Jumat, 28 Desember 2012
" Manusia Pasti Butuh Agama "
PENGARUH
AGAMA DI DALAM KEHIDUPAN
Oleh Drs.H.Hamzah
MM
Seorang pakar pendidikan dari Malaysia bernama Hasan
Langgulung pernah mengatakan, bahwa dunia Islam dahulunya pernah mengalami
kejayaan dan menjadi superpower selama kurang lebih 7 abad yang peninggalannya
hingga saat ini masih bisa kita lihat. Islam dahulu pernah menguasai Spanyol
selama 7 abad, dan masih banyak sisa-sisa arsitektur Islam di negara ini.
Bahkan Spanyol pernah tercatat di dalam Guinness Book of Record sebagai negara
yang paling tinggi kunjungan wisata antar negaranya. Hal ini dikarenakan adanya
arsitektur dan bangunan yang Indah di negara ini, seperti di Seville, Granada,
yang semuanya itu adalah karya-karya besar Umat Islam.
Islam juga pernah berkuasa di India, Sisilia, Italia, dan
beberapa negara lainnya. Ketika itu Umat Islam maju dalam berbagai bidang:
kedokteran, arsitektur astronomi, botani, farmakologi, dan seluruh cabang ilmu
pengetahuan modern. Hal ini menurut Hasan Langgulung dikarenakan Umat Islam
saat itu mengamalkan Asmaul Husna. Mengamalkannya bukan hanya sekedar dihafal
dan dibaca, melainkan juga menghayati makna yang terkandung di dalamnya.
Misalkan, Allah bersifat “Al-’Alim” (Maha Mengetahui), maka untuk
menghayatinya kita juga berusaha untuk menjadi orang yang ‘alim, menjadi
orang yang memiliki ilmu pengetahuan. Allah juga bersifat “Al-Musawwir”
(Maha Kreatif, Maha Inovatif, Maha Menghasilkan karya-karya besar), maka untuk
menghayatinya kita juga semestinya menjadi orang yang kreatif.
Kita bersyukur kepada Allah, bahwa dalam kesempatan ini kita
me-recharge (mengisi) kembali agar kita memiliki spirit dengan
nilai-nilai, dengan sifat-sifat Allah, dan tentunya juga sesuai dengan praktek
dan contoh yang diberikan oleh Rasulullah.
Allah berfirman:
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي
فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ
الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
Artinya : Maka
hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah
Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan
pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahui ( QS Ar Ruum (30) -Verse 30 )
Pada ayat ini, Allah dengan tegas menyatakan dalam kalimat
perintah: Fa aqim wajhaka (Maka hadapkanlah wajahmu). Jadi, kata “aqim”
merupakan fi’il ‘amr, yang bisa berarti mendirikan, membangun,
mengkonstruksi, ataupun menciptakan sesuatu yang kuat.
Di sini kita mencermati, bahwa dalam beragama memang harus
secara sungguh-sungguh, jangan setengah hati, dan juga harus total. Jika kita
ingin mendirikan suatu bangunan yang kokoh, maka kita tidak boleh asal-asalan
mendirikannya. Kita harus mengundang arsiteknya perencananya, ada tes tanahnya,
lalu kemudian didesain konstruksi dengan situasi tanahnya, bahan materialnya,
waktu pengerjaannya, pengalaman, dan lain sebagainya, sehingga bangunan
tersebut menjadi kokoh.
Maka hadapkanlah wajahmu.
Dari seluruh panca indera kita, pada tubuh ini terdiri dari berbagai macam
organ, yang semua unsur fisik tersebut diwakili oleh wajah. Wajah juga
mencerminkan berbagai macam perasaan kita: sedih, senang, murung, susah, dan
perasaan-perasaan lainnya akan tercermin di wajah ini.
Ketika kita bertemu dengan orang lain, maka wajah pulalah
yang kita tampakkan. Senyum yang kita berikan juga bisa mengalirkan energi.
Rasulullah mengatakan, bahwa di antara sedekah yang murah-meriah adalah senyum.
Dengan senyum yang terpancar dari wajah kita, maka akan ada komunikasi batin
dan ada energi yang masuk ke orang yang kita ajak berkomunikasi. Lalu orang
yang kita ajak berkomunikasi itu juga tersenyum membalas senyuman kita. Jika
sudah sama-sama tersenyum, maka urusan selanjutnya akan lancar.
Jika di dalam ayat tersebut menyatakan untuk menghadapkan
wajah, maka berarti dalam beragama bukan hanya wajah, melainkan semuanya harus
ikut beragama. Mata kita ikut beragama, yaitu dengan cara jangan melihat yang
diharamkan oleh Allah. Telinga kita juga ikut beragama, yaitu dengan cara tidak
mendengarkan hal-hal yang bisa membawa bencana. Tangan kita beragama, yaitu
dengan mengerjakan hal-hal yang baik-baik. Kaki kita beragama, yaitu dengan
pergi ke tempat yang baik. Hati kita bergama, yaitu hanya kita peruntukkan kepada
yang lurus-lurus di jalan Allah. Jadi, semua yang ada pada diri kita ini
hadapkanlah kepada agama secara totalitas.
Di kalangan para ahli, ada kajian-kajian tingkatan beragama.
Tingkatan tersebut, yaitu:
Pertama,
fiqh
Yang mengatur tata cara beragama adalah fiqh. Karena
itulah, para ulama sepakat menjadikan ilmu fiqh fardhu ‘ain untuk
dituntut. Ilmu fiqh merupakan ilmul hal, yaitu ilmu yang selalu berkaitan
dengan kehidupan keseharian kita. Mulai dari kita lahir hingga meninggal dunia,
maka fiqh lah yang bekerja. Dengan ilmu fiqh, maka ada standard untuk kita
melaksanakan berbagai macam amal ibadah. Kalau kita mau bekerja dengan rapi,
maka harus ada SOP (Standard Operasional Prosedur). Dalam hal ini, fiqh
merupakan SOP kita dalam melakukan berbagai macam amal ibadah. Semuanya bermula
dari fiqh, dan karena itu fiqh tidak boleh kita tinggalkan.
Kedua,
sufistik (tasawwuf)
Untuk bisa beragama secara holistik (menyeluruh), maka kita
naik ke tingkat selanjutnya, yaitu tingkat sufistik (tasawwuf), yang
disebut sebagai mystical approach (pendekatan sufistik). Ketika kita
salat, ternyata Allah hadir di dalam diri kita. Kadang-kadang pikiran kita ke
mana-mana ketika menunaikan ibadah salat. Kalau ketika salat kita ingat di
pasar, maka berarti tasawwufnya belum ada. Pada saat seseorang salat,
jika fiqh dilengkapi dengan tasawwuf, maka sebenarnya ada dialog
di dalam salatnya itu. Di dalam setiap ayat dan bacaan-bacaan yang kita
lafazkan ketika salat, itu sebenarnya ada sahut-sahutan dengan malaikat, namun
kita tidak mendengar sahutan dari malaikat tersebut. Karena itulah, janganlah
terlalu cepat ketika kita melafazkan bacaan-bacaan salat tersebut. Lafaz-lafaz
ketika salat harus kita baca secara tertib. Maka dengan dimensi sufistik ini,
maka sifat-sifat Allah akan mengalir, energi-energi tersebut akan mengalir di
dalam diri dan kehidupan kita.
Sudah banyak kajian-kajian tentang kecerdasan emosional, dan
itu sudah masuk ke dalam manajemen bisnis. Ada buku yang ditulis oleh seorang
ahli di bidang komunikasi tentang kecerdasan emosional yang sering dirujuk oleh
para komunikator. Ia mengatakan, kalau seseorang mempunyai kecerdasan
emosional, maka ucapannya itu akan memiliki resonansi, akan memiliki vibrasi
(getaran). Dari resonansi itu, ketika dia menyalurkan sifat kasih sayang, maka
sifat kasih sayangnya itu menempel kepada orang tersebut. Ketika dia
menyalurkan sifat sabar, maka sifat sabarnya itu menempel kepadanya. Ketika dia
menyalurkan sifat ikhlas, maka sifat ikhlasnya itupun menempel kepadanya.
Terjadinya komunikasi seperti ini, antara lain dengan pendekatan spiritual
emosional. Ilmu tasawwuf mengatur kita dalam hal ini, sehingga kita mempunyai
spirit, mempunyai jiwa.
Menurut suatu penelitian, seorang pimpinan yang memiliki
kecerdasan emosional, maka akan menyebabkan karyawannya bekerja secara
produktif. Hal ini dikarenakan karyawannya merasa ada aliran energi yang baik
yang diisikan kepada mereka, yang kemudian menjadikan mereka bisa bekerja
dengan penuh semangat dan gairah. Yang masuk ke dalam diri mereka adalah
virus-virus yang disebut oleh David McClelland sebagai Need of
Achievement, yaitu semangat untuk membangun. Karena itulah, dalam hal
ini pemimpin menjadi sangat penting. Ketika virus yang dimasukkannya adalah
virus negatif (virus yang buruk): seperti rasa benci, iri, dengki, hasud, maka
orang yang dimasuki oleh virus tersebut akan error dan hang.
Ilmu yang mengatur hal seperti ini adalah aspek tasawwuf.
Imam Al-Ghazali (dalam kitabnya Ihya Ulumuddin) mencoba memadukan antara
fiqh dan tasawwuf. Beliau mengatakan, agar kehidupan ini
bermakna, maka fiqh didampingi dengan tasawwuf. Seperti misalnya ketika beliau
sedang berwudhu’, maka menurutnya, berwudhu’ itu bukan hanya sekedar mencuci
tangan luarnya supaya bersih, tetapi ketika mencuci tangan harus ada dialog
dengan tangan: “Hai tangan, apa yang kau perbuat hari ini? Apakah perbuatannya
baik atau buruk?” “Hai kaki, apa yang telah kau perbuat?”
Dijawab oleh kaki, “Saya sudah berbuat baik, yaitu membantu
seorang tua renta untuk menyeberangi jalan.”
Ketika mencuci kepala, maka kita tanyakan, “Hai kepala, apa yang telah
kau pikirkan hari ini?” Ketika mencuci
mulut, maka kitapun bertanya, “Hai mulut, apa yang telah kau ucapkan hari ini?”
Ketika mencuci telinga, kitapun menanyakan, “Hai telinga, apa yang kau dengar
hari ini?”
Dengan melakukan semua ini, maka kita akan mendapatkan dua
macam kebersihan. Jika pada fiqh adalah kebersihan lahir, yang disebut sebagai thaharah.
Sedangkan pada tasawwuf adalah kebersihan batin, yang disebut sebagai tazkiyah.
Ketiga,
ideologi
Tingkatan ini adalah tingkat program, yaitu pendekatan
ideologis. Ideologis adalah pemikiran-pemikiran yang sudah matang,
pemikiran-pemikiran yang sudah dikaji secara mendalam, lalu kemudian menjadi
program, dan program ini harus dilaksanakan. Dalam kaitan ini, maka ketika
selesai salat kita mengucapkan “Assalamu’alaikum wa rahmatullahi wa
barakatuh” ke sebelah kanan dan kiri. Apakah artinya ini? Apakah hanya
sekedar menolehkan kepala? Kalau hanya sekedar menolehkan kepala, robot juga
bisa. Lantas, apakah sebenarnya makna dari salam ke kanan dan ke kiri tersebut?
Maknanya adalah, bahwa ibadah salat yang sudah kita bangun, spirit yang sudah
kita lakukan, itu semuanya harus menjadi program yang terwujud di dalam
kehidupan, yaitu kita lihat keadaan di kiri kanan kita, keadaan di sekitar
lingkungan kita.
Karena itulah, ibadah mahdhah (hablumminallah)
itu harus diikuti dengan hablumminannas. Ketika kita menengok ke kanan
dan ke kiri, maka kita melihat apakah masalah yang harus dihadapi di dalam
masyarakat. Mungkin di sebelah rumah kita ada anak yatim yang perlu disantuni.
Mungkin juga di sebelah kita ada orang yang sakit parah yang memerlukan
pertolongan, ada orang yang sedang mengalami kesulitan, dan sebagainya, yang
ini harus kita lihat dan kita bantu. Dalam konteks inilah masuk ke dalam
program yang sifatnya aksi (gerakan). Ini merupakan bagian yang ketiga dari
ajaran agama. Setelah kita mengamalkan aspek fiqhnya, aspek tasawwufnya,
kemudian masuk kepada aspek sosial. Berkaitan dengan hal ini, para ahli sering
melihat, bahwa terkadang masih ada kesenjangan antara aspek fiqh
(ritual), aspek spiritual, dan aspek sosialnya. Padahal kalau kita teliti,
ternyata seluruh ibadah di dalam Islam mempunyai dampak sosial.
Imam Ayatullah Khomaini pernah membandingkan, ternyata ayat
yang berkaitan dengan ibadah sosial lebih banyak dibandingkan ayat yang
berkaitan dengan ibadah mahdhah (ibadah individual).
Jika saudara-saudara kita sekarang sebagian sudah berada di
Makkah Al-Mukarramah (sedang menunaikan ibadah haji), Ternyata makna dari
ibadah haji ini penuh dengan nilai-nilai sosial, semangat perjuangan.
Thawaf apakah
hanya sekedar berputar-putar mengelilingi Ka’bah?
Ternyata makna dari thawaf adalah, bahwa hidup ini
harus dengan perjuangan. Dan setiap perjuangan harus dimulai dengan menyerap
nilai Allah. Karena itulah, thawaf dimulai dari ruknul yamani.
Kita mulai dengan mengucapkan: “Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu akbar,”
lalu kitapun mengelilingi Ka’bah. Jadi, perjuangan itu dimulai dari niat
semata-mata karena Allah. Terus mengelilingi, kemudian ketika sampai lagi di ruknul
yamani, kita mengucapkan lagi “Allahu akbar“.
Kemudian kita melakukan sa’i.
Sa’i juga
memiliki makna perjuangan, yaitu jalan-jalan kecil, lari-lari kecil. Di dalam
sejarahnya, sa’i adalah memperjuangan keselamatan manusia, yaitu Ismail
(puteranya Nabi Ibrahim, yang kemudian setelah dewasa juga diutus menjadi
nabi). Ismail yang ketika itu masih bayi dan ibunya (Siti Hajar) ditinggalkan
oleh Nabi Ibrahim di tengah padang pasir yang tandus.
Pada waktu itu Nabi Ibrahim berdoa (seperti termaktub di
dalam Alquran):
وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ اجْعَلْ هَـَذَا بَلَدًا
آمِنًا وَارْزُقْ أَهْلَهُ مِنَ الثَّمَرَاتِ مَنْ آمَنَ مِنْهُم بِاللّهِ
وَالْيَوْمِ الآخِرِ قَالَ وَمَن كَفَرَ فَأُمَتِّعُهُ قَلِيلاً ثُمَّ أَضْطَرُّهُ
إِلَى عَذَابِ النَّارِ وَبِئْسَ الْمَصِيرُ
Dan
(ingatlah), ketika Ibrahim berdo`a: Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini negeri
yang aman sentosa, dan berikanlah rezki dari buah-buahan kepada penduduknya
yang beriman di antara mereka kepada Allah dan hari kemudian. Allah berfirman:
“Dan kepada orang yang kafirpun Aku beri kesenangan sementara, kemudian Aku
paksa ia menjalani siksa neraka dan itulah seburuk-buruk tempat kembali“. (Q.S.
Al-Baqarah: 126)
Itulah yang ditinggalkan dan dipesankan oleh Nabi Ibrahim
ketika meninggalkan Siti Hajar dengan putranya yang masih kecil (Ismail).
Jadi dalam sejarahnya, sa’i merupakan perjuangan
menyelamatkan bayi, menyelamatkan manusia. Di dalam perjuangan itu, dimulai
dari Bukit Shafa. “shafa” artinya bersih, niat semata-mata karena Allah.
“marwa” artinya berkembang. Ada perjuangan, kemudian kemanusiaan.
Begitu juga ketika wukuf di Padang Arafah. “arafah”
artinya mengenal, yaitu mengenal secara mendalam. Mengenal, melihat,
mengetahui, bukan dengan panca indera, melainkan dengan hati nurani. Maka orang
yang wukuf di Padang Arafah, ia akan semakin arif dan bijaksana. Dia
mengetahui, bahwa betapa dirinya di hadapan Allah sangat faqir.
Maka digambarkan pada waktu itu manusia tidak boleh membawa
apa-apa: pangkat, harta, kedudukan, semuanya ditinggalkan, kemudian hanya
mengenakan pakaian putih. Mengapa demikian? Mengapa orang yang berhaji itu
harus meninggalkan semua pakaian kebesarannya? Hal ini agar jangan sampai
mengganggu hubungan manusia dengan Allah. Hubungan manusia dengan Allah
kadang-kadang terganggu oleh berbagai macam faktor: kadang-kadang terganggu
oleh pakaian. Jika kita memakai jas, berdasi, dan mentereng, rasanya lain
dibandingkan orang yang hanya mengenakan pakaian yang biasa saja, seakan-akan
orang yang berpakaian biasa saja itu tidak bonafit. Kalau kita mengenakan pakaian
yang indah-indah, maka rasanya kita ini yang paling tampan sedunia. Begitu juga
kalau mengenakan pakaian jenderal (militer), seakan-akan kita ini begitu gagah
dan sangat berkuasa.
Jadi, pakaian yang kita kenakan itu memberikan dampak
psikologis, memberikan pengaruh kejiwaan kepada orang yang memakainya. Maka
dalam pelaksanaan ibadah haji, lepaskan semua pakaian itu, supaya hubungan
dengan Allah tidak terganggu. Dengan begitu, maka dia menjadi orang yang arif.
Allah berfirman:
(Musim)
haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barangsiapa yang menetapkan niatnya
dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik
dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu
kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan
sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai
orang-orang yang berakal. (Q.S. Al-Baqarah: 197)
Seperti yang termaktub pada ayat di atas, bahwa selain
dilarang berbuat “rafats” (berkata yang menimbulkan hal-hal yang bisa
membangunkan syahwat), juga dilarang untuk fusuq (melakukan
pelanggaran), dan jidaala (bertengkar/berbantah-bantahan). Fusuq
berarti orang yang tahu hukum tetapi melanggar. Jangan bertengkar berarti masuk
ke masalah sosial, supaya bisa membangun komunikasi yang baik.
Dari cuplikan ayat di atas, betapa kita lihat, bahwa ajaran
Islam itu terkait dengan masalah sosial. Pada ayat-ayat yang lain (berkaitan
dengan ibadah haji) juga ditegaskan, bahwa dilarang membunuh binatang dan
memotong tanaman (lihat Al-Maidah ayat 1, 2, 95). Bahkan di akhirat nanti,
seperti yang termaktub pada sebuah hadis qudsi disebutkan:
Suatu ketika, Rasulullah bertanya kepada para sahabat,
“Wahai para sahabat, tahukah kamu, siapakah di akhirat nanti yang menjadi orang
yang bangkrut?”
Dijawab oleh para sahabat, “Orang yang bangkrut di antara
kami adalah orang yang tidak mempunyai dinar (uang emas) dan dirham (uang
perak).”
Kata Rasulullah, “Bukanlah itu, melainkan orang yang
bangkrut itu adalah orang yang datang menghadap Allah dengan membawa pahala
salat, pahala zakat, pahala puasa, pahala haji, dan pahala lainnya. Tapi datang
malaikat melaporkan: Ya Allah, orang ini memang betul pahala ibadahnya banyak,
tetapi orang ini pernah mencaci maki, orang ini pernah menyakiti hati orang
lain di depan umum, orang ini pernah menuduh tanpa bukti, orang ini pernah
memukul orang lain, orang ini pernah mencuri, orang ini pernah menumpahkan
darah. Akhirnya orang tersebut tidak jadi masuk ke surga, ia ditahan.”
Seperti apakah ditahannya? Pahala kebaikan dari salat,
zakat, puasa, haji, dan pahala-pahala lainnya dibagi-bagikan kepada orang yang
pernah disakitinya, sampai habis pahala yang dimilikinya. Setelah habis pahala
kebaikan ibadahnya itu, tinggallah keburukan orang-orang yang dizaliminya yang
kemudian ditimpakan kepadanya. Maka kemudian dia dilemparkan ke dalam api
neraka.
Ibadah yang kita lakukan itu harus berdimensi sosial. Kalau
dikaitkan lebih jauh lagi, ternyata masalah sosial itu menjadi prioritas.
Misalkan jika kita puasa, yang puasa tersebut kita laksanakan sambil melakukan
perjalanan. Perjalanan itu bisa meletihkan. Alquran menyatakan, bahwa kita yang
berada di dalam perjalanan diperbolehkan untuk berbuka. Atau juga ketika kita
dalam keadaan sakit, yang menurut penelitian para dokter, bahwa jika puasanya
diteruskan, maka sakitnya akan bertambah parah. Karena itulah, menurut yang
termaktub di Alquran, kita diperbolehkan berbuka jika dalam keadaan sakit. Ini
artinya, bahwa ibadah di dalam Islam pun memperhatikan keselamatan manusia.
Dimensi sosial inilah yang kita inginkan, yang bermula dari
aspek fiqh, aspek tasawwuf, yang kemudian meningkat kepada aspek
sosial. Dari sini kemudian naik tingkat lagi ke tingkat ke empat, yaitu
pendekatan logikal, kita perkuat argumentasi kita. Kita perkaya keagamaan kita
dengan berbagai bahan bacaan, sehingga keberagamaan kita itu menjadi kokoh.
Menurut beberapa buku, akhir-akhir ini menunjukkan keadaan,
yaitu orang-orang semakin percaya bahwa ajaran Islam memang ajaran yang
terkemuka, ajaran Islam yang bisa memecahkan problem.
Sekarang ini sedang terjadi krisis ekonomi global. Sudah
banyak yang stress, ada juga yang bunuh diri, juga ada yang menjadi orang gila.
Pengaruhnya ternyata sudah sampai ke Indonesia, antara lain harga hasil
pertanian dan perkebunan anjlok, sehingga para petaninya banyak yang stress.
Menurut informasi dari media massa, bahwa akan terjadi PHK lebih dari 12 ribu
orang.
Dalam keadaan seperti ini, maka agama yang harus menjadi
pegangan, karena agama memberikan pedoman bagi manusia dalam seluruh keadaan.
Menurut ajaran Islam, juga dilarang untuk melakukan
monopoli. Islam sudah menawarkan satu prinsip ekonomi yang balance
(seimbang). Di dalam Islam dipersilakan untuk kaya. Tetapi bersamaan dengan
kekayaan, dia bersedekah, dia berinfak, dia berzakat, dan dia berwakaf. Maka
ketika dia makmur, yang lain pun juga ikut makmur. Namun, orang yang diberi
zakat dan infak pun jangan ketergantungan terus-menerus. Sebaiknya, ketika
diberi zakat, maka harus ada perubahan ke depannya. Jika tahun ini dia diberi
zakat, maka tahun yang akan datang dialah yang memberi zakat.
Di dalam krisis ini, mental spiritual Islam sudah memberikan
petunjuk, dan itu cukup banyak. Antara lain, misalnya ketika orang menghadapi
keadaan pailit (bangkrut), keadaan kekurangan, maka Islam memberikan tuntunan
untuk bersabar. Di dalam psikologi modern, sabar diartikan sebagai regresi,
yaitu menurunkan kadar ambisi kita. Rasulullah pernah mengatakan (dan juga
di dalam ajaran agama lain), bahwa sebab manusia stress itu karena terlalu
tinggi obsesinya. Dengan bersikap sabar, maka jika dia menginginkan 100, maka
kemudian kadarnya diturunkan menjadi 60. Selain sabar, yaitu sabar untuk
menerima kenyataan dari standar 100 diturunkan menjadi 60, juga pada saat yang
bersamaan dia juga bersyukur kepada Allah.
وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِن شَكَرْتُمْ لأَزِيدَنَّكُمْ
وَلَئِن كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ
Dan
(ingatlah juga), tatkala Tuhanmu mema`lumkan: “Sesungguhnya jika kamu
bersyukur, pasti Kami akan menambah (ni`mat) kepadamu, dan jika kamu
mengingkari (ni`mat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih“. (Q.S. Ibraahim: 7)
Dengan bersyukur, sekecil apapun yang didapatkan, maka di
hadapan orang yang bersyukur menjadi bermakna. Tetapi bagi orang yang tidak
pernah bersyukur, maka berapapun menjadi tidak ada artinya. Misalkan dia
mendapatkan untung sejuta, lalu dia berkata, “Ya…, hanya sejuta. Kemarin
untungnya 3 juta.” Besoknya lagi dia mendapat 700 ribu, lalu dia berkata, “Ya…,
cuma 700 ribu. Kemarin untungnya sejuta.” Sehingga tak pernah ada habisnya ia
mengeluh.
Bagi orang yang bersyukur, ketika ia berada dalam keadaan
yang sulit, maka ia akan bertawakkal kepada Allah.
Agama sudah memberikan petunjuk-petunjuk yang lengkap untuk
menghadapi semua ini. Maka pada Q.S. Ar-Ruum ayat 30 dikatakan: fa aqim
wajhaka. Ternyata kalimat ini luas sekali artinya, baik itu dimensi fiqh,
tasawwuf, sosial, ideologi, dan dimensi kognitifnya.
Fa aqim wajhaka liddiini.
Menurut para ahli ilmu nahwu, kata “ad-diin” di sini bentuknya ma’rifat.
Di dalam Ilmu Nahwu, ada nakirah dan ada ma’rifat. Jika nakirah
adalah umum, misalkan kata “diinun“, maka ma’rifat adalah khusus,
misalkan kata “ad-diin“. Dalam hal ini, agama yang dimaksud adalah agama
yang diturunkan oleh Allah, bukan agama yang dihasilkan dari seminar, bukan
pula agama hasil penelitian, tetapi agama yang “that is the revelation from
God in The Holy Quran“, yaitu agama yang diwahyukan oleh Tuhan di dalam
kitab suci Alquran.
Mengenai orisinalitas Alquran, maka hal ini sudah terbukti.
Hal ini sudah bisa dibuktikan, misalkan melalui pendekatan sejarah. Bahwa
Alquran ditulis pada zaman Rasulullah masih hidup, dan beliau yang langsung
mengedit Alquran tersebut, yang ini menurut istilah pada Ilmu Ulumul Qur’an
disebut tauqif (penetapan Rasulullah). Jadi, ketika turun ayat Alquran,
maka Rasulullah langsung memerintahkan para sahabat ketika itu untuk menyusun
urutan surah dan ayat Alquran seperti yang bisa kita baca hingga saat ini (kini
mungkin seperti menyusun dan menyimpan berkas-berkas di dalam file-file).
Di samping itu, penyusunan Alquran ini juga dibantu oleh
para penghafal Alquran ketika itu. Jadi, kalau ada lembaran-lembaran Alquran
itu yang hilang, maka masih ada back-upnya (sesuai dengan yang dihafal oleh
para penghafal). Dan memang pada masa itu, tradisi di Arab adalah tradisi
menghafal, sedangkan tradisi baca-tulis mungkin tidak ada, dan kalaupun ada,
maka tidak sepenting tradisi menghafal. Oleh karena itulah, tradisi menghafal
tersebut hingga saat ini masih ada di Arab. Menghafal Alquran bahkan menjadi
persyaratan untuk masuk ke perguruan tinggi. Setelah seseorang masuk ke
perguruan tinggi, barulah orang tersebut bertahassus dia mau menjadi
apa. Misalkan mau menjadi dokter, silakan, tetapi dokter yang hapal Alquran.
Mau menjadi ahli pertanian, silakan, tetapi ahli pertanian yang hapal Alquran.
Mau menjadi insinyur, silakan, tetapi insinyur yang hapal Alquran. Mau menjadi
tentara, silakan, tetapi tentara yang hapal Alquran. Sehingga agama itu
betul-betul menjiwai seluruh aspek kehidupan.
Ada masa yang disebut sebagai Golden Age (Masa Emas).
Masa ini pada setiap anak yaitu dari berumur 4 hingga 12 tahun (masa anak
ketika TK hingga lulus SD). Inilah masa keemasan, di mana memori anak dengan
mudah bisa menghapal. Menurut Ilmu Neurologi (ilmu tentang syaraf), bahwa pada
otak manusia itu ada 200 milyar sel otaknya. Pertumbuhannya mulai dari dalam
rahim (ketika terjadi ‘alaq). Pembentukan sel tersebut dalam setiap
detik sekitar 25 ribu sel yang berkembang, hingga terus berkembang sekitar 200
milyar sel otak manusia tersebut. Sel-sel ini ada Golden Age-nya, di
mana ada masa memorizing.
Di satu artikel, di
Taheran 200 anak di bawah umur 10 tahun yang sudah hapal Alquran.
Anak-anak ini juga pernah dites di London. Kecepatan mereka untuk mencari ayat
Alquran dibandingkan dengan kecepatan komputer, ternyata anak-anak ini lebih
cepat dibandingkan komputer.
Mengapa hal ini bisa terjadi? Ternyata sistem komputer belum
bisa menyaingi otak manusia. Diprediksi, bahwa baru pada tahun 2030 akan ada
komputer yang servernya itu bisa menyimpan seperti halnya sel otak manusia.
Tapi, sepertinya saya tak terlalu yakin akan prediksi ini. Otak manusia yang diciptakan
oleh Allah memorizingnya begitu kuat.
Di sinilah kemudian kepada agama, di mana Alquran berpedoman
kepada Ad-Diin, kemudian diperkuat oleh Hadis Rasulullah, kemudian diperkuat
lagi oleh keterangan para ulama, seperti yang termaktub pada Alquran:
Hai
orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul (Nya), dan ulil
amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu,
maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih
utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (Q.S. An-Nisaa: 59)
Menurut Imam Al-Maraghi dalam Kitabnya Tafsir Al-Maraghi,
bahwa Ulil Amri itu ada dua macam: Al-Amru fiddiin (yaitu ulama) dan Al-Amru
fiddaulah atau Al-Amru fiddunya (yaitu umara’). Jadi menurut Imam
Al-Maraghi, bahwa ulama dan umara’ itu sama-sama ulil amri. Maka berdasarkan
ayat ini, bahwa kawin di bawah tangan itu sebenarnya tidak sah, karena tidak
mentaati ulil amri. Apalagi dalam hal ini kaidahnya adalah maslahatul
mursalah (kemaslahatan umat).
Liddiini haniifa
(beragama itu dengan tulus). Metode beragama memang berbeda dengan metode yang
lainnya. Misalkan di dalam metode ilmu pengetahuan, bahwa sebelum kita menerima
dan mempercayai sesuatu, maka kita skeptis dahulu terhadap hal tersebut. Kita
harus ragu dan memverifikasi dahulu hal tersebut. Setelah teruji benar, barulah
kita menerima dan mempercayai hal tersebut. Tetapi agama tidak boleh begitu.
Agama diterima dahulu, karena agama adalah dari Allah yang sudah pasti benar.
Kita meyakini bahwa agama adalah dari Allah dan sudah pasti benar.
Dengan
agama, hidup jadi mempunyai tujuan jangka panjang. Dengan agama, hidup kita
menjadi semakin tenang, karena dimiliki oleh Allah. Mudah-mudahan keberagamaan
kita semakin mantap, semakin mempunyai nilai resonansi, semakin memiliki
vibrasi, getaran di dalam kehidupan, sehingga akan membawa manfaat di dunia dan
akhirat. Dunia Global saat
ini telah sangat membuktikan
wi-fi yang saat ini menjadi satu yang membuktikan tentang gerak dan langkah seseorang, secara
agamis dapat kita korelasikan dengan kekuasan Allah bahwa segala sesuatunya
tidak akan pernah luput dari deteksi
Allah SWT. Wassalam ( Jeruk Purut akhir Tahun 2012 )
Kamis, 27 Desember 2012
Langganan:
Postingan (Atom)