yang perlu  kita ketahui  berkenaan dengan   mengkaji    Alqur,an dan bernegara  “. Didalam berdirinya  sebuah negara  hendaklah mempunyai   kondisi  atau mencirikan hal hal di bawah ini :
1.      Keadaan suatu  negeri tergantung dari penduduknya
2.      Beberapa  ciri  masyarakat yang dikehendaki oleh Islam
3.      Tugas  manusia  sebagai  khalifah/pemimpin  
4.      Musyawarah  terhadap berbagai  Perbedaan Pendapat
        
               Alqur,an yang  berisikan   tatanan tatanan kehidupan manusia  yang mencakup  berbagai susbstansi  kehidupan diantaranya  ; aqidah,Ibadah,Hukum-hukum,Peringatan, sejarah dan juga  dorongan kepada  manusia  untuk   berfikir. Juga  sangat berpengaruh terhadap  pola  kehidupan berbangsa dan bernegara.  Maka  ketika  suatu  negara ingin   mendapatkan keberkahan, tentunya  tidak akan  bisa tercapai  jika  meninggalkan ajaran ajaran Alqur,an. Alqur,an sendiri  memberikan gambaran sebuah  masyarakat dan pola  berenegara  yang  bisa  melahirkan sebuah  keberkahan  dengan beberapa ciri  yang  jelas di  atas.

           Dalam Alqur,an   Surat   Al A,rof  ayat  96  dengan jelas Allah memberikan ilustrasi  tentang berdirinya sebuah  negera. Dengan latar belakang yang  sangat jelas. 
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُواْ وَاتَّقَواْ لَفَتَحْنَا عَلَيْهِم بَرَكَاتٍ مِّنَ السَّمَاء وَالأَرْضِ وَلَـكِن كَذَّبُواْ فَأَخَذْنَاهُم بِمَا كَانُواْ يَكْسِبُونَ

Artinya  : Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya. ( QS .Al  A,raf ayat 96)

               Batasan  dasar  sebuah  negera  dalam pandangan Alqur,an yaitu mutlaq. Yaitu Beriman. Dengan  beriman   dan bertaqwa akan di  berikan satu kapasitas yang  luar  biasa  dalam konteks  berbangsa dan bernegara.  yaitu  “ keberkahan “.  Dapat  juga  sebenarnya  di katakan  sebuah  tatanan masyarakat Madani (civil society ).   Istilah civil  society  itu  sendiri  merupakan produk sejarah masyarakat   Barat. Yang di gagas  oleh para pemikir  seperti  Aristotels ( 384-322 SM ), Thomes  Hobbes ( 1588-1679) dll. Pemikiran  ini sebenarnya  tidakjauh berbeda dengan pemikiran  Ibnu Khaldun  “ Konsep  Ashabiyah “. Dalam berbagai  literatur  berbahasa  Indonesia  di artikan  yang  cukup beragam, diantaranya ; (1) masyarakat sipil. (2). Masyarakat kewargaan (3).masyarakat  Madani.  Namun  ada  juga  yang tidak  menterjemahkannya, masih  menggunakan secara  utuh. ( civil society ). [5].  Lebih  Lanjut J.Suyuti Pulungan mengemukakan,  Prinsip prinsip dasar para  pakar untuk membabgun masyarakat  madani  mencakup,  penegakan supermasi  Hukum, keadilan sosial, penghargaan terhadap hak-hak asasi manusia, kemandirian masyarakat,persatuan, kedaulatan  rakyat, yang di semangati dengan demokratisasi.[6]  Dari  tujuan yang  hendak di  lahirkan oleh sebuah  konsep masyarakat  Madani, menurut  penulis, tidak lain adalah  akan menciptakan sebuah  makna  keberkahan dalam suatu  tatanan  masyarakat atau  ummat. Amartya  Sen, peraih nobel Ekonomi  tahun 1998  pernah  mengataka “  Orang orang  miskin akan mampu  memperjuangkan  hak-haknya lebih efektif dinegara demokratis dibanding di negara  otoriter”.  Karena  sebuah kebekahan pada  ummat sangat  berpengaruh pada jalannya sebuah  roda  kenegaraan, ketika sebuah  negara  yang  demokratis  tidak demokratis  maka  itu  sama halnya tidak  memasuki wilayah keberkahan  bagi  Ummat (  warga  negara ).
               Dalam  sebuah makalah  yang di tulis oleh Dr. Muhammad Arifin Baderi, M.A. Keberkahan itu di uraikan.”Berkah” atau “al-barakah” bila kita pelajari dengan sebenarnya, baik melalui ilmu bahasa Arab atau melalui dalil-dalil dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, niscaya kita akan mendapatkan, bahwa “al barakah” memiliki kandungan dan pemahaman yang sangat luas dan agung. Secara ilmu bahasa, “al-barakah” berarti “Berkembang, bertambah dan kebahagiaan. Asal makna keberkahan ialah kebaikan yang banyak dan abadi.” (Syarah Shahih Muslim oleh an-Nawawi, 1/225). [7] Adapun bila ditinjau melalui dalil-dalil dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, maka “al-barakah” memiliki makna dan perwujudan yang tidak jauh berbeda dari makna “al-barakah” dalam ilmu bahasa. Walau demikian, kebaikan dan perkembangan tersebut tidak boleh hanya dipahami dalam wujud yang riil, yaitu jumlah harta yang senantiasa bertambah dan berlipat ganda. Dikisahkan dalam al-Quran, dan as-Sunnah    di dalam alqur,an  Allah memberikan satu ilustrasi  yaitu   QS   Qaaf  ayat  9-11 ;
وَنَزَّلْنَا مِنَ السَّمَاء مَاء مُّبَارَكًا فَأَنبَتْنَا بِهِ جَنَّاتٍ وَحَبَّ الْحَصِيدِ وَالنَّخْلَ بَاسِقَاتٍ لَّهَا طَلْعٌ نَّضِيدٌ رِزْقًا لِّلْعِبَادِ وَأَحْيَيْنَا بِهِ بَلْدَةً مَّيْتًا كَذَلِكَ الْخُرُوجُ
Artinya “Dan Kami turunkan dari langit air yang diberkahi (banyak membawa kemanfaatan), lalu Kami tumbuhkan dengan air itu taman-taman dan biji-biji tanaman yang diketam. Dan pohon kurma yang tingi-tinggi yang memiliki mayang yang bersusun-susun, untuk menjadi rezeki bagi hamba-hamba (kami), dan Kami hidupkan dengan air itu tanah yang mati (kering). Demikianlah terjadinya kebangkitan.” (Qs. Qaaf: 9-11).
Kisah bangsa Saba’, suatu negeri yang tatkala penduduknya beriman dan beramal shaleh, penuh dengan keberkahan. Sampai-sampai ulama ahli tafsir mengisahkan, bahwa dahulu wanita kaum Saba’ tidak perlu untuk memanen buah-buahan kebun mereka. Untuk mengambil hasil kebunnya, mereka cukup membawa keranjang di atas kepalanya, lalu melintas dikebunnya, maka buah-buahan yang telah masak dan berjatuhan bila keberkahan telah menyertai hujan yang turun dari langit, tanah gersang, kering keronta menjadi subur makmur, kemudian muncullah taman-taman indah, buah-buahan dan biji-bijian yang melimpah ruah. Sehingga negeri yang dikaruniai Allah dengan hujan yang berkah, menjadi negeri gemah ripah loh jinawi (kata orang jawa).
بَلْدَةٌ طَيِّبَةٌ وَرَبٌّ غَفُورٌ
Artinya “(Negerimu adalah) negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan Yang Maha Pengampun.” (Qs. Saba’: 15).   Dalam ayat  lain  Allah   mengungkapkan  surat  dalam  surat  Hud  ayat  117.وَمَا كَانَ رَبُّكَ لِيُهْلِكَ الْقُرَى بِظُلْمٍ وَأَهْلُهَا مُصْلِحُونَ  
Artinya  : Dan Tuhanmu sekali-kali tidak akan membinasakan negeri-negeri secara zalim, sedang penduduknya orang-orang yang berbuat kebaikan  ( QS  Hud ayat 117 ) ).[8]
            Janji  Allah  adalah mutlaq  kebenarannya kepada  manusia  di muka  bumi ini,  ketika  semua  komunitas bangsa  beriman  dan berbuat kebaikan akan di  berikan kapasitas keberkahan,  dan tidak akan mengalami sebuah kehancuran, tetrapi jika  tidak  beriman akan mengalami  kehancuran itu.  Jadi Islam  melalui alqur,an sudah memberikan alternatif pemikiran yang sangat jelas.Jika sebuah negara ingin  mendapatkan sebuah keberkahan dan jauh dari kehancuran jalan utama  adalah beriman dan bertaqwa  seluruh rakyatnya. Jika  kita  ilustrasikan pada bangsa  kita,   rasanya  semua  kita  akan mempunyai persepsi  yang sama tentang  kondisi  bangsa dan negara kita secara konteks Agama. Di satu  sisi  bangsa  kita muslim tetapi di satu sisi bangsa kita  tidak menanpakkan nilai nilai  ajaran kemusliman itu.  Makanya  keberkahan dari negeri ini   belum nampak maksimal dari Allah, SWT, hanya  sebagian kecil  dari bangsa  kita yang merasakan nilai nilai keberkahan tersebut, Mungkin hanya 20% dari 80  %   yang    belum merasakan hakikat sebuayhu keberkahan bangsa. Salah satu  sebebnya itu bangsa kita  tidak  Konswekwen  kepada  nikmat nikmat Allah  SWT.
            Dalam  Tafsir  al Misbah  juz  6  M.Quraish Shihab menuliskan tentang   surat  Hud  ayat 117  ini.   Kata   ma-kana/tidak pernah ada/  satu  istilah yang mengandung  makna penekanan kesungguhan. Kata  ini  bisa juga di terjemahkan  dengan tidak wajar  atau sepatutnya. Dengan menyatakan tidak pernah ada   maka tertutup  sudah kemungkinan  dapat terjadinya hal tersebut  dalam keadaan apapaun.   Jika istilah itu tertuju  kepada  makhluq, maka  itu bagaikan  menafikan adanya kemampuan  melakukan sesuatu.  Redaksi  itu menurut Asy-Sa,rawi’.,  berbeda dengan  redaksi   maayanbaghi  yang secara  harfiyah  berarti  tidak sepatutnya, karena   yang terakhir  ini masih  menggambarkan  adanya  kemampuan,  hanya  saja  tidak sepatutnya  di lakukan. Dengan menegaskan  tidak ada  kemampuan , maka  tertutup  sudah kemungkinan  bagi wujudnya  sesuatu yang di  maksud , berbeda  jika baru  dinyatakan tidak sepatutnya. Ketika  ayat ini di nyatakan tidak pernah ada,  maka  itu berarti  apapaun  yang terjadi , kezholiman dari Allah  tidak pernah  akan ada. Di sinilah terletak  penekanan  dan kesungguhan  yang di kandung oleh redaksi  tersebut.[9]
Selanjutnya  Quraish Shihab  mengungkapakan,  kata  mushlihun adalah jamak  dari kata  muslih. Sesorang di tuntut, paling tidak  menjadi  sholeh,  yakni memelihara  nilai nilai  sesuatu sehingga   kondisi  itu tetap bertahan sebagaimana  adanaya.   Dan dengan demikian  sesuatu itu tetap  berfungsi dan bermanfaat. Seortang yang mushlih, adalah seorang yang  menemukan sesuatu yang hilang atau berkurang nilaionya, tidak atau  kurang berfungsi  dan bermanfaat. Lalu ia melakukan  aktifitas ( memperbaiki ) sehingga  yang kurang itu  atau yang hilang itu  menyatu kembali dengamn sesuatu itu.  Yang  lebih baik   dari itu adalah   seseorang yang menemukan sesuatu  yang telah bermanfaat  dan berfungsi  denganm baik.,  lalau dia  melakukan aktifitas yang   me;lahirkan nilai  tambah  bagi sesuatu itu.  Sehingga kualitasnya  lebih tinggi lagi.  Huruf  ba’ b  ( yang dibaca bi ) pada   kata  bizulmin   pad ayat di atas,b  ada  yang memahminya  dalam arti, mulabasah  yaitu  kebersamaan,  bdan persentuhan dengan  kata  Tuhanmu.  Atas dasar  itu, ia  di pahami  bahwa Allah  SWT   tidak melakukan  sesuatu dengan cara  aniyaya sekecil appapun.  Ada  juga yang memahami   huruf tersebut  sebagaio  berfungsi  menjelaskan sebab  dan dengan demikian  ia  berkaitan dengan penduduk negeri.   Jika  pendapat kedua  ini  yang  di pilih, maka  yat  tertsebut  menjelaskna   bahwa  jatuhnya siskas Allah terhadap  penduudka  suatu negeri  bukan di sebabkan karena   kezaliman yang besar  yakni kemusyrikan yang di lakukan  oleh penduduk  negeri itu.   Siksa Allah tidak akan jatuh terhadap  mereka.  Ini  karena Allah maha   penyantun dan  mendahulukan kemaslahatan  hamba-NYA dari pada pengabdian  kepada-Nya. Asy Sa,rawqi menulis  bahwa “ Negeri negeri yang penduduknya melakukan perbaikan tidak akan di binasakan oleh Allah.  Karena  perbaikan yang  mereka lakukan, bila  merupakan hasil  kepatuhan  terhadap  sistem  yang di tetapkan oleh Allah swt,   maka ketika itu terjadi  keseimbangan antara  gerak manusia  dengan  gerak alam, dan tidak  terjkadi  perbenturan  antara   berbagai gerak. Yang terjadi   justru  sebaliknya   yakni gerak-gerak tersebut  saling mendukung dan menguatkan  sehingga lahir  masyarakat  yang di dambakan.  Dan bila  perbaikan itu di lakukan  oleh mereka   yang patuh kepada Allah  dan sistem yang tetapkan-Nya, tetqpi mereka menemukan  satu cara kerja yang  menyenangkan  dan sesuai bagi mereka , maka  ketika itupun  Allah  tidak menjatuhkan siksa-Nya, karena  Allah swt. Tidak   menghalangi  akal manusia  menemukan cara  cara yang menyenangkan  kehidupan mereka .  Hanya saja lanjut Asy Sa,rawi  akal manusia  akan  tidak akan mencapai  apa  yang  sesuai  dan menyenangkannya dalam kehidupan dunia ini, kecuali setelah upaya melelahkanya, berbeda   dengan sistem  yang di tetapkan oleh Allah yang siap di pakai dan tidak melelahkan manusia . Karena itu asy Sya,rawi dalam menafsirkan ayat ini , sekali lagi  menekankan  bahwa  Allah swt. Tidak membinasakan  suatu negeri  karena penduduknya yang kafir.  Bahkan dia melanggengkannya  dalam keadaan kafir selama mereka  menetapkan  dan melaksanakan  dengan baik peraturan peraturan yang menyangkut hak dan kewajibann  sebagai anggota masyarakat Dunia. Itu adalah maksud  dari “ waahluhu mushlihun (  dan pendudukknya adalah mushlihun ). [10]Allah dengan  berbagai  hak prerogatifnya  ternyata  kan memberikan berbagai keleluasan kepada setiap   penduduk bumi ini  untuk berbuat  dengan sesuai  sistem dan  keadaan yang ada di bumi ini, tidak akan Allah hancurkan sebuah negeri itu  ketika  masih dalam koridor  berbuat kebaikan, berarti  perbuatan kebaikan baik secara  individui dan ankhirnya secara kelompok  dan juga   secara Negera,  adalah   sebagai  anugrah besar dari Allah kepada  suatu bangsa. Allah tidak melepas  dari  kondisi  azam atau kehancuran terhadap  kafur  atau  muslim. Selalu  da  kebaikan yang menjadi  model dalam kehidupannya.
            Kita  perlu mengingat  kaum Nabi Yunus  yang  mampu mendatangkan  kebahagian dan  menghilangkan azab yang pada  saat itu  menimpanya.   Dengan  jelas di  tuliskan dalam alqur,an QS.Yunus  ayat 98 :
فَلَوْلاَ كَانَتْ قَرْيَةٌ آمَنَتْ فَنَفَعَهَا إِيمَانُهَا إِلاَّ قَوْمَ يُونُسَ لَمَّآ آمَنُواْ كَشَفْنَا عَنْهُمْ عَذَابَ الخِزْيِ فِي الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَمَتَّعْنَاهُمْ إِلَى حِينٍ
Artinya  : Dan mengapa tidak ada (penduduk) suatu kota yang beriman, lalu imannya itu bermanfa'at kepadanya selain kaum Yunus? Tatkala mereka (kaum Yunus itu), beriman, Kami hilangkan dari mereka azab yang menghinakan dalam kehidupan dunia, dan Kami beri kesenangan kepada mereka sampai kepada waktu yang tertentu. QS Yunus  98.
Sangat  jelas  dalam pandangan Allah  dalam alqur,an bahwa sebuah  negara  yang di diami oleh penduduk  yang beriman dan bertaqwa  dengan berbuat berbagai kebaikan akan berbeda di mata Allah dengan manusia  yang  melakukan berbagai kdhololiman.   Ayat  di  atas surat  Yunus  tersebut  dalam  penafsiran M Quraish Shihab  di uraikan  ada  apa  sehingga  Allah memberikan sutau keselamatan kepada kuam  Yunus. M.Quraish Shihab menguraikan “.  Yunus  ibnu Mata  lahir di Gats Aifar, Palestina,  Masyarakatnya  menolak ajakannya., sehingga  beliau  menuju ke   Yafa’ satu pelabuhan di palestina, dan meluat  menuju tempayt yang di namai  Tarsyisy, satu  kota   di sebelah Barat Palestina  atau selain  itu, lalu beliau  di turunkan  ke  tengah laut sehingga   ditelan Ikan  besar. Kisah itu  di sebutkan di dalam alqur,an  secra  singkat  dalam surat Nun. Beliau di utus  sekitar  awal abad ke VIII SM, dan  di kubur  di Jaljun, satu desa yang terletak  diantara Qudus di Palestina dan Al-Kholil yang terletak di tepi barat laut  Mati.[11] Kaum  Yunus  hidup  di kota  Nainawa,  salah satu Kota  kerajaan  Asyur yang terletak di tepi  sebelah  kiri sungai Tigris  di Irak danm di bangun pada tahun  2229 SM.  Konon Nabi  Yunus as. setelah sekian lama mengajak  kaumnya    ke jalan kebenaran tetapi terus  membangkang, akhirnya meninggalkan  mereka sambil mengancam jatuhnya siksa  Allah setelah empat puluh hari.  Namun  beberapa hari sebelum  berakhirnya masa  itu, mereka melihat tanda tandanya.  Ayat  ini  merupakan  ancaman kepada  kaum  musryikin Mekkah,  Sementara  ulama  berpendapat bahwa  kaum musyrikin mekah  serupa   keadaannya dengan   keadaan kaum nabi Yunus as. Mereka pun   pada  kahirnya berduyun duyun  memeluk Islam dan mempercayai Nabi Muhammad SAW.  Begitu beliau  bersam  akaum muslimin memasuki kota mekah.  Ketika  itu mnereka    di maafkan oleh Rasulallah saw.  Sambil  bersabda. “  Kalian adalah saudara  dan anak anak saudar yang mulia.   Pergilah keman kalain mau  kalian adalah orang orang yang bebas.”.[12]
            Dua  hal  penting yang perlu di  garis  bawahi oleh seorang Sayyid Qutub tentang  kejadian  ini adalah,
Pertama;  Bahwa   ayat  ini menghimbau  para  pendurhaka untuk berpegang  pada  pelampung  terakhir.   Semoga  merekapun   dapat selamat sebagaimana keselamatan  yang di peroleh  kaum Nabi  Yunus. As.
Kedua ;  Keselamatan yang di alamai oleh  kaum Nabi Yunus as. Ini  tidak berarti   abhwa sunatullah   yakni kebiasaan dan ketentuan  Allah terhadap para  pembangkang  terhenti atau di abaikan. Mereka  ahanay di biarkan   bersenang senanmg    sekian lama.  Ini karena  sunnah Allah adalah menjatuhkan  siksa  bagi mereka  yang terus  membangkang sampai datangnya siksa. Karena kaum Nabi Yunus  as.  Sadar  beberapa    beberapa  sebelum  datangnya  siksa  itu.  Maka  sunnahnya  yanglain berlaku ketika itu yakni  penyelamatan   dari siksa   akibat kesadaran  itu.   Jika  demikian tidak ada  pemaksaan dalam  kegiatan manusia. Yang ada  adalah pemaksaan  menerima  akibat akibat  buruk dari kegiatan itu. [13]
            Menurut  J.Suyuthi  Pulungan,  dalam buku  Universalisme  Islam, keberkahan terkadang  sangat  perpengaruh  atu di ukur  dengan yang di sebut  Asfek  ekonomi.  Asfek  ini  sangat  berhubungan dengan pesan-pesan alqur,an  tentang upaya  meningkatkan derajat masyarakat secara  keseluruhan dari kemiskinan dan kekurangan.[14] Prinsip  prinsip ekonomi dalam Alqur,an  sangat  menekankan  pada  pembangunan ekonomi yang  bersifat menyeluruh. Di  dalamnya terkandung cita-cita, yang  menurut  jargon modern, tentang keadilan sosial.[15]   Manusia  di beri kebebasan untuk  mengembangkan ekonominya di permukaan  muka  Bumi ini,  dengan koridor-koridor  yang jelas  berdasarkan ajaran agama. Karena  keberkahan sangat  dekat  denganistilah kemakmuran, Urgensi  pemerataan kemakmuran, terletak   pada  perbedaan  kemqampuan dan bakat antara  pribadi-pribadi manusia dalam aktivitas  ekonomi  yang mnnyebabkan  pernedaan  tingkat ekonomi dan kemakmuranaatau keberkahan. Hal ini sebenarnya  sudah di ketengahkan oleh Allah.  QS  An Nahl ayat 71.
وَاللّهُ فَضَّلَ بَعْضَكُمْ عَلَى بَعْضٍ فِي الْرِّزْقِ فَمَا الَّذِينَ فُضِّلُواْ بِرَآدِّي رِزْقِهِمْ عَلَى مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَهُمْ فِيهِ سَوَاء أَفَبِنِعْمَةِ اللّهِ يَجْحَدُونَ
Artinya : Dan Allah melebihkan sebahagian kamu dari sebagian yang lain dalam hal rezki, tetapi orang-orang yang dilebihkan (rezkinya itu) tidak mau memberikan rezki mereka kepada budak-budak yang mereka miliki, agar mereka sama (merasakan) rezki itu. Maka mengapa mereka mengingkari ni'mat Allah.( QS An Nahl ayat 71 )

            Ini  merupakan  perumpamaan perumpamaan  yang  di buat Allah, apakah  diantara kalian ada orang yang  mau berbagi kepmilikan  harta, istri, dan tempat tidur  dengan orang lain. Lalu kalian memadamkan Allah  dengan makhluq  dan hambanya-Nya ? jika  kamu  tidak sudi  untuk  berbagi, tentu Allah lebih tidak sudi  lagi ketimbang  kamu. [16]
A.    Faktor Kebangsaan
               Bahasa Menujukan  Bangsa”, demikian kata  pepatah Melayu.kemungkinan pepatah ini berasal dari amtsal (pepatah) Arab. [17]  Banyak  kita  temukan dalam sejarah ada bahasa  dan bangsa yang pernah ada kemudian lenyap. Kita  ambil  contoh bangsa  Qibi  yang  mempunyai sejarah  panjang  yang  menjadi  penguasa lembah Nil,di Mesir. Bahasa dan aksara hieroglif ( tulisan paku)  dari bangsa ini telah lenyap di telan sejarah. Hilangnya  bangsa dan bahasa  ini berkaitan erat dengan hancurnya  negara (pemerintahan) mereka.  Begitu  Pula  Yahudi  yang pernah  menjadi penguasa di Baitul Maqdis bahasa  mereka  hilang dan hancur,namun 1948  mereka  mendirikan negara dengana nama Negara Israel.[18]Dalam  Alqur,an surat AlHujurat  ayat 13, terdapat kata berbangsa-bangsa dan bersuku suku. Kata Sya’bun dan Syu’ub   berarti bangsa yang terdiri  dari  berbagai  qabilah dan qabail yang  menjadi satu. Yang akhirnya   membentuk  pemerintahan yang sama.
Dalam  menelusuri  penjelasan  yang terdapat dalam Alqur,an dan kebangsaan  tentunya  kita perlu  memahami  apa  itu  sebenarnya  kebangsaan. Dalam Buku  membumikan  Al qur,an M. Qurais Shihab menuliskan “ Kebangsaan" terbentuk dari kata  "bangsa"  yang  dalam  Kamus Besar    Bahasa   Indonesia,   diartikan   sebagai   "kesatuan orang-orang yang bersamaan asal keturunan,  adat,  bahasa  dan sejarahnya,    serta   berpemerintahan   sendiri.".  Menurut DR.Ir.Satryo  Soemantri  Brojonegoro,   “ Bangsa   orang orang yang memiliki kesamaan asal keturunan, adat ,  bahasa dan sejarah serta  berpemerintahan sendiri”.[19] Sedangkan kebangsaan diartikan sebagai "ciri-ciri yang menandai golongan  bangsa."Kebangsaan” terbentuk dari kata “bangsa” yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, diartikan sebagai kesatuan orang-orang yang bersamaan asal keturunan, adat, bahasa, dan sejarahnya, serta berpemerintahan sendiri. Sedangkan “kebangsaan” diartikan sebagai “ciri-ciri” yang menandai golongan suatu bangsa. Para pakar berbeda pendapat tentang unsur-unsur yang harus terpenuhi untuk menamai suatu kelompok manusia sebagai bangsa. Demikian pula mereka berbeda pendapat tentang ciri-ciri yang mutlak harus terpenuhi guna terwujudnya sebuah bangsa atau kebangsaan. Hal ini merupakan kesulitan tersendiri dalam upaya memahami pandangan Al Qur’an tentang paham kebangsaan.Di sisi lain, paham kebangsaan-pada dasarnya- belum dikenal pada masa turunnya Al Qur’an. Paham ini baru muncul dan berkembang di Eropa sejak akhir abad ke 18 dan dari sana menyebar ke seluruh dunia Islam.Memang, keterikatan kepada tanah tumpah darah, adat istiadat leluhur, serta penguasa setempat telah menghiasi jiwa umat manusia sejak dahulu kala, tetapi paham kebangsaan (nasionalisme) dengan pengertiannya yang lumrah dewasa ini baru dikenal pada akhir abad ke 18.Yang pertama kali memperkenalkan paham kebangsaan kepada umat Islam adalah Napoleon pada saat ekspedisinya ke Mesir. Lantas, setelah revolusi 1789 Perancis menjadi salah satu negara besar yang berusaha melebarkan sayapnya. Mesir yang ketika itu dikuasai oleh para Mamluk dan berada di bawah naungan kekhalifahan Utsmani, merupakan salah satu wilayah yang diincarnya. Walaupun penguasa-penguasa Mesir itu beragama Islam, tetapi mereka berasal dari keturunan orang-orang Turki. Napoleon mempergunakan sisi ini untuk memisahkan orang-orang Mesir dan menjauhkan mereka dari penguasa dengan menyatakan bahwa orang-orang Mamluk adalah orang asing yang tinggal di Mesir.
Paham kebangsaan sama sekali tidak bertentangan dengan ajaran Al Qur’an dan sunnah. Bahkan semua unsur yang melahirkan paham tersebut, inklusif dalam ajaran Al Qur’an, sehingga seorang muslim yang baik pastilah seorang anggota suatu bangsa yang baik. Kalau anggota suatu bangsa terdiri dari beragam agama atau anggota masyarakat terdiri dari berbagai bangsa, hendaknya mereka dapat menghayati firman-Nya dalam surat Al Baqarah ayat 148:“Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblat (arah yang ditujunya), dia menghadap ke arah itu. Maka berlomba-lombalah kamu (melakukan) kebaikan. Di mana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian. Sesungguhnya Allah Maha kuasa atas segala sesuatu” . [20]
Hemat penulis, Faktor  kebangsaan yang pernah  di turunkan oleh ke Bumi ini adalh satu  bukti  kekuasan Allah juga. Bangsa-bangsa  tersebut akan tetap bertahan dan berkembang  peradabannya jika di jaga dengan baik, berkarakter kuat dan menjaga kontinyuitas  kebangsaa dengan menjaga  sifat  dan kondisi  sumber daya  alam yang ada,tetapi  akan hilang bangsa  itu  jika keluar  dari  konteks  penetapan kholifah dari Tuhan yang di langgarnya. Jadi  Bangsa akan  dapat  bertahan dengan memunculkan sebuah  keberkahan  kepada  rakyatnya jika seluruhnya  memandang bahwa  ada  kekuatan Allah yang mesti  di jaga dan di pelihara  dengan baik. Tetapi terkadang manusia   teramat  sukar untuk hal itu. Sesuatu  yang mungkin saja Indonesia hanya  tinggal  kenangan, ketika penguasa dan rakyatnya  semakin zholim kepada  Allah.
B.Konsep Islam dan Problema Kemiskinan
Keberkahan   dalam  lingkungan suatu  negeri sanagat  berafiliasi dengan  masyarakat yang  beradadi dalam kondisi  kemiskinan.  Kemiskinan  menjadi  problema  bagi  ummat manusia secara  keseluruhan karena  ia  selalu   hadir  kapan saja dan  di mana  saja  sehingga  itu  menjadi  musuh besar bagi  manusia. Bahkan kemiskinan   merupakan sebuah  penyakit  sosial  dan menjadi  kendala  bagi  tercapainya   kesejahteran  hidup  manusisa (keberkahan dalambahasa  agama ). Pada  dasawarsa  saat  ini  kemiskinan itu  tidak  hanya  berkaitan  dengan harta  benda (  material ) tetapi  juga  berkaitan dengan masalah non material.[21]
Agama  Islam sejak  periode  mekkah  sudah sangat  konsen dengan istilah  kemiskinan,  hal  itu  tercermin pada  di turunkannya  ayat-ayat pendek   seperti QS al-Maun, al-Fajr dll.  Yang  berisikan tentang perlunya  di lahirkan rasa care atau  peduli  dari masyarakat elit ( kaya )  kepada  masyarakat  yang  berada  dalam kemiskinan. Dan  Allah  mengecam mereka  yang  tidak  peduli  tersebut.  Al qur,an  mengandung  ajaran ajaran  ekonomi.  Persolaan  ekonomi  sendiri  berkaitan  dengan  masalah-masalah produksi, distribusi  dan konsumsi untuk bagaimana mencapai  kemakmuran suatu  bangsa. Pengelolaan dan penggunaan  sumber  sumber secara lestari dan kemiskinan.[22] Dalam kajian  teologi kemiskinan  akan di bicarakan pada pemikiran jabariyah dan qodariyah, dimana  watak  kajiannya hanya  hanya  sampai pada   tingkat  doktrin  dan  tidak pada  tahapan Operasional.  Lain halnya di bidang Fiqh,  yang membahas  tentang kemiskinan pada  masalah  halal dan haram. Sedangkan  pada  pemikiran   Tasawuf, pembicaraan  tentang  kemiskinan  seringkali di pandang  sebagai  suatu kemulyaan. Sedangkan di bidang Tafsir,   kajian  mengenai  kemiskinan  sangat  terkait dengan metode  penafsirang yang  bersifat  parsial (tajziy). Akibatnya  permasalahn kemiskinan ini tidak pernah  sampai  pada  pandangan yang utuh.[23]
a.Gagasan  Alqur,an  Menanggulangi  Kemiskinan
Manusia  diciptakan  mempunyai  kedudukan sebagai  khalifah ( QS ; 2 ; 30 ), dengan  tujuan  yang sangat  mulia, yaitu untuk menciptakan sebuah  kemakmuran yang totalitas  tentunya. Kemakmuran  itu  tentunya  tidak akan tercipta jika  banyak faktor yang di lakukan oleh manusia  tidak sesuai  dengan hukum dari  Allah.  Agar  terwujud  sangat  diperlukan keteraturan hidup  manusia  dalam masyarakat. Karena  Allah  menciptakan segala  yang  ada  di muka  bumi  ini sebagai amanat dari Allah.  Agar  manusia  dapat  melakoni  fungsi  kekholifahannya  itu  Allah  menganugrahkan  berbagai  potensi ( ghorizah ) kepada  manusia, tentunya  hal itu untu melakukan  pengenalan Alam  melalui  observasi dan ekperimentasi. Setidaknya  dengan melakukan hal-hal  tersebut  akan muncul sebuah    keberkahan”.
b.Kemiskinan  struktural dan Sikap  Keberagamaan
Negara-negara  maju  dan kaya   setelah perang dunia  II, atau saat ini  disebut kelompok ( G 7 ). Negara-  negara  maju (kaya) ditandai  dengan  tarap  hidup  sosial  ekonomi yang  sangat  tinggi,pola  perkembangan  ekonominya juga sangat  maju, tingkat  keterampilan dan pendidikan  masyarakatnya  sangat  berkembang tetapi  tingkat  pertumbuhan masyarakatnya  rendah. Sedangkan pada negara   berkembang atau  miskin  perkembangan ekonominya  lambat dan tingkat  pendidikan dan keterampilan masyarakat umumnya  masih  rendah  dengan  tingkat  pertumbuhan  penduduk yang tinggi.  Fenomena  ini berakibat pada “ sangat  besar  dan semakin bertambahnya  besarnya  perbedaan  ketidak merataan  ekonomi diantara negara-negara  berkembang dan negara-negarsa  sedang  berkembang :.[24]
            Dari  kondisi  di atas sangat  jelas,bahwa  alqur,an memberikan  rangsangan yang  sangat  mendalam kepada  manusia dalam  kapasitas  keummatan  atau negara untuk  merubah  berbagai  keadaan kearah  perbaikan   kondisi ekonomi ummatnya. Tetapi memang pengaruh  dunia  global  ternyata  masih  menjadi  batu halangan yang sangat  berarti, negara-negara  maju seakan akan lebih  ingin mendominasi peradaban dunia dan seakan akan tidak memberikan kesempatan  sekecil  apapun  kepada negera  berkembang untuk keluar  dari kondisi  tersebut.
C. Faktor Manusia dan Masyarakat                                         
Dalam bukunya, Man the  Unknown,  Dr.  A.  Carrel  menjelaskan tentang  kesukaran  yang  dihadapi  untuk  mengetahui  hakikat manusia.   Dia   mengatakan    bahwa    pengetahuan    tentang makhluk-makhluk  hidup secara umum dan manusia khususnya belum lagi mencapai kemajuan seperti yang telah dicapai dalam bidang ilmu pengetahuan lainnya. Selanj utnya ia menulis: “  Sebenarnya manusia telah mencurahkan perhatian dan  usaha yang sangat besar untuk mengetahui dirinya, kendatipun kita memiliki perbendaharaan yang cukup  banyak dari hasil penelitian para ilmuwan, filosof,  sastrawan, dan para ahli di bidang keruhanian  sepanjang masa ini. Tapi kita (manusia) hanya mampu mengetahui beberapa segi tertentu dari diri kita. Kita tidak mengetahui manusia secara utuh. Yang kita   ketahui hanyalah bahwa manusia terdiri dari   bagian-bagian tertentu, dan ini pun pada hakikatnya      dibagi lagi menurut tata cara kita sendiri. Pada      hakikatnya, kebanyakan pertanyaan-pertanyaan yang      diajukan oleh mereka yang mempelajari manusia kepada  diri mereka  hingga kini masih tetap tanpa jawaban.  Keterbatasan   pengetahuan   manusia   tentang   dirinya   itu disebabkan oleh:
1. Perhatian manusia hanya  tertuju pada penyelidikan tentang alam materi.
Jika  kita  perhatikan  redaksi alqur,an  dalam surat Ad-Dukhan  ayat  38 “   Dan   kami  tidak menciptakan langit  dan Bumi  dan apa  yang ada di antara  keduanya  dengan bermain-main. ( QS Ad Dukhan  ayat 38 ).  Maka  sangat  jelas   bahwa  seluruh ciptaan Allah itu  akan  mempunyai  nilai bagi manusia  untuk  mencukupi berbagai  keperluannya.  Ayat ini  adalah  ayat  ekonomi.  Akan tetapi  dalam melihat dan menghadapi hal itu  manusia ada  yang  bersikap syukur dan kufur (kufr ). Dalam penjelasan agama  manusia tridakl mengolah secara  maksimal sumber Daya  yang  ada  baginya.  Padahal  alqur,an sangat  mengharamkan  hal hal yang bersifat  kerusakan  dan melangfgar  hak-hak manusia. “ .... Dan janmganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya  Allah tidak menyukai  orang orang yang  berbuat kerusakan’.(QS Al-Qoshos ayat 77).  [25]  terjadi  beberapa  kesalahn fatal pada  manusia, diantaranya :
Pertama ;  walaupun  manusia  diberi status sebagai kholifah Allah di  bumi ini,  alam raya   diserahkan  untuk digunakannya  dan manusia diberi  potensi untuk melaksanakan tugas tugas kekaholifahannya untuk memakmurkan dunia, namun  manusia  tidak mempunyai  kekuasaan mutlaq dan sewenang wenang dalam mengolah dan memanfaatkan sumber daya alam tanpa  batas.
Kedua ;  Alam  dan segala  isinya  merupakan  satu kesatuan, bila di suatu lingkungan hidup terjadi  suatu gangguan  dan kerusakan  maka  mahluk lain yang ada di lingkungan tersebut akan mengalami gangguan ekosistemnya.
Ketiga ; alam adalah bagian dari diri manusia  dan dengan demikian  harus  bersikap  bersahabat dalam memperlakukannya, dan perusakan terhadap alam  berarti perusakan terhadap  manusia  itu sendiri.[26]
Pada zaman primitif, nenek moyang kita disibukkan untuk   menundukkan atau menjinakkan alam sekitarnya, seperti  upaya membuat senjata-senjata melawan      binatang-binatang buas, penemuan api, pertanian,  peternakan, dan sebagainya sehingga mereka tidak mempunyai waktu luang untuk memikirkan diri mereka sebagai manusia. Demikian pula halnya Pada Zaman Kebangkitan (Renaisans) ketika para ahli digiurkan oleh penemuan-penemuan baru mereka yang disamping menghasilkan keuntungan material, juga menyenangkan  publik secara umum karena penemuan-penemuan tersebut      mempermudah dan memperindah kehidupan ini.     Karena  aalam  memang  di buat  oleh Allah untuk diperuntuksan untuk  manusia dari genertasi ke generasi  hendaknya di jaga  dengan sebaik baiknya. Dalam pertemuan ilmiah di Italia, “ cultural relation for the  future “  dalam hal “ the  limit  Growth “.[27]  
2. Multikompleksnya masalah manusia.
Dari penjelasan di atas,  agamawan  dapat  berkomentar,  bahwa pengetahuan  tentang  manusia  demikian  itu disebabkan karena manusia  adalah  satu-satunya   makhluk   yang   dalam   unsur penciptaannya  terdapat  ruh Ilahi sedang manusia tidak diberi pengetahuan tentang ruh, kecuali sedikit  (QS  Al-Isra'  [17]: 85). Jika  apa  yang  dikemukakan oleh A. Carrel itu diterima, maka satu-satunya jalan untuk mengenal dengan baik  siapa  manusia, adalah  merujuk  kepada wahyu Ilahi, agar kita dapat menemukan jawabannya. Untuk maksud tersebut tentu tidak cukup dengan  hanya  merujuk kepada  satu  dua ayat, tetapi seharusnya merujuk kepada semua ayat  Al-Quran  (atau  paling  tidak  ayat-ayat  pokok)   yang berbicara  tentang  masalah  yang  dibahas, dengan mempelajari konteksnya masing-masing, dan mencari penguat-penguatnya  baik dari  penjelasan  Rasul,  maupun  hakikat-hakikat  ilmiah yang telah mapan. Cara ini dikenal  dalam  disiplin  ilmu  Al-Quran dengan metode maudhu'i (tematis).   Istilah Manusia dalam Al-Quran diungkapkan dengan kata  yang digunakan Al-Quran untuk menunjuk kepada manusia.  
 l. Menggunakan kata dari huruf alif, nun, dan sin, semacam insan, ins, nas, atau unas.     
2. Menggunakan kata Basyar ( al-bashar )  
3. Menggunakan kata Bani Adam, dan zuriyat Adam.
Uraian ini akan mengarahkan  pandangan  secara  khusus  kepada kata basyar dan kata insan. Kata  basyar terambil dari akar kata yang pada mulanya berarti menampakan sesuatu dengan baik dan indah. Dari akar kata  yang sama  lahir  kata basyarah yang berarti kulit. Manusia dinamai basyar karena kulitnya tampak jelas, dan berbeda dengan  kulit binatang yang lain. Al-Quran  menggunakan  kata  ini sebanyak 36 kali dalam bentuk tunggal dan sekali dalam bentuk mutsanna (dual) untuk menunjuk manusia  dari  sudut  lahiriahnya  serta  persamaannya  dengan manusia   seluruhnya.   Karena   itu   Nabi   Muhammad    Saw. diperintahkan untuk menyampaikan bahwa,     Aku adalah basyar (manusia) seperti kamu yang diberi      wahyu (QS Al-Kahf [18]: 110).  Dari sisi lain diamati bahwa banyak  ayat-ayat  Al-Quran  yang menggunakan  kata  basyar  yang  mengisyaratkan  bahwa  proses kejadian manusia sebagai basyar, melalui tahap-tahap  sehingga mencapai tahap kedewasaan.  Dalam Alqur,an di lansir       Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya (Allah)  menciptakan kamu dari tanah, kemudian ketika kamu      menjadi basyar kamu bertebaran (QS Al-Rum [30]: 20). Bertebaran  di  sini  bisa  diartikan  berkembang  biak akibat hubungan seks atau bertebaran mencari rezeki.  Kedua  hal  ini tidak  dilakukan oleh manusia kecuali oleh orang yang memiliki kedewasaan dan tanggung jawab. Karena  itu  pula  Maryam  a.s. mengungkapkan  keheranannya dapat memperoleh anak, padahal dia belum pernah disentuh oleh basyar (manusia dewasa  yang  mampu berhubungan  seks)  (QS Ali 'Imran [3]: 47).
            Demikian  terlihat  basyar  dikaitkan  dengan kedewasaan dalam kehidupan manusia, yang menjadikannya mampu  memikul  tanggung jawab.  Dan  karena  itu  pula,  tugas kekhalifahan dibebankan kepada basyar {perhatikan QS Al-Hijr 115): 28 yang menggunakan kata  basyar), dan QS Al-Baqarah (2): 30 yang menggunakan kata khalifah, yang keduanya mengandung  pemberitaan  Allah  kepada malaikat tentang manusia. Kata  insan  terambil  dari  akar kata uns yang berarti jinak, harmonis, dan tampak. Pendapat ini, jika ditinjau  dari  sudut pandang  Al-Quran  lebih  tepat dari yang berpendapat bahwa ia terambil   dan   kata   nasiya   (lupa),   atau    nasa-yanusu (berguncang).  Kitab  Suci  Al-Quran seperti  tulis  Bint Al-Syathi' dalam Al-Quran wa Qadhaya Al-Insan seringkali memperhadapkan insan dengan  jin/jan.  Jin  adalah makhluk halus yang tidak tampak, sedangkan manusia adalah makhluk yang nyata lagi ramah. Kata insan, digunakan Al-Quran untuk menunjuk  kepada  manusia dengan  seluruh  totalitasnya,  jiwa  dan  raga.  Manusia yang berbeda antara seseorang dengan yang  lain,  akibat  perbedaan fisik, mental, dan kecerdasan. [28]
Masyarakat  itu sendiri  adalah kumpulan sekian banyak individu kecil atau besar-- yang terikat oleh satuan, adat, ritus atau hukum khas, dan  hidup  bersama.  Demikian   satu   dari   sekian   banyak definisinya.  Ada  beberapa kata yang digunakan Al-Quran untuk menunjuk kepada masyarakat atau kumpulan manusia. Antara lain: qawm, ummah, syu'ub, dan qabail. Di samping itu, Al-Quran juga memperkenalkan masyarakat dengan sifat-sifat tertentu, seperti al-mala', al-mustakbirun, al-mustadh'afun, dan lain-lain. Walaupun Al-Quran bukan kitab ilmiah --dalam pengertian umum-- namun  Kitab  Suci  ini  banyak   sekali   berbicara   tentang masyarakat.  Ini disebabkan karena fungsi utama Kitab Suci ini adalah mendorong lahirnya  perubahan-perubahan  positif  dalam masyarakat,  atau  dalam  istilah  Al-Quran: litukhrija an-nas minazh-zhulumati ilan nur  (mengeluarkan  manusia  dari  gelap gulita  menuju  cahaya  terang  benderang). Dengan alasan yang sama,  dapat  dipahami  mengapa  Kitab  Suci  umat  Islam  ini memperkenalkan sekian banyak hukum-hukum yang berkaitan dengan bangun runtuhnya suatu  masyarakat.  Bahkan  tidak  berlebihan jika  dikatakan  bahwa  Al-Quran  merupakan  buku pertama yang memperkenalkan hukum-hukum kemasyarakatan.   Manusia adalah "makhluk sosial". Ayat kedua dari wahyu pertama yang diterima Nabi Muhammad Saw., dapat dipahami sebagai salah satu ayat yang menjelaskan hal tersebut.  Khalaqal  insan  min 'alaq  bukan  saja diartikan sebagai "menciptakan manusia dari segumpal  darah"  atau  "sesuatu  yang  berdempet  di  dinding rahim", tetapi juga dapat dipahami sebagai "diciptakan dinding dalam keadaan selalu bergantung kepada pihak lain  atau  tidak dapat hidup sendiri." Ayat lain dalam konteks ini adalah surat Al-Hujurat  ayat  13.  Dalam  ayat   tersebut   secara   tegas dinyatakan  bahwa  manusia  diciptakan terdiri dari lelaki dan perempuan,  bersuku-suku  dan  berbangsa-bangsa,  agar  mereka saling   mengenal.  Dengan  demikian  dapat  dikatakan  bahwa, menurut Al-Quran, manusia secara fitri adalah  makhluk  sosial dan   hidup  bermasyarakat  merupakan  satu  keniscayaan  bagi mereka.   Tingkat  kecerdasan,  kemampuan,  dan  status  sosial  manusia menurut Al-Quran berbeda-beda:      Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami      yang membagi antara mereka penghidupan mereka dalam      kehidupan dunia ini. Dan Kami telah meninggikan      sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa      tingkat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan      sebagian yang lain, dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari      apa yang mereka kumpulkan (0S Al-Zukhruf [43]: 32). [29]
            Masyarakat  itu  sendiri  adalah bagian bagian kecil dari  ummat,  demikian  dalam pandangan  Islam. Dalam Kamus Besar  Bahasa  Indonesia,  kata  "umat"  diartikan sebagai:
(1) para penganut atau pengikut suatu agama
(2) makhluk manusia 
Dalam beberapa ensiklopedi,  kata  tersebut  diartikan  dengan berbagai  arti.  Ada  yang  memahaminya sebagai bangsa seperti keterangan Ensiklopedi Filsafat  yang  ditulis  oleh  sejumlah Akademisi  Rusia,  dan diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh Samir Karam, Beirut  1974  M;  ada  juga  yang  mengartikannya negara  seperti  dalam Al-Mu'jam Al-Falsafi, yang disusun oleh Majma' Al-Lughah Al-'Arabiyah (Pusat Bahasa Arab), Kairo 1979.[30]
Pengertian-pengertian seperti yang telah diungkapkan  di  atas dapat  mengakibatkan kerancuan pemahaman terhadap konsep ummat yang ada dalam Al-Quran. Bahkan, bisa jadi,  akan  menimbulkan kesalahpahaman di kalangan umat Islam sendiri. Kata  ummat  terambil  dari  kata [tulisan arab] (amma-yaummu) Yang berarti menuju, menumpu, dan meneladani. Dari  akar  yang sama,  lahir  antara  lain kata um yang berarti "ibu" dan imam yang maknanya "pemimpin";  karena  keduanya  menjadi  teladan, tumpuan pandangan, dan harapan anggota masyarakat. Pakar-pakar  bahasa  berbeda  pendapat  tentang jumlah anggota satu umat. Ada yang merujuk ke riwayat yang dinisbahkan kepada Nabi Saw. bahwa beliau bersabda,  Tidak seorang mayat pun yang dishalatkan oleh umat  dari kaum Muslim sebanyak seratus orang, dan memohonkan kepada Allah agar diampuni, kecuali  diampuni oleh-Nya (HR An-Nasa'i).
 Ada juga yang mengatakan bahwa, angka empat puluh  sudah  bisa disebut  umat.  Pakar  hadis An-Nasa'i yang meriwayatkan hadis serupa menyatakan bahwa Abu Al-Malih ditanyai  tentang  jumlah orang yang shalat itu, dan menjawab, "Empat puluh orang." Kalau   kita   merujuk  kepada  Al-Quran,  agaknya  penjelasan Ar-Raghib dapat dipertanggungjawabkan. Pakar bahasa Al-Quran itu (w.  508  H/1108  M)  dalam  bukunya Al-Mufradat  fi  Gharib  Al-Qur'an, menjelaskan bahwa kata ini didefinisikan  sebagai  semua  kelompok  yang  dihimpun   oleh sesuatu,  seperti  agama,  waktu,  atau tempat yang sama, baik penghimpunannya secara terpaksa maupun atas kehendak mereka. 
Secara tegas Al-Quran dan  hadis  tidak  membatasi  pengertian umat hanya pada kelompok manusia.  Dan tidaklah binatang-binatang yang ada di bumi, dan     burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya   kecuali umat-umat juga seperti kamu (QS Al-An'am [6]:      38).
 Kata  umat  tidak  hanya  digunakan untuk manusia-manusia yang taat beragama, karena  dalam  sebuah  hadis  dinyatakan  bahwa Rasul Saw. bersabda,     "Semua umatku masuk surga, kecuali yang enggan."  Beliau ditanyai, "Siapa yang enggan itu?" Dõjawabnya,      "Siapa yang taat kepadaku dia akan masuk surga, dan     yang durhaka maka ia telah enggan" (HR Bukhari melalui  Abu Hurairah).
 Kata  ummat  dalam bentuk tunggal terulang lima puluh dua kali dalam Al-Quran. Ad-Damighani menyebutkan sembilan  arti  untuk kata itu, yaitu, kelompok, agama (tauhid), waktu yang panjang, kaum, pemimpin, generasi lalu, umat Islam, orang-orang  kafir, dan manusia seluruhnya.  Benang  merah  yang  menggabungkan  makna-makna di atas adalah "himpunan". Sesungguhnya umatmu ini (agama tauhid) adalah umat (agama) yang satu, dan Aku adalah Tuhanmu, maka      sembahlah Aku (QS Al-Anbiya' [21]: 92).
 Dalam kata "umat" terselip makna-makna yang cukup dalam.  Umat mengandung  arti gerak dinamis, arah, waktu, jalan yang jelas, serta gaya dan cara hidup. Untuk menuju pada satu arah,  harus jelas jalannya, serta harus bergerak maju dengan gaya dan cara tertentu, dan pada saat  yang  sama  membutuhkan  waktu  untuk mencapainya.  Al-Quran  surat  Yusuf (12): 45 menggunakan kata umat untuk arti waktu. Sedangkan  surat  Al-Zukhruf  (43):  22
D.Faktor  Produksi dan Reproduksi Manusia
            Al-Quran menguraikan produksi dan reproduksi  manusia.  Ketika berbicara   tentang   penciptaan   manusia  pertama,  Al-Quran menunjuk kepada sang  Pencipta  dengan  menggunakan  pengganti nama berbentuk tunggal Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dan tanah      (QS Shad [38]: 71).
           Apa yang menghalangi kamu (iblis) sujud kepada apa      yang Aku ciptakan dengan kedua tangan-Ku? (0S Shad      [38]: 75). Tetapi ketika  berbicara  tentang  reproduksi  manusia  secara umum,  Yang  Maha  Pencipta ditunjuk dengan menggunakan bentuk jamak. Demikian kesimpulan kita  kalau  membaca  surat  At-Tin ayat 4:  “ Sesungguhnya Kami telah menjadikan manusia dalam      bentuk yang sebaik-baiknya. “.
            Ha1 itu untuk menunjukkan perbedaan  proses  kejadian  manusia secara  umum  dan proses kejadian Adam a.s. Penciptaan manusia secara  umum,  melalui  proses  keterlibatan   Tuhan   bersama selain-Nya,  yaitu  ibu  dan bapak. Keterlibatan ibu dan bapak mempunyai pengaruh menyangkut bentuk fisik  dan  psikis  anak, sedangkan  dalam  penciptaan Adam, tidak terdapat keterlibatan pihak lain termasuk ibu dan bapak. Al-Quran tidak menguraikan secara rinci proses kejadian  Adam, eh  mayoritas  ulama  dinamai  manusia  pertama.  Yang disampaikannya dalam konteks ini hanya:
  a. Bahan awal manusia adalah tanah.       
  b. Bahan tersebut disempurnakan.      
  c. Setelah proses penyempurnaannya selesai, ditiupkan kepadanya ruh Ilahi. (QS Al-Hijr [15]: 28-29; Shad      [38]: 71-72).
            Apa dan bagaimana penyempurnaan  itu,  tidak  disinggung  oleh Al-Quran.  Dari  sini,  terdapat sekian banyak cendekiawan dan ulama Islam, jauh sebelum Darwin yang  melakukan  penyelidikan dan  analisis  sehingga berkesimpulan bahwa manusia diciptakan melalui  fase   atau   evolusi   tertentu,   dan   bahwa   ada tingkat-tingkat  tertentu  menyangkut ciptaan Allah. Nama-nama seperti Al-Farabi (783-950 M), Ibnu Miskawaih (Wafat 1030  M), Muhammad  bin  Syakir  Al-Kutubi  (1287- 1363 M), Ibnu Khaldun (1332-1406 M) dapat disebut sebagai tokoh-tokoh paham  evolusi sebelum  lahirnya  teori  evolusi  Darwin (1804-1872 M). Perlu ditambahkan  bahwa  kesimpulan  ulama-ulama   tersebut   tidak sepenuhnya  sama  dalam  rincian teori evolusi yang dirumuskan oleh Darwin.
Dari sini pula dapat dimengerti  uraian  pakar  tafsir  Syaikh Muhammad  Abduh  yang menyatakan bahwa seandainya teori Darwin tentang   proses   penciptaan   manusia    dapat    dibuktikan kebenarannya   secara  ilmiah,  maka  tidak  ada  alasan  dari Al-Quran untuk menolaknya. Al-Quran hanya  menguraikan  proses pertama,  pertengahan,  dan  akhir.  Apa  yang  terjadi antara proses pertama dan pertengahan, serta antara  pertengahan  dan akhir, tidak dijelaskannya Abbas  Al-Aqad,  seorang  ilmuwan dan ulama Mesir kontemporer, dalam bukunya Al-Insan fi Al-Quran  ( Manusia  dalam  Al-Quran) mempersilakan  setiap  muslim,  untuk menerima atau menolak teori itu-- berdasarkan penelitian  ilmiah,  tanpa  melibatkan Al-Quran  sedikit  pun, karena Al-Quran tidak berbicara secara ci tentang proses kejadian manusia pertama.
E.Faktor  Potensi Manusia
 Yang banyak dibicarakan oleh Al-Quran tentang  manusia  adalah  sifat-sifat  dan  potensinya.  Dalam hal ini, ditemukan sekian ayat yang memuji dan memuliakan  manusia,  seperti  pernyataan tentang  terciptanya  manusia  dalam  bentuk  dan keadaan yang sebaik-baiknya (QS Al-Tin  [95]:  5),  dan  penegasan  tentang dimuliakannya   makhluk   ini   dibanding   dengan  kebanyakan makhluk-makhluk Allah yang lain (QS Al-Isra' [17]: 70) Tetapi, di  samping  itu  sering  pula  manusia  mendapat celaan Tuhan karena ia amat aniaya dan mengingkari nikmat (QS Ibrahlm [14]: 34),  sangat  banyak  membantah  (QS  Al-Kahf  [18]:  54), dan bersifat keluh kesah lagi kikir (QS Al-Ma'arij [70]: l9),  dan masih banyak lagi lainnya. 
Ini  bukan  berarti bahwa ayat-ayat Al-Quran bertentangan satu dengan lainnya, akan  tetapi  ayat-ayat  tersebut  menunjukkan beberapa  kelemahan manusia yang harus dihindarinya. Disamping menunjukkan bahwa makhluk ini  mempunyai  potensi  (kesediaan) untuk  menempati  tempat  tertinggi  sehingga ia terpuji, atau berada di tempat yang rendah sehingga ia tercela.   Seperti  dikemukakan  di  atas,  Al-Quran  menjelaskan   bahwa manusia diciptakan dari tanah dan setelah sempurna kejadiannya dihembuskanlah kepadanya Ruh Ilahi (QS Shad [38]: 71-72)   
Dari sini jelas bahwa manusia  merupakan  kesatuan  dua  unsur pokok, yang tidak dapat dipisahkan karena bila dipisahkan maka ia bukan manusia lagi. Sebagaimana halnya air  yang  merupakan perpaduan   antara  oksigen  dan  hidrogen  dalam  kadar-kadar tertentu. Bila kadar oksigen dan hidrogennya dipisahkan,  maka ia tidak akan menjadi air lagi.
  Potensi  manusia  dijelaskan oleh Al-Quran antara lain melalui kisah Adam dan Hawa (QS Al-Baqarah [2]: 30-39).  Dalam ayat itu dijelaskan bahwa sebelum kejadian  Adam,  Allah telah   merencanakan   agar  manusia  memikul  tanggung  jawab kekhalifahan di bumi. Untuk maksud tersebut di  samping  tanah (jasmani)  dan  Ruh  Ilahi  (akal  dan  ruhani),  makhluk  ini dianugerahi pula:
a. Potensi untuk mengetahui nama dan fungsi benda-benda alam.
 Dari  sini  dapat  ditarik  kesimpulan  bahwa  manusia  adalah makhluk   yang   berkemampuan  untuk  menyusun  konsep-konsep, mencipta,  mengembangkan,  dan  mengemukakan  gagasan,   serta melaksanakannya.  Potensi  ini adalah bukti yang membungkamkan malaikat, yang tadinya merasa wajar untuk  dijadikan  khalifah di bumi, dan karenanya mereka bersedia sujud kepada Adam.  
b. pengalaman hidup di surga, baik yang berkaitan    dengan kecukupan dan kenikmatannya, maupun rayuan    Iblis dan akibat buruknya.   Pengalaman di  surga  adalah  arah  yang  harus  dituju  dalam membangun  dunia  ini,  kecukupan  sandang, pangan, dan papan, serta rasa aman terpenuhi (QS Thaha [20]: 116-ll9),  sekaligus arah  terakhir  bagi  kehidupannya di akhirat kelak. Sedangkan godaan Iblis, dengan akibat  yang  sangat  fatal  itu,  adalah pengalaman yang amat berharga dalam menghadapi rayuan Iblis di dunia, sekaligus peringatan bahwa jangankan yang belum  masuk, yang  sudah  masuk ke surga pun, bila mengikuti rayuannya akan terusir.
c.Petunjuk-petunjuk keagamaan.  
Masih banyak ayat-ayat lain  yang  dapat  dikemukakan  tentang sifat dan potensi manusia serta arah yang harus ia tuju.   Dari  kitab  suci Al-Quran dan hadis-hadis Nabi Saw. diperoleh informasi  serta  isyarat-isyarat  yang   boleh   jadi   dapat mengungkap  sebagian  misteri  makhluk  ini.  Namun  demikian, pemahaman atau informasi  dan  isyarat  tersebut  tidak  dapat dilepaskan  dari  subjektivitas  manusia,  sehingga  ia  tetap mengandung kemungkinan benar atau salah, seperti  halnya  yang dikemukakan oleh tulisan ini.   Secara  tegas  Al-Quran  mengemukakan  bahwa  manusia  pertama diciptakan dari tanah dan Ruh Ilahi melalui proses yang  tidak dijelaskan  rinciannya, sedangkan reproduksi manusia, walaupun dikemukakan tahapan-tahapannya, namun tahapan  tersebut  lebih  banyak berkaitan dengan unsur tanahnya.   Isyarat  yang  menyangkut  unsur  immaterial, ditemukan antara lain dalam uraian tentang sifat-sifat manusia, dan dari uraian tentang  fithrah,  nafs,  qalb, dan ruh yang menghiasi makhluk manusia.  Berikut  dicoba   untuk   memahami   istilah-istilah tersebut.
F.Faktor Potensi  Fithrah
Dari  segi  bahasa,  kata  fithrah  terambil  dari  akar  kata al-fathr  yang  berarti  belahan,  dan  dari  makna  ini lahir makna-makna lain antara lain "penciptaan" atau "kejadian".  Konon sahabat Nabi, Ibnu Abbas tidak tahu  persis  makna  kata fathir pada ayat-ayat yang berbicara tentang penciptaan langit dan bumi sampai ia mendengar pertengkaran  tentan  kepemilikan satu  sumur.  Salah  seorang  berkata, "Ana fathar tuhu". Ibnu Abbas memahami kalimat ini dalam arti, "Saya  yang  membuatnya pertama  kali."  Dan  dari situ Ibnu Abbas memahami bahwa kata ini digunakan untuk penciptaan atau kejadian sejak awal.  Fithrah manusia adalah kejadiannya sejak  semula  atau  bawaan sejak lahirnya.   Dalam  Al-Quran  kata  ini  dalam  berbagai bentuknya terulang sebanyak dua puluh delapan kali, empat belas diantaranya dalam konteks  uraian  tentang  bumi  dan atau langit. Sisanya dalam konteks penciptaan manusia  baik  dari  sisi  pengakuan  bahwa penciptanya  adalah  Allah,  maupun  dari  segi uraian tentang fitrah manusia. Yang terakhir ini ditemukan sekali yaitu  pada surat Al-Rum ayat 30:  “Maka  hadapkanlah wajahmu kepada agama, (pilihan) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia  atas  fitrah  itu.  Tidak  ada perubahan  pada  fitrah Allah. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya.   Merujuk kepada fitrah yang dikemukakan di atas, dapat  ditarik kesimpulan  bahwa  manusia  sejak  asal  kejadiannya,  membawa potensi beragama yang lurus,  dan  dipahami  oleh  para  ulama sebagai tauhid “.Selanjutnya  dipahami  juga,  bahwa  fitrah  adalah bagian dan khalq (penciptaan) Allah.   Kalau kita memahami kata la  pada  ayat  tersebut  dalam  arti "tidak",   maka   ini  berarti  bahwa  seseorang  tidak  dapat menghindar dari fitrah itu. Dalam konteks ayat ini, ia berarti bahwa  fitrah  keagamaan  akan melekat pada diri manusia untuk selama  lamanya,  walaupun  boleh  jadi  tidak   diakui   atau diabaikannya. Tetapi  apakah  fitrah  manusia  hanya  terbatas  pada  fitrah keagamaan? Jelas tidak. Bukan saja  karena  redaksi  ayat  ini tidak  dalam  bentuk  pembatasan  tetapi juga karena masih ada ayat-ayat lain yang membicarakan  tentang  penciptann  potensi manusia  walaupun  tidak  menggunakan  kata  fitrah, seperti misalnya:    Telah dihiaskan kepada manusia kecenderungan hati      kepada perempuan (atau lelaki), anak lelaki (dari      perempuan), serta harta yang banyak berupa emas,      perak, kuda pilihan, binatang ternak dan sawah ladang      (QS Ali 'Imran [3]: 14).
            Karena itu agaknya tepat kesimpulan Muhammad bin  Asyur  dalam tafsirnya  tentang  surat  Al-Rum  (30):  30,  yang menyatakan bahwa:        Fitrah adalah bentuk dan sistem yang diwujudkan Allah      pada setiap makhluk. Fitrah yang berkaitan dengan      manusia adalah apa yang diciptakan Allah pada manusia      yang berkaitan dengan jasmani dan akalnya (serta ruhnya). Manusia berjalan dengan  kakinya  adalah  fitrah  jasadiahnya, sementara  menarik  kesimpulan  melalui  premis-premis  adalah fitrah  akliahnya.  Senang  menerima  nikmat  dan  sedih  bila ditimpa musibah juga adalah fitrahnya.  
a.      Fitrah  pada  unsur Nafs
Kata   nafs  dalam  Al-Quran  mempunyai  aneka  makna,  sekali diartikan  sebagai  totalitas  manusia,  seperti  antara  lain maksud  surat  Al-Maidah  ayat  32,  di  kali lain ia menunjuk kepada apa yang terdapat dalam diri manusia yang  menghasilkan tingkah laku seperti maksud kandungan firman Allah. Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan satu  masyarakat, sehingga mereka mengubah apa yang terdapat      dalam diri mereka (QS Al-Ra'd [13]: 11)   Kata nafs digunakan juga untuk menunjuk kepada  "diri  Tuhaan" (kalau  istilah  ini dapat diterima), seperti dalam firman-Nya dalam surat Al-An'am {6): 19: Allah mewajibkan atas diri-Nya menganugerahkan rahmat. Secara  umum  dapat  dikatakan  bahwa   nafs   dalam   konteks pembicaraan   tentang  manusia,  menunjuk  kepada  sisi  dalam manusia yang berpotensi baik dan buruk. Dalam pandangan Al-Quran, nafs diciptakan Allah dalam  keadaan sempurna  untuk  berfungsi  menampung  serta mendorong manusia berbuat kebaikan dar1 keburukan, dan  karena  itu  sisi  dalam manusia  inilah  yang  oleh  Al-Quran  dianjurkan untuk diberi perhatian lebih besar.  Demi nafs serta penyempurnaan ciptaan, Allah      mengilhamkan kepadanya kefasikan dan ketakwann (QS      Al-Syams [91]: 7-8).
Mengilhamkan berarti memberi potensi agar manusia melalui nafs dapat menangkap makna baik dan buruk, serta dapat mendorongnya untuk melakukan kebaikan dan keburukan.  Di sini antara lain terlihat  perbedaan  pengertian  kata  ini menurut  Al-Quran  dengan  terminologi  kaum  sufi,  yang oleh Al-Qusyairi dalam risalahnya  dinyatakan  bahwa,  "Nafs  dalam pengertian  kaum  sufi  adalah  sesuatu  yang melahirkan sifat tercela dan perilaku buruk." Pengertian  kaum  sufi  ini  sama dengan  penjelasan  Kamus  Besar Bahasa Indonesia, yang antara lain, menjelaskan arti kata nafsu, sebagai "dorongan hati yang kuat untuk berbuat kurang baik".  
Walaupun Al-Quran menegaskan bahwa nafs berpotensi positif dan negatif, namun diperoleh pula isyarat  bahwa  pada  hakikatnya potensi  positif  manusia  lebih kuat dari potensi negatifnya, hanya saja daya tarik keburukan lebih  kuat  dari  daya  tarik kebaikan. Karena itu manusia dituntut agar memelihara kesucian nafs, dan tidak mengotorinya,      Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang      menyucikannya dan merugilah orang-orang yang   mengotorinya (QS Al-Syams [91]: 9-10)
Bahwa kecenderungannya kepada  kebaikan  lebih  kuat  dipahami dari isyarat beberapa ayat, antara lain firman-Nya: Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai      dengan kesanggupannya. Nafs memperoleh ganjaran dan  apa yang diusahakannya, dan memperoleh siksa dari apa      yang diusahakannya (QS Al-Baqarah [2]: 286)
Kata kasabat yang dalam ayat di  atas  menunjuk  kepada  usaha baik   sehingga   memperoleh   ganjaran,  adalah  patron  yang digunakan  bahasa  Arab  untuk  menggambarkan  pekerjaan  yang dilakukan dengan mudah, sedangkan iktasabat adalah patron yang digunakan untuk menunjuk kepada hal-hal yang sulit lagi berat. Ini  --menurut  pakar Al-Quran Muhammad Abduh-- mengisyaratkan bahwa nafs pada hakikatnya lebih mudah melakukan hal-hal  yang baik   daripada   melakukan  kejahatan,  dan  pada  gilirannya mengisyaratkan bahwa manusia pada  dasarnya  diciptakan  Allah untuk melakukan kebaikan.    Ayat   lain  yang  sejalan  dengan  isyarat  di  atas,  adalah firman-Nya     Wahai manusia! Apa yang memperdayakanmu (berbuat dosa)      terhadap Tuhanmu yang telah menciptakan engkau,menyempurnakan kejadianmu, dan menjadikan engkau "adil" (seimbang atau cenderung kepada keadilan) (QS      Al-Infithar [82): 6-7).
            Kata "menjadikan engkau adil" dipahami  oleh  sementara  pakar seperti Yusuf Ali sebagai kecenderungan berbuat adil. Pendapat ini cukup beralasan,  karena  dengan  pemahaman  semacam  itu, menjadi   amat  lurus  kecaman  Allah  terhadap  manusia  yang mendurhakainya.   Al-Quran  juga  mengisyaratkan   keanekaragaman   nafs   serta peringkat-peringkatnya,  secara  eksplisit  disebutkan tentang an-nafs al-lawamah, ammarah, dan muthmainnah.Di sisi lain  ditemukan  pula  isyarat  bahwa  nafs  merupakan wadah.Firman  Allah  dalam surat Al-Ra'd (13): 11 yang dikutip di atas, mengisyaratkan  bahwa  nafs  menampung  paling  tidak gagasan dan  kemauan.  Suatu kaum tidak dapat berubah  keadaan lahiriahnya, sebelum mereka mengubah lebih dulu apa  yang  ada dalam  wadah  nafs-nya.  Yang  ada  di sini antara lain adalah gagasan dan kemauan atau tekad  untuk  berubah.  Gagasan  yang benar,  yang disertai dengan kemauan satu kelompok masyarakat, dapat mengubah keadaan masyarakat  itu.  Tetapi  gagasan  saja tanpa  kemauan,  atau  kemauan  saja  tanpa gagasan tidak akan menghasilkan perubahan. Yang terdapat dalam wadah nafs bukan hanya gagasan dan kemauan yang disadari manusia, tetapi juga menampung sekian banyak hal lainnya, bahkan boleh jadi ada hal-hal yang sudah hilang  dari ingatan pemiliknya. Al-Quran mengisyaratkan hal tersebut, Dan jika kamu mengeraskan ucapanmu, maka sesungguh nya  Dia mengetahui rahasia dan yang lebih tersembunyi (QS     Thaha [20]: 7). Yang lebih tersembunyi dan rahasia adalah yang terdapat  dalam "bawah sadar manusia", sedangkan yang tersembunyi adalah "yang disadari manusia namun dirahasiakannya." Khalifah keempat Ali bin Abi Thalib pernah berkata: Tidak seorangpun menyembunyikan sesuatu kecuali tampak  pada salah ucapnya atau air mukanya.   Apa yang ada dalam nafs dapat juga muncul  dalam  mimpi,  yang oleh  Al-Quran  pada  garis  besarnya  dibagi dalam dua bagian pokok.  Pertamaa  dinamainya  ru'ya   dan   kedua   dinamainya adhghatsu  ahlam.  Yang pertama dipahami sebagai gambaran atau simbol dari peristiwa yang telah, sedang, atau  akan  dialami, dan   yang   belum  atau  tidak  terlintas  dalam  benak  yang memimpikannya. Yang kedua lahir dan keresahan  atau  perhatian manusia  terhadap  sesuatu  dan  hal-hal  yang telah berada di bawah sadarnya.  
b. Fitrah  pada  Unsur  Qalb
  Kata qalb terambil  dari  akar  kata  yang  bermakna  membalik karena  seringkali  ia  berbolak-balik,  sekali  senang sekali susah, sekali setuju dan sekali menolak. qa1b amat  berpotensi untuk  tidak  konsisten.  Al-Quran pun menggambarkan demikian, ada yang baik, ada pula sebaliknya. Berikut beberapa contoh.
             a. Sesungguhnya yang demikian itu benar-benar terdapat      peringatan bagi orang-orang yang memiliki kalbu, atau      yang mencurahkan pendengaran lagi menjadi saks~ (QS      Qaf [50]: 37)
             b. Kami jadikan dalam kalbu orang-orang yang mengikuti      (Isa a.s ) kasih sagang dan rahmat (QS Al-Hadid [57]:
              c. Kami akan mencampakkan ke dalam hati orang-orang      kafir rasa takut (QS Ali 'Imran [3]: 151).
             d. Dia (Allah) menjadikan kamu cinta kepada keimanan,      dan menghiasinya indah dalam kalbumu (QS Al-Hujurat      [49]: 7).
Dari ayat-ayat di atas terlihat bahwa kalbu adalah wadah  dari pengajaran,  kasih sayang, takut, dan keimanan. Dari isi kalbu yang  dijelaskan  oleh  ayat-ayat  di  atas   (demikian   juga ayat-ayat  lainnya),  dapat  ditarik  kesimpulan  bahwa  kalbu memang menampung hal-hal yang disadari  oleh  pemiliknya.  Ini merupakan salah satu perbedaan antara kalbu dan nafs. Bukankah seperti yang dinyatakan sebelumnya bahwa  nafs  menampung  apa yang  berada  di  bawah  sadar,  dan  atau  sesuatu yang tidak diingat lagi?   Dari  sini  dapat  dipahami  mengapa   yang   dituntut   untuk dipertanggungiawabkan hanya isi kalbu bukan isi nafs,   Allah menuntut tanggungjawab kau menyangkut apa yang      dilakukan oleh kalbu kamu (95 Al-Baqarah [2]: 225).  
Namun dinyatakan bahwa, Allah lebih mengetahui (dari kamu sendiri) apa yang      terdapat dalam nafs (diri kamu) (QS Al-Isra' [17]: 25)   Di sisi lain seperti dikemukakan di atas,  bahwa  nafs  adalah "sisi  dalam"  manusia,  kalbu  pun demikian, hanya saja kalbu berada dalam satu kotak tersendiri  yang  berada  dalam  kotak  besar nafs.   Dalam keadaannya sebagai kotak, maka tentu saja ia dapat diisi dan atau diambil isinya, seperti  yang  digambarkan  ayat-ayat berikut ini: Kami cabut apa yang terdapat dalam kalbu mereka rasa      iri, sehingga mereka semua merasa bersaudara duduk      berhadap-hadapan di atas dipan-dipan (QS Al-Hijr [15]:      47)
       Belum lagi masuk keimanan ke dalam kalbu kamu (QS      Al-Hujurat [49]: 14).   Bahkan Al-Quran menggambarkan bahwa ada  kalbu  yang  disegel: Allah telah mengunci mati kalbu mereka (QS Al-Baqarah [2]: 7), sehingga wajar jika Al-Quran menyatakan bahwa ada  kunci-kunci penutup   kalbu  (QS  Muhammad  [47]:24).  Wadah  kalbu  dapat diperbesar, diperkecil, atau dipersempit. Ia diperlebar dengan amal-amal  kebajikan  serta  olah  jiwa.  Al-Quran mengatakan, "mereka itulah yang diperluas kalbunya untuk menampung  takwa" (QS  Al-Hujurat  [49]:  3).  Bukankah  kami  telah  memperluas dadamu? (QS Alam Nasyrah [94]: 1). Dan siapa yang  dikehendaki Allah kesesatannya, Dia menjadikan dada (kalbu)nya sempit lagi sesak (QS Al-An'am [6]: 125).Perlu ditambahkan bahwa Al-Quran --sesuai dengan kaidah bahasa Arab--   seringkali  menggunakan  bagian  dari  sesuatu  untuk menunjuk  keseluruhan  bagian-bagiannya,  seperti  menggunakan kata sujud dalam arti shalat yang mencakup berdiri, rukuk, dan lain-lain.  Al-Quran  juga   biasa   menyebut   sesuatu   yang menggambarkan  keseluruhan bagian-bagian, tetapi yang dimaksud hanyalah  salah  satu  bagiannya  seperti  firman-Nya  "mereka memasukkan   jari-jari   mereka   ke   dalam  telinganya"  (QS Al-Baqarah [2]:  19)  dalam  arti  ujung  jari-jari.  Al-Quran terkadang  menggunakan  kata nafs dalam arti kalbu. Biasa juga menyebut tempat sesuatu tetapi yang  dimaksud  adalah  isinya, seperti  "tanyakanlah  kampung"  (QS  Yusuf  [12]:  82),  yang dimaksud adalah penghuninya, demikian seterusnya.   Kata dada dalam ayat di atas adalah tempat kalbu sebagai  mana ditegaskan “Sesungguhnya bukan mata yang buta, tetapi kalbu yang      berada di dalam dada (QS Al-Hajj [22]: 46).
Dalam beberapa ayat,  kata  qalb  yang  merupakan  wadah  itu, dipahami  dalam  arti  "alat" seperti dalam firman-Nya: Mereka mempunyai kalbu, tetapi tidak  dõgunakan  untuk  memahami  (QS Al-A'raf [7]: 179). Kalbu sebagai alat, dilukiskan pula dengan fu'ad (seperti dalam firman-Nya: Allah mengeluarkan  kamu  dan perut  ibumu  da1am keadaan tidak mengetahui sesuatu. Maka Dia memberikanmu (alat-alat) pendengaran, (alat-alat) penglihatan, serta  (banyak) hati agar kamu bersyukur (menggunakannya untuk memperoleh pengetahuan) (QS Al-Nahl [16]: 78). Membersihkan kalbu, adalah salah satu  cara  untuk  memperoleh pengetahuan.  Imam  Al-Ghazali  memberi  contoh mengenai kalbu sebagai wadah pengetahuan, serta cara mengisinya. "Kalau  kita membayangkan  satu  kolam  yang  digali  di  tanah, maka untuk mengisinya  dapat  dilakukan  dengan  mengalirkan  air  sungai  dari  atas ke  dalam  kolam  itu. Tetapi bisa juga dengan menggali dan menyisihkan tanah yang menutupi  mata  air.  Jika itu dilakukan, maka air akan mengalir dari bawah ke atas untuk memenuhi kolam, dan air itu, jauh lebih jernih dari air sungai yang  mengalir  dari  atas.  Kolam  adalah  kalbu,  air adalah pengetahuan, sungai adalah pancaindera dan eksperimen.  Sungai (pancaindera)  dapat dibendung atau ditutup, selama tanah yang berada di kolam (kalbu)  dibersihkan  agar  air  (pengetahuan) dari mata air memancar ke atas (kolam).Al-Quran  juga  menegaskan  bahwa  Allah Swt. dapat mendinding manusia dengan kalbunya.  Dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah mendinding      antara manusia dan hatinya (0S Al-Anfal [8]: 24).   Salah satu makna ayat ini adalah bahwa Allah  menguasai  kalbu manusia,   sehingga   mereka  yang  merasakan  kegundahan  dan kesulitan  dapat  bermohon  kepada-Nya   untuk   menghilangkan kerisauan dan penyakit kalbu yang dideritanya. Ayat ini sangat berkaitan dengan firman-Nya dalam Al-Ra'd (13): 28:   Sesungguhnya hanya dengan mengingat Allah hati akan  tenteram.Demikian sekelumit  dari  pengertian  dan  peranan  hati  yang diperoleh dari isyarat-isyarat Al-Quran.  
b.      Fitrah  pada  Unsur Ruh
Berbicara  tentang  ruh,  Al-Quran  mengingatkan   kita   akan firman-Nya:  
     Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah,      "Ruh adalah urusan Tuhan-Ku, kamu tidak diberi ilmu      kecuali sedikit" (QS Al-Isra' [17]: 85)   Apa yang dimaksud  dengan  pertanyaan  tentang  ruh  di  sini? Apakah  substansinya?  Kekekalan atau kefanaannya, kebahagiaan atau  kesengsaraannya?  Tidak  jelas.  Selain  itu,  apa  yang dimaksud dengan "kamu tidak diberi ilmu kecuali sedikit"? Yang sedikit itu apa? Apakah yang berkaitan  dengan  ruh?  Sehingga ada  informasi sedikit tentang ruh, misalnya gejala-gejalanya? Ataukah "yang sedikit itu" adalah ilmu pengetahuan kita, tidak termasuk di dalamnya ruh, karena ilmu kita hanya sedikit Yang   menambah  sulitnya  persoalan  adalah  bahwa  kata  ruh terulang di dalam  Al-Quran  sebanyak  dua  puluh  empat  kali dengan  berbagai  konteks  dan berbagai makna, dan tidak semua berkaitan  dengan  manusia.  Dalam  surat  Al-Qadar   misalnya dibicarakan  tentang  turunnya  malaikat  dan  ruh  pada malam Lailat Al-Qadr. Ada  juga  uraian  tentang  ruh  yang  membawa Al-Quran.
Kata ruh yang dikaitkan dengan manusia juga dalam konteks yang bermacam-macam, ada  yang  hanya  dianugerahkan  Allah  kepada manusia pilihan-Nya (QS Al-Mu'min [40]: 15) yang dipahami oleh sementara pakar sebagai wahyu yang dibawa malaikat Jibril, ada juga  yang  dianugerahkannya  kepada  orang-orang  Mukmin  (QS Al-Mujadilah [58]: 22) dan di sini dipahami  sebagai  dukungan dan  peneguhan  hati  atau  kekuatan  batin; dan ada juga yang dianugerahkannya kepada seluruh manusia, Kemudian Kuhembuskan kepadanya dan ruh-Ku.
 Apakah  di  sini  dia  berarti  nyawa?  Ada  yang  berpendapat demikian,  ada  juga  yang  menolak pendapat ini, karena dalam Surat Al-Mu'minun dijelaskan  bahwa  dengan  ditiupkannya  ruh maka  menjadilah  makhluk ini khalq akhar (makhluk yang unik), yang berbeda dari makhluk lain. Sedangkan nyawa juga  dimiliki oleh  orang  utan,  misalnya. Kalau demikian nyaa bukan unsur yang menjadikan manusia makhluk yang unik.  
Demikian terlihat Al-Quran berbicara tentang ruh  dalam  makna yang  beraneka  ragam, sehingga sungguh sulit untuk menetapkan maknanya apalagi berbicara tentang substansinya.   Dalam beberapa hadis, ada  disinggung  tentang  ruh,  misalnya sabda Nabi Saw.,  Ruh-ruh adalah himpunan yang terorganisasi, yang      saling mengenal akan bergabung, dan yang tidak saling      mengenal akan berselisih.   Hadis di atas seringkali  dirangkaikan  dengan  ungkapan  yang dikenal luas dalam literatur keagamaan:        Burung-burung akan bergabung dengan jenisnya. Hadis ini, sekali lagi tidak membicarakan apa yang disebut ruh tersebut?  Dia hanya mengisyaratkan tentang keanekaragamannya, dan bahwa manusia mempunyai kecenderungan  yang  berbeda-beda, dan setiap pemilik kecenderungan jiwanya akan bergabung dengan sesamanya. Demikian kembali kita bertanya, "Apa  ruh  itu  dan  bagaimana ia?" Katakanlah, "Ruh adalah urusan Tuhan-Ku." Kamu tidak  diberi pengetahuan kecuali sedikit.
d.Fitrah  pada  Unsur 'Aql
 Kata 'aql (akal) tidak  ditemukan  dalam  Al-Quran,  yang  ada adalah  bentuk  kata  kerja  masa  kini,  dan  lampau.  Kata tersebut dari segi bahasa pada mulanya berarti tali  pengikat, penghalang.   Al-Quran   menggunakannya   bagi  "sesuatu  yang mengikat atau menghalangi seseorang terjerumus dalam kesalahan atau  dosa." Apakah sesuatu itu? Al-Quran tidak menjelaskannya secara  eksplisit,   namun   dari   konteks   ayat-ayat   yang menggunakan akar kata 'aql dapat dipahami bahwa ia antara lain adalah   akal  itu  mempunyai daya untuk memahami dan menggambarkan sesuatu, seperti firman-Nya dalam QS Al-'Ankabut (29): 43.
Demikian itulah perumpamaan-perumpamaan yang kami berikan kepada manusia, tetapi tidak ada yang   memahaminya kecuali orang-orang alim (berpengetahuan)      (QS Al-'Ankabut [29]: 43) Daya manusia dalam  hal  ini  berbeda-beda.  Ini  diisyaratkan Al-Quran  antara  lain  dalam ayat-ayat yang berbicara tentang kejadian langit dan bumi, silih bergantinya malam  dan  siang, dan lain-lain. Ada yang dinyatakan sebagai bukti-bukti keesaan Allah Swt. bagi  "orang-orang  berakal"  (QS  Al-Baqarah  [2]: 164),  dan  ada  juga  bagi  Ulil Albab yang juga dengan makna sama, tetapi mengandung pengertian lebih  tajam  dari  sekadar memiliki pengetahuan. Keanekaragaman   akal   dalam   konteks   menarik   makna  dan menyimpulkannya terlihat juga dari penggunaan  istilah-istilah semacam  nazhara,  tafakkur,  tadabbur,  dan  sebagainya  yang semuanya mengandung  makna  mengantar  kepada  pengertian  dan kemampuan pemahaman.
Kesimpulan
Demikian sekilas tentang pengertian kata-kata yang boleh  jadi dapat  menggambarkan  sekilas  tentang manusia dalam pandangan Al-Quran.  Karena  manusia  itu sendirilah yang dapat  menciptakan sebuah  keberkahan di dalam suatu  komunitas negara.  Allah  sebagai pemilik kehidupan ini hanya memfasilitasi  berbagai  kebutuhan manusia.  Jadi  perkembangan suatu negara  sangat  berafiliasi dengan kinerja  manusia  itu sendiri, baik secara  individu , masyarakat dan  juga secara  berbangsa  tentunya.  Penulis sepenuhnya sadar bahwa uraian di  atas  amat terbatas.  Uraian  yang memadai mungkin dapat diperoleh dengan kerja sama pakar-pakar Al-Quran dengan  Pakar  dalam  berbagai disiplin ilmu lain.
Unsur  kebangsaan, manusia dan masyarakat dengan  berbagai  hajat  kehidupannya    dalam suatu negara ternyata saling  mempengaruhi untuk  mendapatkan sebuah  kapasitas negara  yang memunculkan sebuah kesejahteraan  bagi  ummatnya ( masyarakatnya ).   Sebuah komunitas negara dalam qlqur,an tidak  hany akan di lihat  berdasarkan  kapasitas  nilai dan  kondisi  beragamanya saja,   ternyata  mereka  yang  berjalan dengan arif dan bijaksana  berjalan di permukaan muka bumi ini  akan di berikan oleh Allah  banyak hal yang  berhubungan dengan  sebuah keberkahan. Tetapi  ironisnya  ketika  sebuah komunitas  negara  yang berkonstitusi  ajaran Allah, tetapi  berprilaku pada nilai nilai kezholiman di muka  bumi, maka  tentunya  Allah sebagai  pemilik kehidupan ini  akan memberikan sesuatu yang  buruk dalam kapasitas berbangsa  dan bernegara. Oleh karena itu, setiap  langkah anak bangsa akan  membawa  kolerasi  yang  nyata di sisi  Allah.  Kita  begitu  banyak  negara-negara  yang maju dan berkembang karena   para  kholifah ( pemimpinnya ) berbuat  dan memimpin ummatnya dengan  memakai  nilai nilai  dari Allah. Yaitu sebuah  “ Kebijaksanaan””  dalam setiap  langkah langkahnya.








Daftar   Pustaka.
Al-Qur’an Dan  Terjemahannya  Departemen Agama  Tahun 1990
Hatta,Ahmad, Tafsir  Qur,an Perkata, Dilengkapi dengan  Asbabun Nujul & Terjemah,( Jakarta : Maghfiroh  Pustaka,2009),cet.3
H.Munawir  Sjadzali, Islam  Tata Negara, ( Jakarta : Universitas Indonesia ;2008)

Esposito,L.Jhone, The  Oxport History Of  Islam,(terj),Sains-sains Islam,Khirul,M.Anam, (Jakarta : Inisiari Press, 2004),cet.I.
J.Suyuti, Pulungan,Universalisme  Islam ( Jakarta: PT.Semoyo Agung,2002)

Shihab,M.Quraish,H., Tafsir  Almisbah, Juz 1,( Jakarta :  Lentera  Hati ,2000)

-----------------------------,.Tafsir  Almisbah, Juz 2,( Jakarta :  Lentera  Hati ,2000)

---------------------------,.WAWASAN AL-QURAN,Tafsir Maudhu'i Atas Pelbagai    Persoalan Umat h.316, ebook by.nazilhilmie@yahoo.com
---------------------------,.Membumikan Al-Qur,an :  Fungsi dan  Peran Wahyu   dalam kehidupan masyarakat,( Bandung : Mizan ,1992 ).
--------------------------,. Kebangsaan  Menurut  Alqur,an ; 2010
Bahasan,Ibnu,Mari Menuju  Ridho  Allah,(Jakarta: Mara Media Publishing,2010)
Muhammad Nashib Arrifai ; Taisirul al Aliyyul  qadir  li  Ikhtisari Tafsir  Ibnu katsir’, Kemudahan  Dari  Allah  : Ringkasan Tafsir  Ibnu  Katsir.terj. Shihabudin ; 1989)

Raharjo Dawam, 1990;112 ( dalam) :  J.Suyuthi Pulungan,Universalisme Islam,( PT  Moyo Segoro  Agung, 2002 ),h.238

Nurholis  Madjid 1987 :101 (dalam)  J.Suyuthi Pulungan,Universalisme Islam,( PT  Moyo Segoro  Agung, 2002 ),h.17

Gunnar  Myrdar, Bangsa – Bangsa  Kaya  dan Miskin ( dalam ) J.Suyuthi Pulungan,Universalisme Islam,( PT  Moyo Segoro  Agung, 2002 ),h.240

Satryo  Seomatri Brojonegoro,Pendidikan Kewarganegaraan, ( Gramedia  Pusta  utama,2007 ), h.7



[1] H.Munawir  Sjadzali, Islam  Tata Negara, ( Jakarta : Universitas Indonesia ;2008),h.1
[2] Op.cit.h.2
[3] Op.cit.h.3
[4] Jhon L. Espositi,  M.Khoirul  Anam,Terj.“Sains- sains Islam” (Inisiari Press,2004 ) 
[5] J.Suyuti  Pulungan,universalisme  Islam ( Jakarta: PT.Semoyo Agung,2002),h.178
[6] Op.cit.h.181
[9] H.M. Quraish Shihab, Tafsir  Almisbah, Juz 1,( Jakarta :  Lentera  Hati ,2000 ), h. 360

[10] H.M. Quraish Shihab, Tafsir  Almisbah, Juz 1,( Jakarta :  Lentera  Hati ,2000 ), h. 361
[11] op.cit.h.159
[12] Op.cit,h.160
[13]H.M.Quraish Shihab, WAWASAN AL-QURAN,Tafsir Maudhu'i  Ata Pelbagai Persoalan Umat h.316, ebook by.nazilhilmie@yahoo.com
[14] J.Suyuthi Pulungan,Universalisme Islam,( PT  Moyo Segoro  Agung, 2002 ),h.16
[15] Nurholis  Madjid 1987 :101 dalam  J.Suyuthi Pulungan,Universalisme Islam,( PT  Moyo Segoro  Agung, 2002 ),h.17
[16] Muhammad Nashib Arrifai ; Taisirul al Aliyyul  qadir  li  Ikhtisari Tafsir  Ibnu katsir’, Kemudahan  Dari  Allah  : Ringkasan Tafsir  Ibnu  Katsir.terj. Shihabudin ; 1989) ; h.1047 
[17] Bahasan,Ibnu,Mari Menuju  Ridho  Allah,(Jakarta: Mara Media Publishing,2010),h.47

[18] Ibnu  Bahasan,Mari Menuju  Ridho  Allah,(Jakarta: Mara Media Publishing,2010),h.47
[19] Satryo  Seomatri Brojonegoro,Pendidikan Kewarganegaraan,( Gramedia  Pusta  utama,2007 ), h.7
[20] H.M Quraish Shihab ;  Kebangsaan  Menurut  Alqur,an ; 2010
[21] J.Suyuthi Pulungan,Universalisme Islam,( PT  Moyo Segoro  Agung, 2002 ),h.237

[22] Raharjo Dawam, 1990;112 dalam : [22] J.Suyuthi Pulungan,Universalisme Islam,( PT  Moyo Segoro  Agung, 2002 ),h.238
[23] J.Suyuthi Pulungan,Universalisme Islam,( PT  Moyo Segoro  Agung, 2002 ),h.239
[24] Gunnar  Myrdar, Bangsa – bangsa  kaya  dan Miskin ( dalam ) J.Suyuthi Pulungan,Universalisme Islam,( PT  Moyo Segoro  Agung, 2002 ),h.240

[25]  J.Suyuthi Pulungan,Universalisme Islam,( Jakarat : PT  Moyo Segoro  Agung, 2002 ),25

[26]  Op.cit.h.26
[27] Op.cit.h.25
[28] M.Quraish Shihab, WAWASAN AL-QURAN Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat  h. 319, ebook by.nazilhilmie@yahoo.com 

[29]H. M.Quraish Shihab, WAWASAN AL-QURAN Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat  h. 320, ebook by.nazilhilmie@yahoo.com 
[30] Op.cit.h.340

Tidak ada komentar:

Posting Komentar