“Hubungan Keberkahan
dalam Memaknai Pergeseran Waktu “
oleh : Drs.H.Hamzah MM
Bismillahirrohmaanirrohim
Keberkahan hidup seseorang dengan perjalanan waktu sesuatu
yang tidak bisa di pisahkan begitu saja. Keduanya
pada dasarnya sangat
mempunyai pengaruh yang sangat bernilai sangat signifikan. Waktu dan keberkahan itulah yang saat ini begitu banyak di salah artikan oleh
sebahagian manusia yang masih diberikan opportunity (kesempatan) berkinerja
atau berproduksi oleh Allah SWT, Kemudian bagaimana hubungan keberkahan
dan Waktu dalam pandangan Islam ?
Setiap orang
tentu saja ingin memperoleh keberkahan dalam hidupnya di dunia ini. Karena itu kita selalu berdo'a dan meminta
orang lain mendo'akan kita agar segala sesuatu yang kita milikidan kita upayakan memperoleh keberkahan dari Allah
SWT.
Secara harfiah,
berkah berarti an-nama' waz ziyadah yakni tumbuh dan bertambah, ini
berarti Berkah adalah kebaikan yang bersumber dari Allah yang ditetapkan
terhadap sesuatu sebagaimana mestinya sehingga apa yang diperoleh dan
dimiliki akan selalu berkembang dan bertambah besar manfaatkebaikannya. Kalau sesuatu yang kita miliki membawa pengaruh negatif, maka kita
berarti tidak memperoleh keberkahan yang di idamkan setiap manusia itu terutama
di sisi Allah.
Teramat sering kita
mendengar orang mengucapkan kata kata Berkah. Seperti kalimat “ Semoga selalu di berikan keberkahan “. “Berkah” atau “al-barakah” bila kita pelajari dengan
sebenarnya, baik melalui ilmu bahasa Arab atau melalui dalil-dalil dalam
al-Qur’an dan as-Sunnah, niscaya kita akan mendapatkan, bahwa “al barakah”
memiliki kandungan dan pemahaman yang sangat luas ,Secara ilmu bahasa,
“al-barakah” berarti “Berkembang, bertambah dan kebahagiaan.”
(Al-Misbah al-Munir oleh al-Faiyyumy 1/45. )
Imam
an-Nawawi berkata, “Asal makna keberkahan ialah kebaikan yang banyak dan abadi.” (Syarah Shahih Muslim oleh
an-Nawawi, 1/225).
Dalam
ucapan salam ada kalimah “wabarakatuh” yang dimaksud adalah
mudah-mudahan Allah memberikan keberkahan. Kamus al Munawwir memberikan
definisi “berkah” diambil dari “albarkatu” diartikan “an ni’mah” (kenikmatan);
“assa’adah” (kebahagiaan); “annamaau, azziyadatu” (penambahan). Secara bahasa
bisa jadi berkah adalah suatu kenikmatan atau suatu kebahagiaan atau sebuah
penambahan. Keberkahan hakiki pada dasarnya di sisi
Allah yang di tuliskan dalam
alqur,an, berarti ketika
kita mengikuti apa
yang ada dalam alqur’an berarti
mengarah pada satu titik keberkahan. Pada dua
sisi yaitu Dunia
dan akhirat.
وَهَذَا ذِكْرٌ مُّبَارَكٌ أَنزَلْنَاهُ أَفَأَنتُمْ لَهُ
مُنكِرُونَ
Artinya : Dan Al Qur'an ini adalah suatu kitab
(peringatan) yang mempunyai berkah yang telah Kami turunkan. Maka mengapakah
kamu mengingkarinya ( QS Al Anbiyaa'
(21) -Verse 50 )
Secara
umum, keberkahan yang diberikan Allah kepada orang-orang yang beriman bisa kita
bagi kedalam tiga bentuk.
Pertama, berkah dalam
keturunan, yakni dengan lahirnya generasi yang shaleh. Generasi yang shaleh
adalah yang kuat imannya, luas ilmunya dan pertumbuhan menunjukan nilai-nilai
intelektual religiusitas sehing
melahirkan banyak amal shalehnya, ini merupakan sesuatu yang amat
penting, apalagi terwujudnya generasi yang berkualitas memang dambaan setiap
manusia.
Kedua,
keberkahan dalam soal ekonomi sandang pangan. Yaitu makanan yang
yang diperoleh dengan cara halal dan thayyib, hal ini karena ulama ahli
tafsir, misalnya Ibnu Katsir menjelaskan bahwa keberkahan dari langit dan bumi
adalah rizki makanan. Yang dimaksud makanan yang halal adalah disamping halal
jenisnya juga halal dalam mendapatkannya, sehingga bagi orang yang diberkahi
Allah, dia tidak akan menghalalkan segala cara dalam memperoleh nafkah.
Kunci
Keberkahan
Dengan
demikian menjadi jelas bagi kita bahwa sebagai seorang muslim, keberkahan dari
Allah untuk kita merupakan sesuatu yang amat penting. Karena itu, ada kunci
yang harus kita miliki dan usahakan dalam hidup ini. Sekurang-kurangnya, ada
dua faktor yang menjadi kunci keberkahan itu.
1.
Iman dan Taqwa Yang Benar
Di
dalam ayat di atas, sudah dikemukakan bahwa Allah akan menganugerahkan
keberkahan kepada hamba- hambanya yang beriman dan bertaqwa kepada-Nya. Semakin
mantap iman dan taqwa yang kita miliki, maka semakin besar keberkahan yang
Allah berikan kepada kita. Karena itu menjadi keharusan kita bersama untuk
terus memperkokoh iman dan taqwa kepada Allah SWT.
Salah
satu ayat yang amat menekankan pengingkatan taqwa kepada orang yang beriman
adalah firman Allah yang artinya :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اتَّقُواْ اللّهَ حَقَّ
تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُم مُّسْلِمُونَ
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah
kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu
mati melainkan dalam keadaan beragama Islam. (Ali Imran (3) -Verse 102)
Keimanan
dan ketaqwaan yang benar selalu ditunjukkan oleh seorang mu'min dalam bentuk
melaksanakan perintah Allah dan meninggalkan larangan-Nya, baik dalam keadaan
senang maupun susah, dalam keadaan sendiri maupun bersama orang lain.
2.
Berpedoman kepada Al-Qur'an
Al-Qur'an
merupakan sumber keberkahan sehingga apabila kita menjalankan pesan-pesan yang
terkandung di dalam Al-Qur'an dan berpedoman kepadanya dalam berbagai aspek
kehidupan, niscaya kita akan memperoleh keberkahan dari Allah SWT, Allah SWT
berfirman yang artinya : "Dan
Al-Qur'an ini adalah suatu kitab (peringatan) yang mempunyai berkah yang telah
kami turunkan. Maka mengapakah kamu mengingkarinya?". (QS 21 :
50, lihat juga QS 38 : 29, 6 : 155).
Karena
harus kita jalankan dan pedomani dalam kehidupan ini, maka setiap kita harus
mengimani kebenaran Al-Qur'an yang merupakan wahyu dari Allah SWT sehingga
tidak akan kita temukan kelemahan didalamnya, selanjutnya kita membaca serta
menjalankannya dalam kehidupan sehari-hari, baik menyangkut aspek pribadi,
keluarga, masyarakat maupun bangsa.
Akhirnya
menjadi jelas bagi kita bahwa, keberkahan dari Allah yang kita dambakan itu,
memperolehnya harus dengan berdo'a dan berusaha yang sungguh-sungguh, yakni
dalam bentuk memantapkan iman dan taqwa serta selalu menjadikan Al-Qur'an
sebagai pedoman dalam hidup ini.
Jika
orang barat mengatakan “time is money” waktu adalah uang, maka pepatah arab
mengatakan “’al-waqtu huwa al-hayâh” waktu adalah kehidupan. Ada juga yang
mengatakan
الوَقْتُ كَالسَّيْففَإِنْلَمْ تَقْطَعْ قَطَعَكَ
Waktu
ibarat pedang
Jika kau tidak bisa menggunakannya, maka akan memotongmu
Jika kau tidak bisa menggunakannya, maka akan memotongmu
Tiga
kata mutiara ini menggambarkan akan pentingnya waktu bagi kehidupan seseorang.
Jika yang pertama menggambarkan akan pemikiran materialistis, tetapi yang kedua
dan ketiga menggambarkan arti yang lebih penting dari sekedar uang.
Yang
dimaksud dengan kehidupan adalah, waktu yang dilalui manusia saat ia dilahirkan
hingga ia wafat. Dengan definisi kehidupan seperti di atas, maka kita dapat
mengambil kesimpulan bahwa, seseorang yang membiarkan waktunya berlalu sia-sia,
dan lenyap begitu saja, sama artinya ia –dengan sengaja atau tidak sengaja-
telah melenyapkan sisa-sisa masa kehidupannya. Al-Hasan al-Bashri berkata,
يَا ابْنَ آدَم، إنَّمَا أنْتَ أيَّامٌ !، فَإذَا ذَهَبَ
يَوْمٌ ذَهَبَ بَعْضُكَ
“Wahai Bani Adam (manusia), sesungguhnya anda hanyalah “kumpulan hari-hari”, maka jika hari telah berlalu berarti telah berlalu sebagian dirimu.” [ Hilyatul Awliya’, 2/148, Darul Kutub Al ‘Arobi ].
“Wahai Bani Adam (manusia), sesungguhnya anda hanyalah “kumpulan hari-hari”, maka jika hari telah berlalu berarti telah berlalu sebagian dirimu.” [ Hilyatul Awliya’, 2/148, Darul Kutub Al ‘Arobi ].
Sekali
bahwa ketika kita menyia-nyiakan dan membuang waktu kita tanpa hal yang berarti
untuk agama dan kemaslahatan umat, maka ketika itu juga sesungguh kita telah
membunuh diri kita sendiri. Betapa waktu itu sangat berharga dan jangan biarkan
ia berlalu begitu saja.
Berkarya dalam Waktu
Beberapa analisa tentang waktu bagi manusia adalah :
Ø Waktu
memiliki sifat irreversible (tidak
pernah kembali),
Ø Waktu
untransfersible (tidak bisa dipindahkan kepada orang lain),
Ø Waktu itu
unsubstitution (tidak tergantikan oleh apa pun )
Ø dan waktu itu
unpayable (tak dapat dibeli).
Para
salafus soleh meninggalkan banyak pelajaran berharga dalam menghargai waktu.
Mereka adalah contoh terbaik dalam menggunakan waktu. Imam Ibnu Jarir
ath-Thabari (223H-310H) sepanjang hidupnya tercatat telah mengumpulkan 358 ribu
halaman dari berbagai karangannya.
Begitu
pula dengan Imam Ibnu al-Qayyim yang tidak rela kehilangan waktunya karena
safar (suatu perjalanan), sehingga selama safarnya beliau mengisinya dengan
menulis hingga menghasilkan karya Zaadul Ma`aad.
Imam
Nawawi yang tidur dengan bersandarkan sebuah buku yang ditegakkan pada dagunya,
begitu buku itu terjatuh maka beliau terjaga dan kembali menggoreskan tintanya.
Itulah
beberapa gambaran para salaf dalam menggunakan waktunya. Mereka tidak ingin
waktu terbuang sia-sia tanpa suatu amalan yang bermanfaat. Sekarang marilah
kita bertanya pada diri kita, sudahkah kita mengikuti jejak mereka dalam
menjaga waktu ?. Berapa hadis dan ayat yang telah kita baca dan kita hafal pada
hari ini ?. Seberapakah amalan kebaikan yang kita lakukan pada hari ini ?. Ini
menjadi instropeksi pada diri kita utuk menyusun program sehingga amalan kita
dapat terarah dan dapat dievaluasi.
Sayyidina Ali bin Abi Thalib r.a. pernah bersabda,
"Rezeki yang tidak diperoleh hari ini masih dapat
diharapkan perolehannya lebih banyak di hari esok, tetapi waktu yang berlalu
hari ini, tidak mungkin kembali esok."
Al-Quran
menggunakan beberapa kata untuk
menunjukkan makna-makna di atas, seperti:
a. Ajal, untuk menunjukkan waktu berakhirnya sesuatu,
seperti berakhirnya usia manusia atau masyarakat. Setiap umat mempunyai batas waktu
berakhirnya usia (QS Yunus [10]: 49)
b. Dahr digunakan untuk saat berkepanjangan yang
dilalui alam raya dalam kehidupan dunia ini,
yaitu sejak diciptakan-Nya sampai punahnya alam sementara ini.
Bukankah telah
pernah datang (terjadi) kepada manusia satu dahr (waktu) sedangkan ia ketika
itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut (karena belum ada di alam ini?) (QS Al-insan
[76]: 1).
c. Waqt digunakan dalam arti
batas akhir kesempatan atau peluang untuk
menyelesaikan suatu peristiwa. Karena itu, sering
kali Al-Quran menggunakannya dalam konteks
kadar tertentu dari satu masa.
Sesungguhnya
shalat itu adalah kewajiban kepada orang-orang Mukmin yang tertentu
waktu-waktunya (QS Al-Nisa' [4]: 103) .
Intropeksi
Diri dalam Vallue Imaniyah
Sudah
selazimnya bagi seorang muslim untuk melakukan muhâsabah an-nafsi ‘intropeksi
diri’, yaitu menghitung-hitung dirinya atas tahun dan hari-hari yang telah ia
lalui
Berkata Ibnul Qayyim rahimahullah:
Muhasabah ada dua macam, sebelum beramal dan sesudahnya.
* Jenis yang pertama: Sebelum beramal,
yaitu dengan berfikir sejenak ketika hendak berbuat sesuatu, dan jangan
langsung mengerjakan sampai nyata baginya kemaslahatan untuk melakukan atau
tidaknya. Al-Hasan berkata: "Semoga Allah merahmati seorang hamba yang
berdiam sejenak ketika terdetik dalam fikirannya suatu hal, jika itu adalah
amalan ketaatan pada Allah, maka ia melakukannya, sebaliknya jika bukan, maka
ia tinggalkan".
* Jenis yang kedua: Introspeksi diri setelah melakukan perbuatan. Ini ada tiga jenis:
* Jenis yang kedua: Introspeksi diri setelah melakukan perbuatan. Ini ada tiga jenis:
1)
Mengintrospeksi
ketaatan berkaitan dengan hak Allah yang belum sepenuhnya ia lakukan, lalu ia
juga muhasabah, apakah ia sudah melakukan ketaatan pada Allah sebagaimana yang
dikehendaki-Nya atau belum ?
2)
Introspeksi
diri terhadap setiap perbuatan yang mana meninggalkannya adalah lebih baik dari
melakukannya.
3)
Introspeksi
diri tentang perkara yang mubah atau sudah menjadi kebiasaan, mengapa mesti ia
lakukan? Apakah ia mengharapkan Wajah Allah dan negeri akherat? Sehingga
(dengan demikian) ia akan beruntung, atau ia ingin dunia yang fana? Sehingga
iapun merugi dan tidak mendapat keberuntungan.
Muhasabah memiliki dampak positif dan
manfaat yang luar biasa, antara lain:
1. Mengetahui aib sendiri. Barangsiapa yang tidak
memeriksa aib dirinya, maka ia tidak akan mungkin menghilangkannya.
2. Dengan bermuhasabah,
seseorang akan kritis pada dirinya dalam menunaikan hak Allah. Berkata Muhammad
bin Wasi' rahimahullah dengan nada merendah diri, padahal beliau adalah seorang
ahli ibadah: "Seandainya dosa berbau, tentu tidak ada yang betah duduk
bersamaku"
Introsfeksi
sering di lakukan seseorang,.tetapi sangat di sayangkan jika
yang di lakukan bukan introsfeksi imaniyah, justru hal
inilah yang akan seluruh manusia rekonsiliasikan pada mahkamah
kemulyaan yaitu yaumul mahsyar.Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman:
قُلْ مَتَاعُ الدَّنْيَا قَلِيلٌ وَالآخِرَةُ خَيْرٌ لِّمَنِ
اتَّقَى وَلاَ تُظْلَمُونَ فَتِيلاً
“Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan
akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertaqwa dan anda tidak akan
dianiaya sedikitpun.”(QS. An-Nisaa:77)
Karena
itu muhasabatunnafsi merupakan suatu keharusan. Seandainya tidak sanggup setiap
hari untuk instropeksi atau menghitungkan dirinya hendaklah dilakukan pada
setiap pekan. Jika setiap pekan ia masih juga tak dapat melakukannya, hendaklah
setiap bulan. Dan kalau tidak bisa juga maka hendaklah ia melakukan instropeksi
diri pada setiap tahun. Akan tetapi semakin lama kita menunda dalam muhasabah,
akan semakin lama pula kita dalam perbaikan diri.
Gunakan
waktu malam ketika hendak tidur untuk meneliti kegiatan kita selama satu hari.
Bertaubat dan bersitighfarlah jika siang hari melakukan kesalahan. Dan
rencanakan hari kemudian dengan kebaikan yang dapat menghapus dosa pada hari
yang lalu.
Optimalkan
Amal
Dalam Kamus Besar Bahasa indonesia
paling tidak terdapat empat arti kata "waktu":
(1) seluruh rangkaian saat,
yang telah berlalu, sekarang, dan yang akan datang;
(2) saat tertentu
untuk menyelesaikan sesuatu;
(3) kesempatan, tempo,
atau peluang;
(4) ketika, atau saat terjadinya
sesuatu.
Waktu
hidup manusia di dunia adalah umurnya, dan umur manusia merupakan rahasia Allah
Subhanahu wa Ta’ala. Kualitas umur seseorang sangat menentukan posisinya di
alam kehidupan berikutnya. Jika dari waktunya diperuntukkan hanya karena Allah
maka kematiannya adalah baik baginya. Namun sebaliknya jika waktu dan umurnya
dihabiskan untuk menuruti kesenangan nafsu dan dan ambisi syahwat hewaninya
maka kematiannya merupakan petaka besar baginya. Ibnu Mas`ud Radhiyallahu ‘Anhu
berkata:
مَا نَدِمْتُ عَلَى شَيْءٍ نَدَمِي عَلَى يَوْمٍ غَرَبَتْ
شَمْسُهُ، نَقَصَ فِيْهِ أجَلِي،
وَلَمْ يَزِد فِيْهِ عَمَلِي
“Tidak
ada yang lebih aku sesali, kecuali bila matahari telah terbenam maka
berkuranglah masa ajalku, namun tidak bertambah sedikitpun amalanku.” (Mawaridu
adh-Dham’an : 3/30).
Berkata Khalifah Umar bin Abdul Aziz
Rahimahullah,
إنَّ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ يَعْمَلاَنِ فِيْكَ، فَاعْمَلْ
فِيْهِمَا
“Sesungguhnya malam dan siang terus bekerja dalam dirimu, maka bekarjalah di dalam siang dan malammu.”
“Sesungguhnya malam dan siang terus bekerja dalam dirimu, maka bekarjalah di dalam siang dan malammu.”
Imam
Ibnul qoyyim juga mengatakan :
اِضَاعَةُ الوَقْتِ اَشَدُّ مِنَ الموْتِ لِاَنَّ اِضَاعَةَ
الوَقْتِ تَقْطَعُكَ عَنِ اللهِ وَالدَّارِ الآخِرَةِ وَالموْتِ يَقْطَعُكَ عَنِ
الدُّنْيَا وَاَهْلِهَا
“Menyia-nyiakan
waktu itu lebih parah dari kematian. Karena menyia-nyiakan waktu memutuskanmu
dari (mengingat) Allah dan negeri akhirat. Sedangkan kematian hanya
memutuskanmu dari dunia dan penghuninya.”
Hikmah
mendasar dari narasi singkat
ini adalah bahwa kita perlu
dengan cermat memprediksi sebuah keberkahankah atau bukankah apa yang
kita rasakan saat ini.
لاَ تَزُولُ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى
يُسْأَلَ عَنْ عُمُرِهِ فِيمَا أَفْنَاهُ وَعَنْ عِلْمِهِ فِيمَ فَعَلَ وَعَنْ
مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيمَ أَنْفَقَهُ وَعَنْ جِسْمِهِ فِيمَ
أَبْلاَهُ (رواه الترمذي وقَالَ هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ
Artinya Tidak akan bergeser kedua kaki manusia pada hari Kimat hingga (ia) ditanya tentang: tentang umurnya, untuk apa ia habiskan ? tentang ilmunya, sudahkan ia amalkan ? tentang hartanya, dari mana dia peroleh dan untuk apa ia belanjakan ? tentang jasadnya, untuk apa ia gunakan ?. (HR. At-Tirmidzi)
Semoga
Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan taufik, hidayah dan keberkahan-Nya dalam
hidup dan umur kita. Amiin. (Jeruk Purut 2013.embunkeimananhz)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar