Selasa, 01 Januari 2013

Waktu dan Sebuah Keberkahan


“Hubungan Keberkahan 
dalam Memaknai Pergeseran Waktu “
oleh : Drs.H.Hamzah MM
Bismillahirrohmaanirrohim
Keberkahan  hidup seseorang   dengan perjalanan waktu  sesuatu  yang  tidak bisa  di pisahkan begitu saja.  Keduanya  pada  dasarnya  sangat  mempunyai  pengaruh yang  sangat bernilai sangat  signifikan. Waktu  dan keberkahan itulah yang saat ini  begitu banyak di salah artikan oleh sebahagian manusia yang masih diberikan opportunity (kesempatan) berkinerja atau  berproduksi oleh  Allah SWT, Kemudian bagaimana hubungan keberkahan dan Waktu dalam pandangan Islam ?
Setiap orang tentu saja ingin memperoleh keberkahan dalam hidupnya di dunia ini. Karena itu kita selalu berdo'a dan meminta orang lain mendo'akan kita agar segala sesuatu yang kita milikidan kita upayakan memperoleh keberkahan dari Allah SWT.

Secara harfiah, berkah berarti an-nama' waz ziyadah yakni tumbuh dan bertambah, ini berarti Berkah adalah kebaikan yang bersumber dari Allah yang ditetapkan terhadap sesuatu sebagaimana mestinya sehingga apa yang diperoleh dan dimiliki akan selalu berkembang dan bertambah besar manfaatkebaikannya. Kalau sesuatu yang kita miliki membawa pengaruh negatif, maka kita berarti tidak memperoleh keberkahan yang di idamkan setiap manusia  itu terutama  di sisi  Allah.
Teramat sering  kita  mendengar  orang  mengucapkan kata kata  Berkah. Seperti kalimat “ Semoga  selalu di berikan keberkahan “. “Berkah” atau “al-barakah” bila kita pelajari dengan sebenarnya, baik melalui ilmu bahasa Arab atau melalui dalil-dalil dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, niscaya kita akan mendapatkan, bahwa “al barakah” memiliki kandungan dan pemahaman yang sangat luas ,Secara ilmu bahasa, “al-barakah” berarti “Berkembang, bertambah dan kebahagiaan.” (Al-Misbah al-Munir oleh al-Faiyyumy 1/45. )
Imam an-Nawawi berkata, “Asal makna keberkahan ialah kebaikan yang  banyak dan  abadi.” (Syarah Shahih Muslim oleh an-Nawawi, 1/225).
Dalam ucapan salam ada kalimah “wabarakatuh” yang dimaksud adalah mudah-mudahan Allah memberikan keberkahan. Kamus al Munawwir memberikan definisi “berkah” diambil dari “albarkatu” diartikan “an ni’mah” (kenikmatan); “assa’adah” (kebahagiaan); “annamaau, azziyadatu” (penambahan). Secara bahasa bisa jadi berkah adalah suatu kenikmatan atau suatu kebahagiaan atau sebuah penambahan. Keberkahan  hakiki pada dasarnya  di sisi  Allah yang  di tuliskan dalam alqur,an,  berarti  ketika  kita  mengikuti  apa  yang ada  dalam alqur’an  berarti  mengarah pada  satu  titik keberkahan. Pada  dua  sisi  yaitu  Dunia  dan akhirat.
وَهَذَا ذِكْرٌ مُّبَارَكٌ أَنزَلْنَاهُ أَفَأَنتُمْ لَهُ مُنكِرُونَ
Artinya  : Dan Al Qur'an ini adalah suatu kitab (peringatan) yang mempunyai berkah yang telah Kami turunkan. Maka mengapakah kamu mengingkarinya ( QS  Al Anbiyaa' (21) -Verse 50 )
Secara umum, keberkahan yang diberikan Allah kepada orang-orang yang beriman bisa kita bagi kedalam tiga bentuk.  
Pertama, berkah dalam keturunan, yakni dengan lahirnya generasi yang shaleh. Generasi yang shaleh adalah yang kuat imannya, luas ilmunya dan pertumbuhan menunjukan nilai-nilai intelektual religiusitas sehing  melahirkan banyak amal shalehnya, ini merupakan sesuatu yang amat penting, apalagi terwujudnya generasi yang berkualitas memang dambaan setiap manusia.
Kedua, keberkahan dalam soal ekonomi sandang pangan. Yaitu makanan yang yang  diperoleh dengan cara  halal dan thayyib, hal ini karena ulama ahli tafsir, misalnya Ibnu Katsir menjelaskan bahwa keberkahan dari langit dan bumi adalah rizki makanan. Yang dimaksud makanan yang halal adalah disamping halal jenisnya juga halal dalam mendapatkannya, sehingga bagi orang yang diberkahi Allah, dia tidak akan menghalalkan segala cara dalam memperoleh nafkah.
Kunci Keberkahan
Dengan demikian menjadi jelas bagi kita bahwa sebagai seorang muslim, keberkahan dari Allah untuk kita merupakan sesuatu yang amat penting. Karena itu, ada kunci yang harus kita miliki dan usahakan dalam hidup ini. Sekurang-kurangnya, ada dua faktor yang menjadi kunci keberkahan itu.
1. Iman dan Taqwa Yang Benar
Di dalam ayat di atas, sudah dikemukakan bahwa Allah akan menganugerahkan keberkahan kepada hamba- hambanya yang beriman dan bertaqwa kepada-Nya. Semakin mantap iman dan taqwa yang kita miliki, maka semakin besar keberkahan yang Allah berikan kepada kita. Karena itu menjadi keharusan kita bersama untuk terus memperkokoh iman dan taqwa kepada Allah SWT.
Salah satu ayat yang amat menekankan pengingkatan taqwa kepada orang yang beriman adalah firman Allah yang artinya :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اتَّقُواْ اللّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُم مُّسْلِمُونَ
Artinya  : Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam. (Ali Imran (3) -Verse 102)

Keimanan dan ketaqwaan yang benar selalu ditunjukkan oleh seorang mu'min dalam bentuk melaksanakan perintah Allah dan meninggalkan larangan-Nya, baik dalam keadaan senang maupun susah, dalam keadaan sendiri maupun bersama orang lain.
2. Berpedoman kepada Al-Qur'an
Al-Qur'an merupakan sumber keberkahan sehingga apabila kita menjalankan pesan-pesan yang terkandung di dalam Al-Qur'an dan berpedoman kepadanya dalam berbagai aspek kehidupan, niscaya kita akan memperoleh keberkahan dari Allah SWT, Allah SWT berfirman yang artinya : "Dan Al-Qur'an ini adalah suatu kitab (peringatan) yang mempunyai berkah yang telah kami turunkan. Maka mengapakah kamu mengingkarinya?". (QS 21 : 50, lihat juga QS 38 : 29, 6 : 155).
Karena harus kita jalankan dan pedomani dalam kehidupan ini, maka setiap kita harus mengimani kebenaran Al-Qur'an yang merupakan wahyu dari Allah SWT sehingga tidak akan kita temukan kelemahan didalamnya, selanjutnya kita membaca serta menjalankannya dalam kehidupan sehari-hari, baik menyangkut aspek pribadi, keluarga, masyarakat maupun bangsa.
Akhirnya menjadi jelas bagi kita bahwa, keberkahan dari Allah yang kita dambakan itu, memperolehnya harus dengan berdo'a dan berusaha yang sungguh-sungguh, yakni dalam bentuk memantapkan iman dan taqwa serta selalu menjadikan Al-Qur'an sebagai pedoman dalam hidup ini.
Jika orang barat mengatakan “time is money” waktu adalah uang, maka pepatah arab mengatakan “’al-waqtu huwa al-hayâh” waktu adalah kehidupan. Ada juga yang mengatakan
الوَقْتُ كَالسَّيْففَإِنْلَمْ تَقْطَعْ قَطَعَكَ
Waktu ibarat pedang
Jika kau tidak bisa menggunakannya, maka akan memotongmu
Tiga kata mutiara ini menggambarkan akan pentingnya waktu bagi kehidupan seseorang. Jika yang pertama menggambarkan akan pemikiran materialistis, tetapi yang kedua dan ketiga menggambarkan arti yang lebih penting dari sekedar uang.
Yang dimaksud dengan kehidupan adalah, waktu yang dilalui manusia saat ia dilahirkan hingga ia wafat. Dengan definisi kehidupan seperti di atas, maka kita dapat mengambil kesimpulan bahwa, seseorang yang membiarkan waktunya berlalu sia-sia, dan lenyap begitu saja, sama artinya ia –dengan sengaja atau tidak sengaja- telah melenyapkan sisa-sisa masa kehidupannya. Al-Hasan al-Bashri berkata,
يَا ابْنَ آدَم، إنَّمَا أنْتَ أيَّامٌ !، فَإذَا ذَهَبَ يَوْمٌ ذَهَبَ بَعْضُكَ
“Wahai Bani Adam (manusia), sesungguhnya anda hanyalah “kumpulan hari-hari”, maka jika hari telah berlalu berarti telah berlalu sebagian dirimu.” [ Hilyatul Awliya’, 2/148, Darul Kutub Al ‘Arobi ].
Sekali bahwa ketika kita menyia-nyiakan dan membuang waktu kita tanpa hal yang berarti untuk agama dan kemaslahatan umat, maka ketika itu juga sesungguh kita telah membunuh diri kita sendiri. Betapa waktu itu sangat berharga dan jangan biarkan ia berlalu begitu saja.

Berkarya   dalam Waktu
Beberapa  analisa tentang waktu bagi  manusia adalah :
Ø Waktu memiliki sifat  irreversible (tidak pernah kembali),
Ø Waktu untransfersible (tidak bisa dipindahkan kepada orang lain),
Ø Waktu  itu  unsubstitution (tidak tergantikan oleh apa pun )
Ø dan  waktu itu  unpayable (tak dapat dibeli).

Para salafus soleh meninggalkan banyak pelajaran berharga dalam menghargai waktu. Mereka adalah contoh terbaik dalam menggunakan waktu. Imam Ibnu Jarir ath-Thabari (223H-310H) sepanjang hidupnya tercatat telah mengumpulkan 358 ribu halaman dari berbagai karangannya.
Begitu pula dengan Imam Ibnu al-Qayyim yang tidak rela kehilangan waktunya karena safar (suatu perjalanan), sehingga selama safarnya beliau mengisinya dengan menulis hingga menghasilkan karya Zaadul Ma`aad.
Imam Nawawi yang tidur dengan bersandarkan sebuah buku yang ditegakkan pada dagunya, begitu buku itu terjatuh maka beliau terjaga dan kembali menggoreskan tintanya.
Itulah beberapa gambaran para salaf dalam menggunakan waktunya. Mereka tidak ingin waktu terbuang sia-sia tanpa suatu amalan yang bermanfaat. Sekarang marilah kita bertanya pada diri kita, sudahkah kita mengikuti jejak mereka dalam menjaga waktu ?. Berapa hadis dan ayat yang telah kita baca dan kita hafal pada hari ini ?. Seberapakah amalan kebaikan yang kita lakukan pada hari ini ?. Ini menjadi instropeksi pada diri kita utuk menyusun program sehingga amalan kita dapat terarah dan dapat dievaluasi.
Sayyidina Ali bin Abi Thalib r.a. pernah bersabda,
"Rezeki yang tidak diperoleh hari ini masih dapat diharapkan perolehannya lebih banyak di hari esok, tetapi waktu yang berlalu hari ini, tidak mungkin kembali esok."

Al-Quran   menggunakan   beberapa   kata   untuk   menunjukkan makna-makna di atas, seperti:

a.   Ajal,  untuk menunjukkan waktu berakhirnya sesuatu, seperti berakhirnya usia manusia atau masyarakat.  Setiap umat mempunyai batas waktu berakhirnya usia (QS Yunus [10]: 49)

b. Dahr   digunakan untuk saat berkepanjangan yang dilalui  alam raya  dalam  kehidupan  dunia  ini, yaitu sejak diciptakan-Nya sampai punahnya alam sementara ini.

Bukankah telah pernah datang (terjadi) kepada manusia satu dahr (waktu) sedangkan ia ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut (karena belum ada di alam ini?) (QS Al-insan [76]: 1).

 c. Waqt    digunakan  dalam  arti  batas  akhir  kesempatan  atau peluang  untuk  menyelesaikan  suatu  peristiwa.  Karena  itu, sering  kali  Al-Quran  menggunakannya  dalam  konteks   kadar tertentu dari satu masa.

Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban kepada orang-orang Mukmin yang tertentu waktu-waktunya (QS Al-Nisa' [4]: 103) .


Intropeksi Diri  dalam Vallue Imaniyah
Sudah selazimnya bagi seorang muslim untuk melakukan muhâsabah an-nafsi ‘intropeksi diri’, yaitu menghitung-hitung dirinya atas tahun dan hari-hari yang telah ia lalui
Berkata Ibnul Qayyim rahimahullah: Muhasabah ada dua macam, sebelum beramal dan sesudahnya.
* Jenis yang pertama: Sebelum beramal, yaitu dengan berfikir sejenak ketika hendak berbuat sesuatu, dan jangan langsung mengerjakan sampai nyata baginya kemaslahatan untuk melakukan atau tidaknya. Al-Hasan berkata: "Semoga Allah merahmati seorang hamba yang berdiam sejenak ketika terdetik dalam fikirannya suatu hal, jika itu adalah amalan ketaatan pada Allah, maka ia melakukannya, sebaliknya jika bukan, maka ia tinggalkan".

* Jenis yang kedua: Introspeksi diri setelah melakukan perbuatan. Ini ada tiga jenis:
1)     Mengintrospeksi ketaatan berkaitan dengan hak Allah yang belum sepenuhnya ia lakukan, lalu ia juga muhasabah, apakah ia sudah melakukan ketaatan pada Allah sebagaimana yang dikehendaki-Nya atau belum ?
2)     Introspeksi diri terhadap setiap perbuatan yang mana meninggalkannya adalah lebih baik dari melakukannya.
3)     Introspeksi diri tentang perkara yang mubah atau sudah menjadi kebiasaan, mengapa mesti ia lakukan? Apakah ia mengharapkan Wajah Allah dan negeri akherat? Sehingga (dengan demikian) ia akan beruntung, atau ia ingin dunia yang fana? Sehingga iapun merugi dan tidak mendapat keberuntungan.
Muhasabah memiliki dampak positif dan manfaat yang luar biasa, antara lain:
1.    Mengetahui  aib sendiri. Barangsiapa yang tidak memeriksa aib dirinya, maka ia tidak akan mungkin menghilangkannya.
2.    Dengan bermuhasabah, seseorang akan kritis pada dirinya dalam menunaikan hak Allah. Berkata Muhammad bin Wasi' rahimahullah dengan nada merendah diri, padahal beliau adalah seorang ahli ibadah: "Seandainya dosa berbau, tentu tidak ada yang betah duduk bersamaku"
Introsfeksi sering  di lakukan  seseorang,.tetapi sangat di sayangkan jika yang di lakukan bukan introsfeksi imaniyah, justru  hal  inilah yang  akan  seluruh manusia rekonsiliasikan pada  mahkamah  kemulyaan  yaitu  yaumul mahsyar.Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
قُلْ مَتَاعُ الدَّنْيَا قَلِيلٌ وَالآخِرَةُ خَيْرٌ لِّمَنِ اتَّقَى وَلاَ تُظْلَمُونَ فَتِيلاً
 “Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertaqwa dan anda tidak akan dianiaya sedikitpun.”(QS. An-Nisaa:77)
Karena itu muhasabatunnafsi merupakan suatu keharusan. Seandainya tidak sanggup setiap hari untuk instropeksi atau menghitungkan dirinya hendaklah dilakukan pada setiap pekan. Jika setiap pekan ia masih juga tak dapat melakukannya, hendaklah setiap bulan. Dan kalau tidak bisa juga maka hendaklah ia melakukan instropeksi diri pada setiap tahun. Akan tetapi semakin lama kita menunda dalam muhasabah, akan semakin lama pula kita dalam perbaikan diri.
Gunakan waktu malam ketika hendak tidur untuk meneliti kegiatan kita selama satu hari. Bertaubat dan bersitighfarlah jika siang hari melakukan kesalahan. Dan rencanakan hari kemudian dengan kebaikan yang dapat menghapus dosa pada hari yang lalu.
Optimalkan Amal
Dalam Kamus Besar Bahasa indonesia paling tidak terdapat empat arti  kata  "waktu": 
(1)  seluruh  rangkaian saat, yang telah berlalu, sekarang, dan yang akan  datang; 
(2)  saat  tertentu untuk  menyelesaikan  sesuatu; 
(3)  kesempatan,  tempo,  atau peluang;
(4) ketika, atau saat terjadinya sesuatu.
Waktu hidup manusia di dunia adalah umurnya, dan umur manusia merupakan rahasia Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kualitas umur seseorang sangat menentukan posisinya di alam kehidupan berikutnya. Jika dari waktunya diperuntukkan hanya karena Allah maka kematiannya adalah baik baginya. Namun sebaliknya jika waktu dan umurnya dihabiskan untuk menuruti kesenangan nafsu dan dan ambisi syahwat hewaninya maka kematiannya merupakan petaka besar baginya. Ibnu Mas`ud Radhiyallahu ‘Anhu berkata:
مَا نَدِمْتُ عَلَى شَيْءٍ نَدَمِي عَلَى يَوْمٍ غَرَبَتْ شَمْسُهُ، نَقَصَ فِيْهِ أجَلِي،
وَلَمْ يَزِد فِيْهِ عَمَلِي
“Tidak ada yang lebih aku sesali, kecuali bila matahari telah terbenam maka berkuranglah masa ajalku, namun tidak bertambah sedikitpun amalanku.” (Mawaridu adh-Dham’an : 3/30).
Berkata Khalifah Umar bin Abdul Aziz Rahimahullah,
إنَّ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ يَعْمَلاَنِ فِيْكَ، فَاعْمَلْ فِيْهِمَا
“Sesungguhnya malam dan siang terus bekerja dalam dirimu, maka bekarjalah di dalam siang dan malammu.”
Imam Ibnul qoyyim juga mengatakan :
اِضَاعَةُ الوَقْتِ اَشَدُّ مِنَ الموْتِ لِاَنَّ اِضَاعَةَ الوَقْتِ تَقْطَعُكَ عَنِ اللهِ وَالدَّارِ الآخِرَةِ وَالموْتِ يَقْطَعُكَ عَنِ الدُّنْيَا وَاَهْلِهَا
“Menyia-nyiakan waktu itu lebih parah dari kematian. Karena menyia-nyiakan waktu memutuskanmu dari (mengingat) Allah dan negeri akhirat. Sedangkan kematian hanya memutuskanmu dari dunia dan penghuninya.”
Hikmah mendasar  dari narasi  singkat  ini adalah  bahwa  kita perlu  dengan  cermat  memprediksi sebuah  keberkahankah atau bukankah apa  yang  kita  rasakan saat ini.
لاَ تَزُولُ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ عُمُرِهِ فِيمَا أَفْنَاهُ وَعَنْ عِلْمِهِ فِيمَ فَعَلَ وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيمَ أَنْفَقَهُ وَعَنْ جِسْمِهِ فِيمَ أَبْلاَهُ (رواه الترمذي وقَالَ هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ

Artinya Tidak akan bergeser kedua kaki manusia pada hari Kimat hingga (ia) ditanya tentang: tentang umurnya, untuk apa ia habiskan ? tentang ilmunya, sudahkan ia amalkan ? tentang hartanya, dari mana dia peroleh dan untuk apa ia belanjakan ? tentang jasadnya, untuk apa ia gunakan ?. (HR. At-Tirmidzi)
Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan taufik, hidayah dan keberkahan-Nya dalam hidup dan umur kita. Amiin. (Jeruk Purut 2013.embunkeimananhz)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar