Tema : Hubungan Beragama dengan Aqidah "
Oleh Drs H Hamzah Ahmad MM
الْحَمْدُ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ أَرْسَلَ إِلَيْنَا أَفْضَلَ
الرُّسُلِ وَأَنْزَلَ عَلَيْنَا أَفْضَلَ الكُتُبِ وجَعَلَنَا لَنَا خَيْرَ
أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ وَأَمَرَنَا بِالإِجْتِمَاعِ عَلى الحَق وَالهُدَى
وَنَهَانَا عَنْ الإِفْتِرَاقِ وَاتِّبَاعِ الهَوَى، أَحْمَدُهُ تَعَالَى
وَأَشْكُرُهُ عَلَى نِعَمِهِ الَّتِي لاَ تُحْصَى، وَأَشْهَدُ أَن لاَ إِلَهَ
إِلاَّ هُوَ لَهُ الْأَسْمَاءُ الحُسْنَى وَأَشْهَدُ أنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ
وَرَسُوْلُهُ، تَرَكَ أُمَّتَهُ عَلَى الْمَحَجَّةِ الْبََيْضَاءِ لاَ خَيْرَ إِلاَّ
دَلََّهَا عَلَيْهِ وَلاَ شَرَّ إِلاَّ حَذَّرَهَا مِنْهُ، صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ الَّذِيْنَ آمَنُوْا بِهِ وَعَزَرُوْهُ وَنَصَرُوْهُ
وَاتَّبَعُوْا النُّوْرَ الَّذِيْ أُنْزِلَ مَعَهُ وَسَلَّمَ تَسْلِيْمًا
كَثِيْرًا، أَمَّا بَعْدُ:
Puji syukur Kepada Allah SWT,...Sholawat serta
salam kepada Rasulallah
SAW,....wasiat Taqwa,......
Dalam
Pengantar Studi islam “ Prof. Dr.
Rosihan Anwar kami nukil ; mengartikan
agama sebagai suatu kumpulan keyakinan warisan nenek moyang dan
perasaan-perasaan pribadi, suatu peniruan terhadap modus-modus, ritual-ritual,
aturan-aturan, konvensi-konvensi dan praktek-praktek secara sosial telah mantap
selama genarasi demi generasi.
Minimal terdapat
7 proses pendekatan ( penelusuran ) dalam beragamanya seorang
manusia ( muslim ).
1) Pendekatan Teologis ;
Menganalisa agama secara
tekstual atau kitabi
2) Pendekatan Antropologis ; Melihat wujud praktek di
masyarakat
3) Pendekatan Sosiologis ; Fenomena strata sosial manusia
4) Pendekatan Filosofis ; Mencari
sesuatu secara mendasar, asas, inti di balik
sifat lahiriyah
5) Pendekatan Historis ;
Menelusuri asal usul munculnya pemikiran
keagamaan.
6) Pendekatan Kebudayaan ; Interaksi agama
dalam budaya manusia
7) Pendekatan Psikologis ;
Mencari sisi ilmiah dari
asfek bathini dalam pengalaman
beragama .
Diantara sekian banyak penjabaran proses beragamanya manusia setidaknya terdapat Substansi dari
beragama tersebut jika kita
renungkan Sabda Rasulallah SAW - Al-Imam Ahmad dan al-Imam Muslim
rahimahumallah semakna dari jalan sahabat Abu Hurairah dari Nabi Shallallahu
‘alaihi wasallam bahwa beliau bersabda
إِنَّ اللهَ يَرْضَى لَكُمْ ثَلاَثًا وَيَكْرَهُ لَكُمْ ثَلاَثًا،
فَيَرْضَى لَكُمْ أَنْ تَعْبُدُوهُ وَلاَ تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَأَنْ
تَعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللهِ جَمِيعًا وَلاَ تَفَرَّقُوا وَأَنْ تُنَاصِحُوا مَنْ
وَلاَّهُ اللهُ أَمْرَكُمْ؛ وَيَكْرَهُ لَكُمْ قِيلَ وَقَالَ وَكَثْرَةَ
السُّؤَالِ وَإِضَاعَةَ الْمَالِ
“Sesungguhnya
Allah Subhanahu wata’ala meridhai untuk kalian tiga hal dan membenci dari
kalian dari tiga hal: Allah Subhanahu wata’ala meridhai kalian agar
beribadah kepada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan apa pun; berpegang
kuat dengan agama Allah Subhanahu wata’ala semuanya (bersatu) dan tidak
berceraiberai; serta agar menasihati orang yang Allah telah jadikan sebagai
penguasa bagi kalian. (Dan Allah) membenci kalian dari mengatakan (setiap apa
yang) dikatakan (kepada kalian), banyak bertanya, dan membuang-buang harta.”
(HR. Ahmad dan Muslim)
Yang pertama adalah agar kita memperbaiki akidah dengan memurnikan ibadah
hanya untuk Allah Subhanahu wata’ala dan berlepas diri dari berbagai jenis
kesyirikan. Ini adalah perkara pertama yang harus diperhatikan. Sebab, akidah
merupakan pondasi yang dibangun di atasnya amalan seseorang. Apabila baik
akidahnya, akan bernilai sebagai ibadah dan akan bermanfaat amal salehnya.
Adapun jika rusak akidahnya, amalannya tidak bermanfaat dan tidak bernilai di
sisi Allah Subhanahu wata’ala. Oleh karena itu, seluruh rasul diperintah untuk
mengajak pada perbaikan akidah sebelum hal yang lainnya. Setiap rasul
mengatakan,
فَقَالَ يَا قَوْمِ اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُم مِّنْ إِلَٰهٍ
غَيْرُهُ
“Wahai kaumku,
sembahlah Allah, sekali-kali tak ada Rabb bagimu selain- Nya.” (al-A’raf: 59)
Kata
"‘Aqidah" diambil dari kata dasar "al-‘aqdu" yaitu ar-rabth
(ikatan), al-Ibraamal-ihkam (pengesahan), (penguatan), at-tawatstsuq (menjadi
kokoh, kuat), asy-syaddu biquwwah (pengikatan dengan kuat),
at-tamaasuk(pengokohan) dan al-itsbaatu (penetapan).
Di antaranya
juga mempunyai arti al-yaqiin (keyakinan) dan al-jazmu (penetapan).
"Al-‘Aqdu" (ikatan) lawan kata dari al-hallu(penguraian, pelepasan).
Dan kata tersebut diambil dari kata kerja: " ‘Aqadahu"
"Ya'qiduhu" (mengikatnya), " ‘Aqdan" (ikatan sumpah), dan
" ‘Uqdatun Nikah" (ikatan menikah).
Aqidah artinya
ketetapan yang tidak ada keraguan pada orang yang mengambil keputusan. Sedang pengertian
aqidah dalam agama maksudnya adalah berkaitan dengan keyakinan bukan perbuatan.
Maka, aqidah yang benar merupakan landasan (asas) bagi tegak agama (din) dan
diterimanya suatu amal. Allah subahanahu wata`ala berfirman,
فَمَنْ كَانَ يَرْجُوا لِقَآءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلاً
صَالِحًا وَلاَيُشْرِكُ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا.
Artinya: “Maka
barangsiapa mengharapkan perjumpaan dengan Tuhannya (di akhirat), maka
hendaklah ia beramal shalih dan tidak menyekutukan seorang pun dalam beribadah
kepada Tuhannya.” (Q.S. al-Kahfi: 110)
Para ulama
sering menjelaskan tiga prinsip yang harus jadi pegangan setiap muslim. Jika
prinsip ini dipegang, barulah ia disebut muslim sejati. Para ulama mengatakan,
Islam adalah:
“Berserah diri pada Allah dengan mentauhidkan-Nya, patuh
kepada-Nya dengan melakukan ketaatan dan berlepas diri dari syirik dan pelaku
syirik.” الاستسلام
لله بالتوحيد والانقياد له بالطاعة والبراءة من الشرك وأهله
Sebab-Sebab Penyimpangan dari
Akidah yang Benar
Penyimpangan
dari akidah yang benar adalah sumber petaka dan bencana. Seseorang yang tidak
mempunyai akidah yang benar maka sangat rawan termakan oleh berbagai macam
keraguan dan kerancuan pemikiran, sampai-sampai apabila mereka telah berputus
asa maka mereka pun mengakhiri hidupnya dengan cara yang sangat mengenaskan
yaitu dengan bunuh diri. Oleh karena peranannya yang sangat penting ini maka
kita juga harus mengetahui sebab-sebab penyimpangan dari akidah yang benar. Di
antara penyebab itu adalah:
1).Tidak Mau memahami terhadap prinsip-prinsip
akidah yang benar. Hal ini bisa terjadi karena sikap tidak mau mempelajarinya,
tidak mau mengajarkannya, atau karena begitu sedikitnya perhatian yang
dicurahkan untuknya. Ini mengakibatkan tumbuhnya sebuah generasi yang tidak
memahami akidah yang benar dan tidak mengerti perkara-perkara yang bertentangan
dengannya, sehingga yang benar dianggap batil dan yang batil pun dianggap
benar. Hal ini sebagaimana pernah disinggung oleh Umar bin Khaththab
radhiyallahu ‘anhu, “Jalinan agama Islam itu akan terurai satu persatu, apabila
di kalangan umat Islam tumbuh sebuah generasi yang tidak mengerti hakikat
jahiliyah.”
2).Lalai dari merenungkan ayat-ayat
Allah, baik ayat kauniyah maupun qur’aniyah. Ini terjadi karena terlalu
mengagumi perkembangan kebudayaan materialistik yang digembar-gemborkan orang
barat. Sampai-sampai masyarakat mengira bahwa kemajuan itu diukur dengan sejauh
mana kita bisa meniru gaya hidup mereka. Mereka menyangka kecanggihan dan
kekayaan materi adalah ukuran kehebatan, sampai-sampai mereka terheran-heran
atas kecerdasan mereka. Mereka lupa akan kekuasaan dan keluasan ilmu Allah yang
telah menciptakan mereka dan memudahkan berbagai perkara untuk mencapai
kemajuan fisik semacam itu. Ini sebagaimana perkataan Qarun yang menyombongkan
dirinya di hadapan manusia, “Sesungguhnya aku mendapatkan hartaku ini hanya
karena pengetahuan yang kumiliki.” (QS. Al Qashash: 78).
3). Kebanyakan rumah tangga telah
kehilangan bimbingan agama yang benar. Padahal peranan orang tua sebagai
pembina putra-putrinya sangatlah besar. Hal ini sebagaimana telah digariskan
oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Setiap bayi dilahirkan dalam keadaan
fitrah. Kedua orang tuanyalah yang akan menjadikannya Yahudi, Nasrani atau
Majusi.” (HR. Bukhari).
Prinsip
pertama: Berserah diri pada Allah dengan bertauhid
Maksud prinsip
ini adalah beribadah murni kepada Allah semata, tidak pada yang lainnya. Siapa
yang tidak berserah diri kepada Allah, maka ia termasuk orang-orang yang
sombong. Begitu pula orang yang berserah diri pada Allah juga pada selain-Nya
(artinya: Allah itu diduakan dalam ibadah), maka ia disebut musyrik. Yang
berserah diri pada Allah semata, itulah yang disebut muwahhid (ahli tauhid).
Tauhid adalah
mengesakan Allah dalam ibadah. Sesembahan itu beraneka ragam, orang yang
bertauhid hanya menjadikan Allah sebagai satu-satunya sesembahan. Allah Ta’ala
berfirman,
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ
الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ
الْقَيِّمَةِ
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah
dengan memurnikan ibadah kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan
supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah
agama yang lurus.” (QS. Al Bayyinah: 5).
Prinsip kedua:
Taat kepada Allah dengan melakukan ketaatan
Orang yang
bertauhid berarti berprinsip pula menjalankan perintah Allah dan menjauhi
larangan-Nya. Ketaatan berarti menjalankan perintah dan menjauhi larangan. Jadi
tidak cukup menjadi seorang muwahhid (meyakini Allah itu diesakan dalam ibadah)
tanpa ada amal. Ketaatan itu sangat
berhubungan dengan memanfaatkan waktu dalam hidup dan waktu itu sendiri akan
berisikan persiapan Hisab :pesan Sayyidul Auliya Syaikh Abdul Qadir
al-Jailani bahwa:
لاَبُدَّ لِكُلِّ مُؤْمِنٍ فِى سَائِرِ
اَحْوَالِهِ مِنْ ثَلَاثَةِ أَشْيَاء: أَمْرٌ يَمْتَثِلُهُ وَنَهْيٌ يَجْتَنِبُهُ وَقَدْرٌ
يَرْضَى بِهِ
Setiap muslim harus berada dalam tiga keadaan yaitu, melaksanakan perintah
Allah, menjauhi larangan Allah dan rela akan qadha dan qadar (ketetapan) Allah
Swt.
Harus manusia
sadari bahwa waktu
itu berjalan dan berproses untuk
manusia itu sendiri. Dan
pada kondisi nanti seluruh
manusia akan di kembalikan
kepada Allah, sesuai dengan firmannya : وَإِن
كُلٌّ لَّمَّا جَمِيعٌ لَّدَيْنَا مُحْضَرُونَ
Dan setiap mereka semuanya akan
dikumpulkan lagi kepada Kami. ( QS Yaa
Siin (36) -Verse 32 )
Situasi di kumpulkannya seluruh manusia tidak lain adalah proses Hisab ( perhitungan ). Secara
bahasa (etimologi ) hisab adalah perhitungan. Secara Syar’i (terminologi)
adalah Alllah memperlihatkan kepada hamba-hamba-Nya tentang amal-amal
mereka. Pengertian hisab adalah, peristiwa Allah menampakkan kepada
manusia amalan mereka di dunia dan menetapkannya. Allah SWT mengingatkan dan memberitahukan kepada
manusia tentang amalan kebaikan dan keburukan yang telah mereka lakukan.
Hisab
menurut istilah aqidah memiliki dua pengertian.
Pertama. Al ‘Aradh (penampakan dosa dan pengakuan), Pengertian umum, yaitu seluruh makhluk ditampakkan di hadapan Allah dalam keadaan menampakkan lembaran amalan mereka. Ini mencakup orang yang dimunaqasyah hisabnya dan yang tidak dihisab. وَإِن كُلٌّ لَّمَّا جَمِيعٌ لَّدَيْنَا مُحْضَرُونَ Dan setiap mereka semuanya akan dikumpulkan lagi kepada Kami. ( QS Yaa Siin (36) -Verse 32 )
Pertama. Al ‘Aradh (penampakan dosa dan pengakuan), Pengertian umum, yaitu seluruh makhluk ditampakkan di hadapan Allah dalam keadaan menampakkan lembaran amalan mereka. Ini mencakup orang yang dimunaqasyah hisabnya dan yang tidak dihisab. وَإِن كُلٌّ لَّمَّا جَمِيعٌ لَّدَيْنَا مُحْضَرُونَ Dan setiap mereka semuanya akan dikumpulkan lagi kepada Kami. ( QS Yaa Siin (36) -Verse 32 )
Situasi di kumpulkannya seluruh manusia tidak lain adalah proses Hisab ( perhitungan ).
Kedua.
Munaqasyah
(diperiksa secara sungguh-sungguh) dan inilah yang dinamakan hisab
(perhitungan) antara kebaikan dan keburukan.
Sebagai perenungan sejarah
Khalifah Umar Ibn Khottab berkata :
حَاسِبُوا
أَنْفُسَكُمْ قَبْلَ أَنْ تُحَاسَبُوا، وَزِنُوا أَنْفُسَكُمْ قَبْلَ أَنْ
تُوزَنُوا،فَإِنَّهُ أَهْوَنُ فِي الْحِسَابِ غَدًا أَنْ تُحَاسِبُوا أَنْفُسَكُمُ
الْيَوْمَ
“Hisablah
diri kalian sebelum kalian dihisab, timbanglah diri kalian sebelum (amal)
kalian ditimbang, karena lebih ringan bagi kalian tatkala kalian dihisab kelak,
jika kalian menghisab diri kalian sekarang.”
Kalimat syaidina
Ummar ibnu Khattab sangat
mempunyai hubungan dengan
apa yang pernah rasulallah sabdakan :
لَا تَزُولُ قَدَمَا الْعَبْدِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى
يُسْأَلَ عَنْ خَمْسِ خِصَالٍ، وَعَنْ عُمُرِهِ فِيمَا أَفْنَاهُ، عَنْ شَبَابِهِ
فِيمَا أَبْلَاهُ، وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ؟ وَأَيْنَ أَنْفَقَهُ؟
وَعَنْ عِلْمِهِ مَاذَا عَمِلَ فِيهِ
“Tidak
akan bergeser dua kaki seorang hamba hingga ia ditanya tentang 5 perkara,
tentang umurnya kemana ia habiskan?, tentang masa mudanya kemana ia habiskan?,
tentang hartanya dari mana ia mendapatkannya dan kemana ia gunakan?, tentang
ilmunya apa yang ia telah amalkan?” (HR. At-Tirmidzi, dan ada syawahidnya
menjadi hadits hasan).
الْيَوْمَ
تُجْزَىٰ كُلُّ نَفْسٍ بِمَا كَسَبَتْ ۚ لَا ظُلْمَ الْيَوْمَ ۚ إِنَّ اللَّهَ
سَرِيعُ الْحِسَابِ
artinya :Pada
hari ini, tiap-tiap jiwa diberi balasan dengan apa yang diusahakannya. Tidak
ada yang dirugikan pada hari ini. Sesungguhnya Allah amat cepat hisabnya. [al
Mu’min / 40 : 17].
Prinsip ketiga: Berlepas diri
dari syirik dan pelaku syirik
Tidak cukup
seseorang berprinsip dengan dua prinsip di atas. Tidak cukup ia hanya beribadah
kepada Allah saja, ia juga harus berlepas diri dari syirik dan pelaku syirik.
Jadi prinsip seorang muslim adalah ia meyakini batilnya kesyirikan dan ia pun
mengkafirkan orang-orang musyrik. Seorang muslim harus membenci dan memusuhi mereka
karena Allah. Karena prinsip seorang muslim adalah mencintai apa dan siapa yang
Allah cintai dan membenci apa dan siapa yang Allah benci.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا آَبَاءَكُمْ
وَإِخْوَانَكُمْ أَوْلِيَاءَ إِنِ اسْتَحَبُّوا الْكُفْرَ عَلَى الْإِيمَانِ
وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
“Hai orang-orang beriman, janganlah kamu jadikan bapak-bapak dan
saudara-saudaramu menjadi wali(mu), jika mereka lebih mengutamakan kekafiran
atas keimanan dan siapa di antara kamu yang menjadikan mereka wali, maka mereka
itulah orang-orang yang zalim.” (QS. At Taubah: 23).
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا عَدُوِّي
وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَاءَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku
dan musuhmu menjadi teman-teman setia.” (QS. Al Mumtahanah: 1).
Ayat ini
sepertinya perlu kita renungkan khusus, karena berafiliasi kepada “ fiqh Siyasah “ fiqh kepemimpinan
atau kekuasaan, Allah Swt
menegaskan jangan mengambil musuh musuh Allah yaitu orang yang tidak
beriman kepadanya sebagai teman setia, apalagi menjadi pemimpin suatu ummat yang beriman. Bahkan
manusia dapat terkategori zholim jika
bapak bapaknya dan kerabatnya
mengutamakan kekafiran dari beriman jika
kita serahkan kepemimpinan. وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
Demikianlah prinsip agar disebut muslim sejati, yaitu
bertauhid, melakukan ketaatan dan berlepas diri dari syirik dan pelaku syirik.
Kesimpulan :
Pemahaman
ummat tentang agamanya harus di lakukan secara konfrehensif ( menyeluruh
). Dengan di dasari berbagai pendekatan yang sya,riyah. Aqidah akan melahirkan nilai nilai Ibadah
yang mulia di sisi Allah, Dengan Kethoatan yang berdimensi waktu akan memudahkan
proses Hisab saat di kembalikan kepada
pemilik kehidupan yang hakiki yaitu Allah SWT.
وَذَكِّرْ فَإِنَّ الذِّكْرَى تَنفَعُ الْمُؤْمِنِينَ
Dan
tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi
orang-orang yang beriman.'' (QS al-Dzariyat [51]: 55).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar