Pendengaran dan Penglihatan Dalam Perspektif
KEMUKJIZATAN ALQUR,AN & SAINS
Oleh : H.Hamzah Ahamd MM
......إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ
أُولـئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْؤُولاً
Artinya :” ....Sesungguhnya pendengaran dan penglihatan dan hati semuanya
itu akan di minta pertanggung jawabannya.. “
( QS Al-Isro ayat 36 )
A.PENDAHULUAN
Manusia dengan
berbagai keunikan penciptaannya
dari Allah, memang memiliki makna tersendiri untuk di pahami dan di kaji secara mendalam. Pengkajian tersebut akan
mendapatkan hikmah yang lebih dalam lagi
untuk mengerti dan menjalani proses
kehidupan ini. Kesempurnan
jasadiyah manusia dari Allah sangat berpengaruh pada perkembangan berfikir manusia.
Saat terjadinya proses penciptaan manusia atau terbentuknya organ-organ tubuh manusia juga sangat
berpengaruh dari berbagai
asfek. Kesempurnaan ndari organ organ tubuh manusia itu memang sangat
di harapkan oleh setiap manusia. Tetapi dari organ tubuh itu sendiri mempunyai rasponsibility tersendiri di hadapan Allah SWT. Dari organ tubuh yang ada
pada hampir setiap manusia adalah
pendengaran dan penglihatan. Pendengaran
dan penglihatan hampir selalu bergandengan berjalan berdasarkan
redaksi alqur,an. Pada beberapa
ayat pendengaran dan penglihatan
memang berjalan bergandeng, dan selalu di akhiri dengan hal yang bersifat pertanggung jawaban di hari
kemudian ataus aat yang akan datang. Dari kondisi tersebut maka Pendengaran
dan penglihatan mempunyai satu keadaan yang melebihi dari organ yang lain
tetapi mempunyai konsekuensi yang
sangat berat di hadapan Allah. Manusia ketika hilang matanya, maka hilanglah segalanya, hidup dalam
kegelapan sepanjang waktu, tidak bisa melihat apa-apa. Akan tetapi kalau
manusia kehilangan pendengarannya, maka dia masih bisa melihat. Pada saat itu,
musibah yang ia derita lebih ringan daripada ia kehilangan mata. Akan tetapi
Allah swt ketika menyebutkan kata "pendengaran" dalam
Al-Qur'an selalu didahulukan daripada “penglihatan”. Sungguh, ini merupakan
satu mu'jizat Al-Qur'an yang mulia. Tidak
sedikit ayat-ayat Allah Swt yang menguraikan atau memberikan isyarat-syarat
atau stimulus Ilmiah
dalam diri manusia tentunya perlu
di kaji dan di apresiasi secara mendalam dan imaniyah.
Al Quran merupakan Mukjizat Allah yang dikemas dalam karya manusia yang
tertinggi, tetapi dengan orisinalitas yang tak tertandingi. Al Quran adalah
ucapan Tuhan, maka hanya dia sang pemilik ucapan yang memahami sepenuhnya.. (lihat
QS 3: 7). Al Quran mutlak benar, atau
termasuk ma’lum min al din bil al dharurah (sesuatu yang sudah sangat
jelas aksiomatik dalam agama). Namun, tafsiran manusia terhadapnya tidak
benar-benar semutlak al Quran-ibarat tafsiran tentang alam yang tidak
pernah menjangkau hakikatnya. Dari isyarat –isyarat ilmiah tersebut tentunya
ada beberapa substansi yang memang perlu kita dalami dan
pahami, salah satunyanya adalah
bagaimana kita memahami tentang PENDENGARAN,
DAN PENGLIHATAN. Kedua substansi dalam organ
tubuh kita ini sangat prinsip sekali, walaupun
organ yang lain juga demikian. Tetapi
yang sangat menarik bagi kami adalah bagaimana dan kenapa Allah Swt menggandengkan Pendengaran, Penglihatan sebagai bagian dari sebuah “ permintaan pertanggung jawaban dari
Allah Swt “ ?. bagaimana
dengan organ tubuh manusia yang lainnya, jantung kita, tangan
kita, kaki kita, mulut dan lidah kita,
hidung kita, dan lain lain. Tentunya
akan ada
ilustrasi atau literatur yang mendasar dari apa yang di kemukan Allah Swt. Dalam alqur,an surat Al Isro ayat 36 ini,
terutama jika di sentuhkan
pada kemukjizatan Alqur,an dan sains yang
di kembangkan oleh
manusia pada dasawarsa
modern saat ini.
B.PEMBAHASAN
Mengkaji dan menelusuri ayat-ayat alqur,an merupakan
proses memunculkan mukjizat yang
masih tersembunyi pada berbagai pemahaman kita manusia. Satu sisi karena
alqur,an adalah mukjizat terbesar dari Nabi
Muhammad Saw.Menurut banyak bukti yang sempurna al-Qur`an adalah kitab mukjizat
yang benar-benar diwahyukan kepada Nabi Muhammad
selama 23 tahun misinya dan terjaga
dalam keadaan seperti ia diwahyukan hingga hari ini akhir
zaman. Tidak ada penyimpangan-penyimpangan yang terjadi pada Al-Qur`an,
sebagaimana Islam lahir dalam keadaan jelas dari sisi sejarah, dan kekuatannya
tidak pernah surut. Bahasa al-Qur`an, yaitu bahasa Arab, tetap digunakan oleh
lebih dari 500 suku manusia dan digunakan lebih dari 14 abad yang lalu. Lebih
dari 1500 juta orang tetap memeluk agama Islam, dan ribuan pengikut baru
bergabung di dalamnya setiap hari.[1]
Al qur,an sebagai mukjizat yang hingga saat ini
hingga akhir kehidupan tidak terbantahkan kebenarannya, memang
mempunyai satu daya tarik tersendiri
untuk di kaji dan di teliti secara lebih mendalam. Segala keistimewaan
tersebut adalah mukjizat yang sangat
tinggi nilainya di sisi Allah bagi manusia. Namun setidaknya kita harus
memahami juga tentang mukjizat
itu sendiri. Mukjizat berasal dari kata Al I’jaz yang artinya melemahkan
atau mengalahkan. Menurut Imam As
Suyuti mukjizat dalam pemahaman syara’ adalah kejadian
yang melampaui batas kebiasaan, didahului oleh tantangan, tanpa ada tandingan.
Menurut Ibnu Khaldun mukjizat adalah
perbuatan-perbuatan yang tidak mampu ditiru oleh manusia, maka ia dinamakan
mukjizat, tidak masuk ke dalam kategori yang mampu dilakukan oleh hamba dan
berada diluar standart kemampuan mereka. ( Zainal Arifin Abbas ; Perkembangan pemikiran
terahadap Agama; 1984 ). Muhammad Kamil Abdush Shamad, menerangkan bahwa
mukjizat ada yang bersifat material yang dicerna panca indera namun melawan
hukum alam yang ada dan mukjizat yang bersifat rasional, semua direspon oleh
daya nalar sesuai dengan kemampuan dan pemahamannya. Hemat pemikiran kami bahwa
seluruh ornamen yang
terdapat dalam kehidupan alam
dunia dan seisinya ini tidak lain adalah bagian dari mukjizat dari Allah Swt
baik secara sekala micro maupun makro mukjizat tersebut untuk manusia.
Istilah Al I’jaz Al ‘Ilmiy (kemukjizatan
ilmiah) Al Qur’an mengandung makna bahwa sumber ajaran agama tersebut
telah mengabarkan kepada kita tentang fakta-fakta ilmiah yang kelak ditemukan
dan dibuktikan oleh eksperimen sains umat manusia, dan terbukti tidak dapat
dicapai atau diketahui dengan sarana kehidupan yang ada pada jaman Rasulullah
saw. Hubungan antara tanda-tanda kebenaran di dalam Al Qur’an dan alam raya
dipadukan melalui mukjizat Al Qur’an (yang lebih dahulu daripada temuan ilmiah)
dengan mukjizat alam raya yang menggambarkan kekuasaan Tuhan. Masing-masing
mengakui dan membenarkan mukjizat yang lain agar keduanya menjadi pelajaran
bagi setiap orang yang mempunyai akal dan hati bersih atau orang yang mau
mendengar. Beberapa dalil kuat telah membuktikan bahwa Al Qur’an tidak mungkin
datang, kecuali dari Allah. Buktinya tidak adanya pertentangan diantara
ayat-ayatnya, bahkan sistem yang rapi dan cermat yang terdapat di alam raya ini
juga tidak mungkin terjadi, kecuali dengan kehendak Allah yang menciptakan
segala sesuatu dengan cermat isyarat ilmiah dalam Al Qur’an mengandung
prinsip-prinsip,kaidah-kaidah dasar ilmu pengetahuan di setiap zaman dan
kebudayaan. Dari beberapa pengertian
tersebut dapat diambil sebuah pengertian mendasar bahwa mukjizat merupakan
kejadian yang luar biasa, melebihi standart kemampuan manusia yang berlaku
secara umum. Muhammad Nasib Arr-Rifai dalam menuliskan
“ Janganlah kamu mengikuti, “ Janganlah kamu mengatakan” apa
yang kamu tidak mengetahui pengetahuan tentangnya “.
Maksudnya janganlah kamu mengatakan “ Aku
melihat,” padahal kamu tidak melihat,” aku mendengar , “ padahal kamu tidak mendengar,” dan aku tahu “ padahal kamu tidak tahu
“. Karena Allah akan menanyak hal itu kepadamu.[2]
Sebelum kita
masuk pada substansi yang sebenarnya tentang dua
organ Tubuh pada manusia itu. Hendaklnya kita
perlu melihat siapa
sebenarnya manusia itu di hadapan sang pencipta. Dalam
bukunya Man the Unknown, Dr. Alexis Carrel menjelaskan tentang kesulitan
yang dihadapi untuk mengetahui hakekat manusia. Dia mengatakan bahwa
pengetahuan tentang makhluk-makhluk hidup secara umum dan manusia pada
khususnya belum mencapai kemanjuan seperti yang telah dicapai dalam bidang ilmu
pengetahuan lainya.Keterbatasan pengetahuan manusia tentang dirinya itu
disebabkan oleh:
1) Pembahasan tentang masalah manusia terlambat dilakukan karena pada
awalnya perhatian manusia hanya tertuju pada penyelidikan tentang alam materi.
Pada zaman primitif, nenek moyang kita disibukan untuk menundukan atau
menjinakan alam sekitarnya, seperti upaya membuat senjata untuk melindungi diri
dari binatang buas, penemuan api, pertanian, peternakan dan sebagainya sehingga
mereka tidak mempunyai waktu luang untuk memikirkan diri mereka sendiri.
2) Ciri khas akal manusia yang lebih cenderung memikirkan hal-hal yang
tidak kompleks. Ini disebabkan oleh sifat akal kita seperti dinyatakan bergson
tidak mampu mengetahui hakekat hidup.
3) Multikompleksnya persoalan yang dihadapi manusia.
Jika apa
yang dinyatakan oleh A. Carrel itu diterima, maka satu-satunya jalan untuk
mengenal dengan baik siapa manusia, adalah dengan merujuk kepada wahyu ilahi,
agar kita dapat menemukan jawabanya. Dalam kaitan ini, paling tidak ada empat
kata/istilah dalam al-Qur’an yang dapat diartikan sebagai manusia, yaitu:
Basyar, an-nas, al-ins/al-insan, dan adam.
1. Basyar
Kata
basyar terambil dari akar kata yang pada mulanya berarti penampakan sesuatu
dengan baik dan indah. Dari akar kata yang sama lahir kata basyarah yang
berarti kulit. Manusia dinamai basyar karena kulitnya nampak jelas, dan berbeda
dengan kulit makhluk yang lain. Dengan demikian istilah basyar merupakan
gambaran manusia secara materi yang dapat dilihat, memakan sesuatu, berjalan,
dan berusaha untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Manusia dalam pengertian ini
disebutkan di dalam al-Qur’an sebanyak 35 kali dalam berbagai surat.
Diantaranya terdapat dalam surat al-kahfi: ayat 110 Allah
mengungkapkan :
قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِّثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ
أَنَّمَا إِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَمَن كَانَ يَرْجُو لِقَاء رَبِّهِ
فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
Artinya :
Katakanlah: Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan
kepadaku: "Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa".
Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan
amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat
kepada Tuhannya". ( QS Al Kahfi
ayat : 110 )
Ayat ini adalah merupakan ayat terakhir
dari surat Al-kahfi. Menurut Syaikh Muhammad bi Shalih al-Utsaimin Dalam Tafsir Alqur,an surat alkahfi ; terj. Abu Abdurahman bin Taoyyib ; h.317
menyebutkan ; Kalimat “ (قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِّثْلُكُمْ ). Katakanlah sesungguhnya aku ini hanya
seeorang manusia seperti kamu. Maksudnya
umumkan kepada manusia, bahwa
engkau ( wahai,Muhammad ) bukanlah malaikat. Bahkan,engkau adalah manusia biasa seperti mereka juga. Kata ( مِّثْلُكُم mistlukum ) “ seperti kamu “ untuk lebih menekankan, bahwa dia adalah
manusia biasa. Oleh karena itu Rasul
juga bisa marah,bisa lapar, haus,
kepanansan,sakit lupa seperti manusia biasa.
Semua tabiat manusia ada pada
rasulallah. Rasulallah juga memiliki
bayang bayang sepertin halnya mansuia
yang lain. Adapun prasangka sebagian orang , bahwa rasulallah adalah cahaya yang tidak memiliki bayang bayang adalah kedustaan yang tidak di
ragukan lagi. Karena Rasul adalah
manusia biasa yang pastri
memiliki bayang bayang. Seandainya
benar Rasulallah tidak memiliki bayang
bayang, maka hal tersebut akan di
riwayatkan kepada kita secara mutawattir
( oleh sahabat yang banyak ), karena
ini adalah tanda tanda
kebesaran Allah ( sebuah mukjizat ).
Jadi beliau adalah manusia biasa,
tetapi apakah Rasulallah bisa mendatangkan
manfaat atau mudhorat ?
jawabannya tidak bisa, Allah memerintahkan Nabi agar beliau mengatakan :
قُلْ إِنِّي لَا أَمْلِكُ لَكُمْ ضَرًّا وَلَا رَشَدًا
Artinya : Katakanlah:
"Sesungguhnya aku tidak kuasa mendatangkan sesuatu kemudharatanpun
kepadamu dan tidak (pula) suatu kemanfa'atan". ( QS Jin 21 )
Dalam
ayat-ayat tersebut terlihat bahwa manusia dalam arti basyar adalah manusia
dengan sifat-sifat kematerianya. [3]
Kata basyar dipakai untuk menyebut semua
makhluk baik laki-laki ataupun perempuan, baik satu ataupun banyak. Kata basyar
adalah jamak dari kata basyarah yang berarti kulit. "Manusia dinamai
basyar karena kulitnya tampak jelas, dan berbeda dengan kulit binatang yang
lain". Al-Qur'an menggunakan kata ini sebanyak 36 kali dalam bentuk
tunggal dan sekali dalam bentuk mutsanna untuk menunjukkan manusia dari sudut
lahiriyahnya serta persamaannya dengan manusia seluruhnya. Karena itu Nabi
Muhammad SAW diperintahkan untuk menyampaikan bahwa "Aku adalah basyar
(manusia) seperti kamu yang diberi wahyu [QS. al-Kahf (18): 110]. Di sisi lain
diamati bahwa banyak ayat-ayat al-Qur'an yang menggunakan kata basyar yang
mengisyaratkan bahwa proses kejadian manusia sebagai basyar, melalui
tahapan-tahapan sehingga mencapai tahapan kedewasaan. Firman allah [QS.al-Rum
(3) : 20] "Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya [Allah] menciptakan
kamu dari tanah, ketika kamu menjadi basyar kamu bertebaran". Bertebaran
di sini bisa diartikan berkembang biak akibat hubungan seks atau bertebaran
mencari rezki. [4]Penggunaan
kata basyar di sini "dikaitkan dengan kedewasaan dalam kehidupan manusia,
yang menjadikannya mampu memikul tanggungjawab. Dan karena itupula, tugas
kekhalifahan dibebankan kepada basyar [perhatikan QS al-Hijr (15) : 28], yang
menggunakan kata basyar, dan QS. al-Baqarah (2) : 30 yang menggunakan kata
khalifah, yang keduanya mengandung pemberitahuan Allah kepada malaikat tentang
manusia.[5]. Musa
Asy'arie [1996 : 21], mengatakan bahwa manusia dalam pengertian basyar
tergantung sepenuhnya pada alam, pertumbuhan dan perkembangan fisiknya
tergantung pada apa yang dimakan. Sedangkan manusia dalam pengertian insan
mempunyai pertumbuhan dan perkembangan yang sepenuhnya tergantung pada
kebudayaan, pendidikan, penalaran, kesadaran, dan sikap hidupnya. Untuk itu,
pemakaian kedua kata insan dan basyar untuk menyebut manusia mempunyai
pengertian yang berbeda. Insan dipakai untuk menunjuk pada kualitas pemikiran
dan kesadaran, sedangkan basyar dipakai untuk menunjukkan pada dimensi
alamiahnya, yang menjadi ciri pokok manusia pada umumnya, makan, minum dan
mati. Abdurrahman An-Nahlawi mengatakan manusia menurut pandangan Islam
meliputi :
[1] Manusia sebagai makhluk yang
dimuliakan, artinya Islam tidak memposisikan manusia dalam kehinaan, kerendahan
atau tidak berharga seperti binatang, benda mati atau makhluk lainnya
[QS..al-Isro: 70 dan al-Hajj : 65].
[2] Manusia sebagai makhluk istimewa
dan terpili. Salah satu anugrah Allah yang diberikan kepada manusia adalah
menjadikan manusia mampu membedakan kebaikan dan kejahatan atau kedurhakaan
dari ketakwaan. Ke dalam naluri manusia, Allah menanamkan kesiapan dan kehendak
untuk melakukan kebaikan atau keburukan sehingga manusia mampu memilih jalan
yang menjerumuskannya pada kebinasaan. Dengan jelas Allah menyebutkan bahwa
dalam hidupnya, manusia harus berupaya menyucikan, mengembangkan dan
meninggalkan diri agar manusia terangkat dalam keutamaan [Q.S.as-Syam: 7-10].
Manusia sebagai
makhluk yang dapat dididik. Allah telah melengkapi manusia dengan kemampuan
untuk belajar, dalam surat al-Alaq : 3 dan 5, Allah telah menganugrahi manusia
sarana untuk belajar, seperti penglihatan, pendengaran dan hati. Dengan
kelengkapan sarana belajar tersebut, Allah selalu bertanya kepada manusia dalan
firman-Nya "afala ta'kilun", “afala tata fakkarun", dan
lain-lain pertanyaan Allah kepada manusia yang menunjukkan manusia mempunyai
potensi untuk belajar.Al-Qur'an menggambarkan manusia sebagai makhluk pilihan
Tuhan, sebagai khalifah-Nya di muka bumi, serta sebagai makhluk semi-samawi dan
semi duniawi, yang di dalam dirinya ditanamkan sifat-sifat : mengakui Tuhan,
bebas, terpercaya, rasa tanggungjawab terhadap dirinya maupun alam semesta;
serta karunia keunggulan atas alam semesta, lagit dan bumi. Manusia dipusakai
dengan kecenderungan jiwa ke arah kebaikan maupun kejahatan. Kemajuan mereka
dimulai dari kelemahan dan ketidak mampuan, yang kemudian bergerak ke arah
kekuatan. Tetapi itu tidak akan menghapuskan kegelisahan psikis mereka, kecuali
jika mereka dekat dengan Tuhan dan selalu mengingat-Nya
Selain itu, al-Qur'an juga menyebutkan sifat-sifat kelemahan dari manusia. Manusia banyak dicela, manusia dinyatakan luar biasa keji dan bodoh. Qur'an mencela manusia disebabkan kelalaian manusia akan kemanusiaannya, kesalahan manusia dalam mempersepsi dirinya, dan kebodohan manusia dalam memanfaatkan potensi fitrahnya sebagai khalifah Allah di muka bumi ini. Manusia dicela karena kebanyakan dari mereka tidak mau melihat kebelakang (al'aqiba), tidak mau memahami atau tidak mencoba untuk memahami tujuan hidup jangka panjang sebagai makhluk yang diberi dan bersedia menerima amanah. Manusia tidak mampu memikul amanah yang diberikan Allah kepadanya, maka manusia bisa tak lebih berarti dibandingkan dengan setan dan binatang buas sekalipun - derajat manusia direndahkan – Firman Allah QS. al-Ahzab : 72 :
Selanjutnya dalam firman Allah : QS. at-Tiin (95) : 5-6 : "Kemudian Kami [Allah] kembalikan dia [manusia] ke kondisi paling rendah", kecuali mereka yang beriman kepada Allah dan beramal saleh". Selain itu al-Qur'an juga mengingat manusia yang tidak menggunakan potensi hati, potensi mata, potensi telinga, untuk melihat dan mengamati tanda-tanda kekuasaan Allah.
Pernyataan ini ditegaskan dalam firman Allah QS. al-A'raf : 179 sebagai berikut :
Selain itu, al-Qur'an juga menyebutkan sifat-sifat kelemahan dari manusia. Manusia banyak dicela, manusia dinyatakan luar biasa keji dan bodoh. Qur'an mencela manusia disebabkan kelalaian manusia akan kemanusiaannya, kesalahan manusia dalam mempersepsi dirinya, dan kebodohan manusia dalam memanfaatkan potensi fitrahnya sebagai khalifah Allah di muka bumi ini. Manusia dicela karena kebanyakan dari mereka tidak mau melihat kebelakang (al'aqiba), tidak mau memahami atau tidak mencoba untuk memahami tujuan hidup jangka panjang sebagai makhluk yang diberi dan bersedia menerima amanah. Manusia tidak mampu memikul amanah yang diberikan Allah kepadanya, maka manusia bisa tak lebih berarti dibandingkan dengan setan dan binatang buas sekalipun - derajat manusia direndahkan – Firman Allah QS. al-Ahzab : 72 :
Selanjutnya dalam firman Allah : QS. at-Tiin (95) : 5-6 : "Kemudian Kami [Allah] kembalikan dia [manusia] ke kondisi paling rendah", kecuali mereka yang beriman kepada Allah dan beramal saleh". Selain itu al-Qur'an juga mengingat manusia yang tidak menggunakan potensi hati, potensi mata, potensi telinga, untuk melihat dan mengamati tanda-tanda kekuasaan Allah.
Pernyataan ini ditegaskan dalam firman Allah QS. al-A'raf : 179 sebagai berikut :
Untuk itu, manusia yang diciptakan
Allah sebagai makhluk yang paling canggih, mampu menggunakan potensi yang
dimilikinya dengan baik, yaitu mengaktualisasikan potensi iman kepada Allah,
menguasai ilmu pengetahuan, dan melakukan aktivitas amal saleh, maka manusia
akan menjadi makhluk yang paling mulia dan makhluk yang berkualitas di muka
bumi ini seseuai dengan rekayasa fitrahnya.
Terkadang tekhnologi yang telah di kembangkan oleh manusia sangat berpengaruh dalam mengembangkan
hakikat manusia itu sendiri.
Pendengaran dan Penglihatan yang
Allah telah anugrahkan kepad Manusia bukan untuk di gunakan hanya
sekedar proses perjalanan
hidup. Tetrapi ada satu konsekwensi yang riel yang membawea pada
suatu titik keberhasilan kehidupan yang
sesungguhnya. Oleh karena kemampuan
manusia meresfek berbagai perkembangan
pemikiran manusia juga sdangat
perlu di kedepankan. Terutama
yang mengedepankan unsur unsur
religiusitas. Karena dengan
pola yang seperti itu akan muncul
sebuah Homeostatis religiusitas. Bukan sekedar
Homeostatis pada tubuh
manusia tetapi juga pada
nilai nilai keimanan.
2. An-Nas
Dalam al-Qur’an manusia dalam pengertian
an-nas disebutkan sebanyak 240 kali dengan keterangan yang jelas menunjukan
pada jenis keturunan Nabi Adam as. Dan
terdapat dalam uraian surat
al Hujurat ayat 13. Berbeda dengan al basyar kata An Nas, al Ins dan al Insan
mempunyai konotasi yang berbeda satu dengan lainnya. Kata an Nas disebutkan
dalam al Quran sebanyak 240 kali menunjukkan pengertian manusia sebagai
keturunan Adam as. An Nas dalam hal ini dipandang dari konteks manusia sebagai
makhluk sosial.
Al Quran menyinggung dalam surat al Hujura, ayat
13 yang berbunyi :”
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya
kamu saling kenal-mengenal.Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu
di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu.Sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”. Dengan jelas
menginformasikan tujuan penciptaan manusia dalam berbagai suku dan bangsa
untukbergaul dan berhubungan antar sesama, saling membantu dalam kebaikan,,
saling menasihati agar sama-sama berada dalam kebenaran atas dasar kesabaran. “kecuali orang-orang yang
beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati
kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran”. (QS.
103:3)
Sedangkan kata al Ins dan al Insan keduanya
berasal dari akar kata, yaitu hamzah,
nun dan sin.
Namun demikian, bila dilihat dari segi penggunaan kata dalam al
Quran keduanya memiliki arti yang berbeda. Kata al Ins dijumpai 18 kali dalam
sembilan surat, yang berhadapan (muqbalah)
dengan kata jinn yang berarti jin atau makhluk halus, atau kata jann yang juga
bermakna jin. Hal ini mengindikasikan makna konotasi, bahwa keduanya
memiliki unsurr yang berrbeda. Manuia dapat diinderakan, sedang jin tidak
dapat diinderakan, manusia tidak liar (‘adam
al tawahhus) sedangkan jin liar (tawahhusi).
3. Al-Ins/al-Insan
Kata insan terambil dari akar kata uns yang
berarti jinak lawan dari binatang liar, harmonis, dan tampak. Pendapat ini,
jika ditinjau dari sudut pandang al-Qur’an lebih tepat dari yang berpendapat
bahwa ia terambil dari kata nasiya (lupa), atau nasa-yanusu
(berguncang).Kitab suci al-Qur’an – seperti yang ditulis Bint as-Syathi’ dalam al-qur’an
wa Qadhaya al-Insan – sering kali memperhadapkan insan dengan jin/jan. jin
adalah makhluk halus yang tidak tampak, sedangkan manusia adalah makhluk yang
nyata lagi ramah. Kata insan, digunakan al-qur’an untuk menunjuk kepada manusia
dengan seluruh totalitasnya, jiwa dan raga. Manusia yang berbeda antara satu
dengan yang lainya akibat perbedaan fisik, mental, intelektual dan juga
spiritual.
Selanjutnya, kata al Insan dijumpai dalam al Quran sebanyak 65 kali. Al Insan
berbeda dengan al basyar yanglebih menekankan pad kapasitas manusia sebagai
makhluk fisik biologis dan al ins menitik beratkan pada adanya unsur kesamaran
(abstrak). Maka al insan mengau pada peningkatan ke derajat yang dapat
memberinya potensi dan kemampuan untuk memangku jabatan khalifah dan memikul
beban tangung jawab dan amanah manusia di muka bumi. Karena manusia sebagai
khalifah dibekali dengan potensi internal (ruhiyah, aqliyah dan jasmaniah) dan
potensi eksternal (fitrah dan hudan).
Dengan demikian manusia dapat menghadapi dan
mengantisipasi segala yang baik dan buruk atau pun kepalsuan (semu) yang dapat
menggoyahkan kemampuan dan kekuatannya. Lebih dari itu manusia diberi peluang
mengaktualisasikan dirinya sebagai makhluk yang mulia dan memiliki kedudukan
yang lebih tinggi dari makhluk lainnya.
Kemudian yang menjadi faktor pembeda menurut Bint
al Syathi, telah Allah berikan kepada manusia semenjak kelahirannya dimensi
ilmu pengetahuan. Kelebihan itu dapat dilihat dari firman Allah dalam surat al
Alaq ayat 2, 5 dan 6 yang berbunyi :”
Dia telah menciptakan manusia dengan segumpal darah. Dia mengajarkan kepada
manusia apa yang tidak diketahuinya. Ketahuilah! Sesungguhnya manusia
benar-benar melampaui batas”.
Dari ketiga ayat resebut terdapat tiga makna
manusia (al insan), yaitu (1) Tentang asal-usul penciptaan manusia
(2) Pemberian ilmu oleh Allah kepada manusia;
(3) Peringatan terhadap faktor negatif yang pada
kondisi tertentu manusia melupakan Alllah.
Maka dalam ayat lain disebutkan manuusia memiliki
derrajat yang titinggi namun dalam ayat lain bertolak belakang, manusia menjadi
makhluk yang sangat hina. Hal ini tidak berarti manusia dipuji dan dicela dalam
waktu yang bersamaan, tapi menunjukan bahwa manusia itu adalah memiliki sifat
mendekati kesempurnaan dan banyak kekurangan sesuai dengan potensi internnya.
Maka tinggi rendahnya derajat manusi sangat bergantung kepada kemampuan
menentukan sikap dan keadaan mereka sendiri.
4. Duriyat Adam/Bani Adam
Istilah Banu
Adam dituturkan dalam Al Quran sebanyak delapan kali, tujuh
diantaranya berada dalam surat-surat Makkiah dan satu kali dalam surat Madaniah
dengan istilah Ibnay
Adam. Sedangkan istilah Dzurriyah
Adam di sebut satu kali. Kata Banu berasal dari kata ba’, nun dan ya’ yang berarti
sesuatu yang lahir dari yang lain. Sedang kata dzurriyah berasal dari kata dzal’, ra’ dan ra’ yang berarti
halus, lembut dan tersebar. Kedua istilah ini dikaitkan dengan manusia karrena
adanya kata Adam sebagai bapak manusia (abu
al basyar). Secara umum menunjukkan hubungan keturunan atau
silsilah kesejarahan, asal usul manusia yang berasal dari satu.
Bedanya, kata banu
Adam mengacu pada hubungan darrrah selrruh manusia, sedangkan dzurriyah Adam mengacu
pada makna keberagaman manusia yang tersebar dalam berbagai suku, bangsa dengan
warna kulit dan bahasa yang berbeda.Konsep ini sejalan dengan fitrah manusia
yang mempunyai ikatan janji dengan Allah untuk mengakui keesaan-Nya. Oleh
karenanya kata banu
Adam dan dzurriyah
Adam mengandung pengerrtian yang mengikat umat manusia sebagai
keturunan dan anak cucu Adam agar senantiasa patuh kepada perjanjian tersebut. Al-Qur’an tidak menguraikan secara
rinci proses kejadian Adam, yang oleh mayoritas ulama dinamai manusia pertama.
Yang disampaikanya dalam konteks ini hanya
(1) bahan
awal manusia adalah tanah,
(2) bahan
tersebut adalah disempurnakan,
(3) setelah
proses penyempurnaannya selesai, ditiupkan kepadanya ruh ilahi [QS Al-Hijr, 15:
28-29; Shad, 38: 71-72].
Ketika berbicara tentang penciptaan manusia pertama, Al-Qur’an menunjuk
kepada sang pencipta dengan menggunkan pengganti nama berbentuk tunggal:
إِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي خَالِقٌ
بَشَرًا مِن طِينٍ
Artinya : (Ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada
malaikat: "Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah". (QS
Shad, 38: 71)
قَالَ يَا إِبْلِيسُ مَا مَنَعَكَ أَن تَسْجُدَ لِمَا
خَلَقْتُ بِيَدَيَّ أَسْتَكْبَرْتَ أَمْ كُنتَ مِنَ الْعَالِينَ
Artinya : Allah berfirman: "Hai
iblis, apakah yang menghalangi kamu sujud kepada yang Telah Ku-ciptakan dengan
kedua tangan-Ku. apakah kamu menyombongkan diri ataukah kamu (merasa) termasuk
orang-orang yang (lebih) tinggi?". (QS Shad, 38: 75).
Tetapi
ketika berbicara tentang reproduksi manusia secara umum, Yang Maha Pencipta
ditunjuk dengan menggunkan bentuk jamak. Hal ini dapat dilihat dalam QS at-Tin:
4.
لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ
Artinya :Sesungguhnya kami Telah
menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya .(QS. At-Tin: 4).
Hal ini
untuk menunjukan perbedaan proses kejadian manusia secara umum dan kejadian
Adam AS. Penciptaan manusia secara umum, melalui proses keterlibatan Tuhan
bersama selain-Nya, yaitu bapak dan ibu. Keterlibatan bapak dan ibu mempunyai
pengaruh menyangkut bentuk fisik dan psikis anak, sedangkan dalam penciptaan
Adam, tidak terdapat keterlibatan pihak lain termasuk ibu dan bapak.
Manusia dalam
Alqur,an
1. Makhluk:
Keberadaan
manusia di alam semesta ini bukan karena sendirinya, akan tetapi karena
rancangan, disain, proses penciptaan dari Allah swt. Keberadaan manusia sebagai
hasil ciptaan Allah swt, menyadarkan akan hakekat makhluk yang lemah, bodoh,
dan fakir.
يُرِيدُ اللّهُ أَن يُخَفِّفَ عَنكُمْ وَخُلِقَ
الإِنسَانُ ضَعِيفًا
Artinya : Allah hendak memberikan keringanan
kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat lemah. (An-Nisa’: 28)
إِنَّا عَرَضْنَا
الْأَمَانَةَ عَلَى السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَنْ
يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الْإِنْسَانُ إِنَّهُ كَانَ
ظَلُومًا جَهُولًا
Artinya : Sesungguhnya Kami telah
mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan
untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan
dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan
amat bodoh, (Al-Ahzab:72)
يَاأَيُّهَا النَّاسُ أَنْتُمُ الْفُقَرَاءُ
إِلَى اللَّهِ وَاللَّهُ هُوَ الْغَنِيُّ الْحَمِيدُ
Artinya :Hai manusia, kamulah yang berkehendak kepada
Allah; dan Allah Dia-lah Yang Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha
Terpuji.
2.
Dimuliakan Dan Diberikan Potensi
Al-Qur’an banyak berbicara tentang potensi manusia. Ditemukan banyak ayat
yang memuji dan memuliakn manusia, seperti pernyataan tentang terciptanya
manusia dalam bentuk dan keadaan sebaik-baiknya (QS at-Tin, 95: 5)., dan
penegasan tentang dimuliakanya makhluk ini dibanding dengan kebanykan
makhluk-makhluk Allah yang lain (QS al-Isra’, 17: 70). Masih banyak ayat –ayat
lain yang dapat dikemukan tentang potensi manusia serta arah yang harus
dituju.Isyarat yang menyangkut unsure immaterial, ditemukan antara lain dalam
uraian tentang sifat-sifat manusia, dan uraian tentang fitrah, nafs, qalb, dan
ruh yang menghiasai makhluk manusia.
a. Fitrah
Dari segi bahasa, kata fitrah terambil dari akar kata al-fathr yang berarti
belahan, dan dari makna ini lahir makna-makna lain, seperti “penciptaan” dan
“kejadian”. Dalam al-Qur’an kata ini dalam berbagai bentuknya terulang sebanyak
28 kali, 14 kali diantaranya dalam konteks uraian tentang bumi dan atau langit.
Sisanya dalam konteks penciptaan manusia baik dari sisi pengakuan bahwa
penciptanya adalah Allah, maupun dari segi uraian tentang fitrah manusia. Yang
terakhir ini ditemukan sekali yaitu pada QS ar-Rum: 30:
فَأَقِمْ وَجْهَكَ
لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لَا
تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ
النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
Artinya : Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus
kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan
manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah)
agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui,( Ar-Rum:30)
Merujuk kepada fitrah yang dikemukukan di atas, dapat ditarik kesimpulan
bahwa manusia sejak asal kejadianya, membawa potensi beragama secara lurus, dan
dipahami oleh para ulama sebagai tauhid.Kalau kita memahami kata la pada ayat
tersebut dalam arti “tidak”, maka ini berarti bahwa seseorang tidak dapat
menghindari fitrah itu. Dalam konteks ayat ini, ia berarti bahwa fitrah
keagamaan akan melekat pada diri manusia untuk selama-lamanya, walaupun boleh
jadi tidak diakui atau diabaikanya. Tetapi apakah fitrah manusia hanya terbatas
pada fitrah keagamaan? Jelas tidak. Bukan saja karena redaksi ayat ini tidak
dalam bentuk pembatasan tetapi juga karena masih ada ayat-ayat lain yang
membicarakan tentang penciptaan potensi mausia – walaupun tidak menggunakan
kata fitrah seperti dalam QS Ali Imran [3]: 14. Oleh karena itu, kesimpulan
Muhammad bin Asyur dalam tafsirnya tentang QS ar-Rum [30]: 30, sangat tepat
untuk dijadikan rujukan. Beliau menyatakan: “fitrah adalah bentuk dan system
yang diwujudkan Allah pada setiap makhluk. Fitrah yang berkaitan dengan manusia
adalah apa yang diciptakan Allah pada manusia yang berkaitan dengan jasmani dan
akalnya (serta ruhnya)”.
b. Nafs
Kata nafs
dalam al-Qur’an mempunyai banyak makna, sekali diartikan sebagai totalitas
manusia (QS al-Maidah [5]: 32), yang lain ia menunjuk kepada apa yang terdapat
dalam diri manusia yang menghasilkan tingkah laku (QS ar-Ra’d [13]: 11), dan
kata nafs juga digunakan untuk menunjuk kepda “diri Tuhan” (kalau istilah ini
dapat diterima), seperti dalam QS al-An’am [6]: 12. Secara umum dapat dikatakan
bahwa nafs dalam kontek pembicaraan tentang manusia , menunjuk kepada sisi
dalam manusia yang berpotensi baik dan buruk.
c. Qalb
Kata qalb terambil dari akar kata yang bermakna membalik karena sering kali
ia berbolak-balik, sekali senang sekali susah, sekali setuju dan sekali
menolak. Qalb amat berpotensi untuk tidak konsisten. Al-Qur’an pun
menggambarkan demikian, ada yang baik, ada pula sebaliknya. Hal ini seperti
terlihat dalam beragam ayat, yaitu: kalbu adalah wadah dari pengajaran (QS Qaf [50}:
37), Wadah dari kasih sayang (QS al-Hadid [57]: 27), wadah dari rasa takut (QS
Ali Imran [3]: 151), dan wadah keimanan (QS al-Hujurat [49]: 7). Dalam
keadaanya sebagai kotak, maka tentu saja ia dapat diisi dan atau diambil isinya
(QS al-Hijr [15]: 47, Al-Hujurat [49]: 14). Bahkan al-Qur’an menggambarkan
bahwa ada kalbu yang disegel: “Allah telah mengunci mati hati mereka” (QS
al-Baqarah [2]: 7), sehingga wajar jika al-Qur’an menyatakan bahwa ada
kunci-kunci penutup kalbu (QS Muhammad [47]: 7). Wadah kalbu dapat diperbesar,
diperkecil, atau dipersempit. Ia diperlebar dengan amal-amal kebajikan serta
olah jiwa (QS al-Hujurat [49]: 3, Al-Insyirah [94]: 1), dan dipersempit dengan
kesesatan dan kemaksiatan (QS al-An’am [6]: 125).
d. Ruh
Berbicara
tentang ruh, al-Qur’an mengingatkan kita dengan firman-Nya:
ثُمَّ سَوَّاهُ وَنَفَخَ فِيهِ مِنْ رُوحِهِ وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ
وَالْأَبْصَارَ وَالْأَفْئِدَةَ قَلِيلًا مَا تَشْكُرُونَ
Artinya : Kemudian Dia menyempurnakan dan
meniupkan ke dalam (tubuh) nya roh (ciptaan) -Nya dan Dia menjadikan bagi kamu
pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur.
(As-Sajadah:9)
Manusia
terdiri dari ruh dan jasad, karenanya Allah Swt menundukkan keduanya secara
keseluruhan, baik ketika di mahsyar, diberi pahala maupun disiksa. Ruh adalah
makhluk. Beberapa hadits mengidentifikasikan bahwa ruh adalah materi yang
lembut. Bagi sementara pihak yang berkata bahwa ruh adalah qadim, merupakan
kekeliruan besar.
Ahli hakikat dari kalangan ahli sunnah berbeda pandangan soal ruh. Ada
yang berpendapat, ruh adalah kehidupan, yang lain berpandangan ruh adalah
kenyataan yang ada dalam hati, yang bernuansa lembut. Allah Swt menjalankan
kebiasaan makhluk dengan mencipta kehidupan dalam hati, sepanjang arwahnya
menempel di badan. Manusia hidup dengan sifat kehidupan, tetapi arwah selalu di
cetak di dalam hati dan bisa naik ketika tidur dan terpisah dengan badan,
kemudian kembali kepada-Nya.
Pengertian
al-Ruh
Menurut Ibnu Zakariya (w. 395 H / 1004 M)
menjelaskan bahwa kata al-ruh dan semua kata yang memiliki kata aslinya terdiri
dari huruf ra, wawu, ha; mempunyai arti dasar besar, luas dan asli. Makna itu
mengisyaratkan bahwa al-ruh merupakan sesuatu yang agung, besar dan mulia, baik
nilai maupun kedudukannya dalam diri manusia. Al-Raqib
al-Asfahaniy (w. 503 H / 1108 M), menyatakan di antara makna al-Ruh adalah
al-Nafs (jiwa manusia). Makna disini adalah dalam arti aspek atau dimensi,
yaitu bahwa sebagian aspek atau dimensi jiwa manusia adalah al-ruh.
Nyawa (ruh) menurut al-Ghazali
mengandung dua pengertian, pertama : tubuh halus (jisim lathif). Sumbernya itu
lubang hati yang bertubuh. Lalu bertebar dengan perantaraan urat-urat yang
memanjang ke segala bagian tubuh yang lain. Mengalirnya dalam tubuh,
membanjirnya cahaya hidup, perasaan, penglihatan, pendengaran, dan penciuman
dari padanya kepada anggota-anggotanya itu, menyerupai membanjirnya cahaya dari
lampu yang berkeliling pada sudut-sudut rumah. Sesungguhnya cahaya itu tidak
sampai kepada sebagian dari rumah, melainkan terus disinarinya dan hidup itu
adalah seperti cahaya yang kena pada dinding. Dan nyawa itu adalah seperti
lampu. Berjalannya nyawa dan bergeraknya pada batin adalah seperti bergeraknya
lampu pada sudut-sudut rumah, dengan digerakkan oleh penggeraknya.Pengertian kedua
yaitu yang halus dari manusia, yang mengetahui dan yang merasa. Dan itulah
tentang salah satu pengertian hati, serta itulah yang dikehendaki oleh Allah
Ta’ala dengan firman-Nya:
قُلِ الرُّوْحُ مِنْ اَمْرِ رَبِّى
Artinya : “Jawablah! Nyawa (ruh) itu termasuk urusan Tuhanku” (QS. Al-Isra’ : 85)
Artinya : “Jawablah! Nyawa (ruh) itu termasuk urusan Tuhanku” (QS. Al-Isra’ : 85)
Dan itu adalah urusan ketuhanan yang menakjubkan, yang melemahkan kebanyakan akal dan paham dari pada mengetahui hakikatnya.Dengan adanya al-ruh dalam diri manusia menyebabkan manusia menjadi makhluk yang istimewa, unik, dan mulia. Inilah yang disebut sebagai khayalan akhar, yaitu makhluk yang istimewa yang berbeda dengan makhluk lainnya. Al-qur’an menjelaskan hal ini dalam QS. Al-Mu’minun : 14. Kata al-Ruh disebutkan dalam al-Qur’an sebanyak 24 kali, masing-masing terdapat dalam 19 surat yang tersebar dalam 21 ayat. Dalam 3 ayat kata al-ruh berarti pertolongan atau rahmat Allah, dalam 11 ayat yang berarti Jibril, dalam 1 ayat bermakna wahyu atau al-Qur’an, dalam 5 ayat lain al-ruh berhubungan dengan aspek atau dimensi psikis manusia
Karakteristik
al-Ruh
Mengenai
ruh ada beberapa karakteristik, antara lain :
Ø -Ruh berasal dari Tuhan, dan bukan
berasal dari tanah / bumi
Ø -Ruh adalah unik, tak sama dengan
akal budi, jasmani dan jiwa manusia. Ruh yang berasal dari Allah itu merupakan
sarana pokok untuk munajat kehadirat-Nya
Ø -Ruh tetap hidup sekalipun kita tidur
/ tak sadar
Ø Ruh dapat menjadi kotor dengan dosa
dan noda, tapi dapat pula dibersihkan dan menjadi suci
Ø Ruh karena sangat lembut dan halusnya
mengambil “wujud” serupa “wadah”-nya, parallel dengan zat cair, gas dan cahaya
yang “bentuk”-nya serupa tempat ia berada.
Ø Tasawuf mengikutsertakan ruh kita
beribadah kepada Tuhan
Ø Tasawuf melatih untuk menyebut
kalimat Allah tidak saja sampai pada taraf kesadaran lahiriah, tapi juga tembus
ke dalam alam rohaniah. Kalimat Allah yang termuat dalam ruh itu pada
gilirannya dapat membawa ruh itu sendiri ke alam ketuhanan
Ø Al-Ruh
sebagai Dimensi Spiritual Psikis Manusia
Ø dll
Dimensi
dimaksudkan adalah sisi psikis yang memiliki kadar dan nilai tertentu dalam
sistem “organisasi” jiwa manusia. Dimensi spiritual dimaksudkan adalah sisi
jiwa yang memiliki sifat-sifat Ilahiyah (ketuhanan) dan memiliki daya untuk
menarik dan mendorong dimensi-dimensi lainnya untuk mewujudkan sifat-sifat
Tuhan dalam dirinya. Pemilihan sifat-sifat Tuhan bermakna memiliki
potensi-potensi lahir batin. Potensi-potensi itu melekat pada dimensi-dimensi
psikis manusia dan memerlukan aktualisasi.
Dimensi psikis manusia yang bersumber secara langsung dari Tuhan ini adalah dimensi al-ruh. Dimensi al-ruh ini membawa sifat-sifat dan daya-daya yang dimiliki oleh sumbernya, yaitu Allah. Perwujudan dari sifat-sifat dan daya-daya itu pada gilirannya memberikan potensi secara internal di dalam dirinya untuk menjadi khalifah Allah, atau wakil Allah. Khalifah Allah dapat berarti mewujudkan sifat-sifat Allah secara nyata dalam kehidupannya di bumi untuk mengelola dan memanfaatkan bumi Allah. Tegasnya bahwa dimensi al-ruh merupakan daya potensialitas internal dalam diri manusia yang akan mewujud secara aktual sebagai khalifah Allah.
Dalam al-Qur’an dijelaskan kata al-ruh berhubungan dengan aspek atau dimensi psikis manusia. Berikut dijelaskan bahwa Allah “meniup”-kan ruh-Nya ke dalam jiwa dan jasad manusia. Sebagaimana yang terdapat dalam ayat berikut ini :
Dimensi psikis manusia yang bersumber secara langsung dari Tuhan ini adalah dimensi al-ruh. Dimensi al-ruh ini membawa sifat-sifat dan daya-daya yang dimiliki oleh sumbernya, yaitu Allah. Perwujudan dari sifat-sifat dan daya-daya itu pada gilirannya memberikan potensi secara internal di dalam dirinya untuk menjadi khalifah Allah, atau wakil Allah. Khalifah Allah dapat berarti mewujudkan sifat-sifat Allah secara nyata dalam kehidupannya di bumi untuk mengelola dan memanfaatkan bumi Allah. Tegasnya bahwa dimensi al-ruh merupakan daya potensialitas internal dalam diri manusia yang akan mewujud secara aktual sebagai khalifah Allah.
Dalam al-Qur’an dijelaskan kata al-ruh berhubungan dengan aspek atau dimensi psikis manusia. Berikut dijelaskan bahwa Allah “meniup”-kan ruh-Nya ke dalam jiwa dan jasad manusia. Sebagaimana yang terdapat dalam ayat berikut ini :
فَإِذَا سَوَّيْتُهُ
وَنَفَخْتُ فِيهِ مِن رُّوحِي فَقَعُواْ لَهُ سَاجِدِينَ
Artinya : “Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniup kan ke dalamnya ruh (ciptaan)-Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud”. (QS. Al-Hijr : 29)
Artinya : “Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniup kan ke dalamnya ruh (ciptaan)-Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud”. (QS. Al-Hijr : 29)
Berdasarkan ayat di atas, kata
ruh dihubungkan dengan Allah. Istilah yang digunakan untuk menyatakan hubungan
itu juga seragam, seperti al-ruh minhu
ruhina, ruhihi, al-ruhiy, ruh min amri rabbi. Selanjutnya, ruh Allah itu
diciptakan kepada manusia melalui proses al-nafakh. Berbeda dengan al-nafs,
sebab nafs telah ada sejak nutfan dalam proses konsepsi, sedangkan ruh baru
diciptakan setelah nutfah mencapai kondisi istimewa. Karena itu merupakan
dimensi jiwa yang khusus bagi manusia. Menurut
psikologi transpersonal, ada dua hal penting dalam diri manusia, yaitu
potensi-potensi luhur batin manusia (human highest potentials) dan fenomena
kesadaran manusia (human states of consciousness). Yang menjadi perhatian bagi
psikologi transpersonal yaitu dalam wilayah aspek ruhaniah. Telaahnya berbeda
dengan psikologi humanistic, bahwa psikologi humanistic lebih menekankan pada
pemanfaatan potensi-potensi luhur manusia untuk meningkatkan kualitas hubungan
antar manusia. Sedangkan psikologi transpersonal menekankan pada pengalaman
subjektif spiritual transcendental Tasawuf Islam mengajarkan metode dan
teknik-teknik munajat dan shalat khusyuk guna meningkatkan derajat ruh mencapai
taraf al-nafs al-muthmainnah / lebih tinggi lagi. Sehingga diharapkan manusia
dapat mengembangkan diri mencapai kualitas insan kamil. Adapun ruh diciptakan
jauh sebelum manusia dilahirkan, berfungsi semasa hidup dan setelah meninggal
ruh akan pindah ke alam baqa untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya ke dalam
hadirat Ilahi. Jadi ruh itu ada dalam diri manusia, tapi tak kasat mat
(invisible) karena sangat halus, gaib serta dimensinya yang jauh lebih tinggi
dari alam pikiran, serta tahapannya pun di atas alam sadar. Ruh dengan demikian
merupakan salah satu dimensi yang ada pada manusia di samping dimensi ragawi
dan dimensi kejiwaan, yang ada sebelum dan sesudah masa kehidupan manusia.
Ruh (roh atau jiwa) juga menunjukkan kelembutan Ilahi, dan seperti halnya si “hati”, ia juga berada di dalam hati badaniah. Roh dimasukkan ke dalam tubuh melalui “saringan yang halus”. Pengaruhnya terhadap tubuh ialah seperti lilin di dalam kamar, tanpa meninggalkan tempatnya, cahayanya memancarkan sinar kehidupan bagi seluruh tubuh.
Ruh (roh atau jiwa) juga menunjukkan kelembutan Ilahi, dan seperti halnya si “hati”, ia juga berada di dalam hati badaniah. Roh dimasukkan ke dalam tubuh melalui “saringan yang halus”. Pengaruhnya terhadap tubuh ialah seperti lilin di dalam kamar, tanpa meninggalkan tempatnya, cahayanya memancarkan sinar kehidupan bagi seluruh tubuh.
Pada dasarnya roh merupakan
lathifah dan oleh karenanya ia merupakan suatu unsur Ilahi. Sebagai sesuatu
yang halus, ia merupakan kelengkapan pengetahuan yang tertinggi dari manusia
yang bertanggung jawab terhadap sinar dari penglihatan yang murni, apabila
manusia bebas seluruhnya dari kesadaran fenomenal
Tingkat perkembangan ruh yang sempurna dihiasi dengan sifat-sifat ketuhanan dan berhak menjadi wakil Allah. Salah satu aliran berpendapat bahwa nafs harus dibersihkan agar ruh dapat dihiasi. Beberapa aliran yang lain beranggapan bahwa jika ruh tidak dihias maka nafs tidak dapat dibersihkan.
Tingkat perkembangan ruh yang sempurna dihiasi dengan sifat-sifat ketuhanan dan berhak menjadi wakil Allah. Salah satu aliran berpendapat bahwa nafs harus dibersihkan agar ruh dapat dihiasi. Beberapa aliran yang lain beranggapan bahwa jika ruh tidak dihias maka nafs tidak dapat dibersihkan.
Pandangan lain adalah bahwa
sekalipun seseorang menghabiskan seluruh hidupnya untuk berjuang membersihkan
nafs, nafs tersebut masih belum bisa dibersihkan seluruhnya dan dia bahkan
mungkin tidak memiliki kesempatan untuk bekerja dengan ruh. Namun jika
seseorang bisa menempatkan nafs tetap berada dalam etika thariqat, yang
memusatkan perhatian pada pembersihan hati dan menghias ruh, maka kemuliaan
ketuhanan akan muncul silih berganti melalui pengaruh daya tarik kemurahan dan
kemuliaan Allah.
Cinta adalah daya tarik
ketuhanan, apabila menemukan jalannya ke dalam hati, dia akan membakar akar
wujud seseorang, dan menyatukannya dengan wujud mutlak. Hati adalah wilayah
persimpangan antara kesatuan dan keragaman. Ketika hati dimurnikan dari segala
karat keragaman, matahari cinta akan terbit dan memancarkan sinar kesatuan.
Cinta adalah ramuan wujud. Orang harus mematikan diri agar dapat meraih harta
karun kehidupan abadi
Al-ruh merupakan dimensi jiwa manusia yang sifatnya spiritual dan potensi yang berasal dari Tuhan.
Al-ruh merupakan dimensi jiwa manusia yang sifatnya spiritual dan potensi yang berasal dari Tuhan.
Dimensi
ini menyebabkan manusia memiliki sifat Ilahiyah (sifat ketuhanan) dan mendorong
manusia untuk mewujudkan sifat Tuhan itu dalam kehidupannya di dunia. Di
sinilah fungsinya sebagai khalifah dapat teraktualisasikan. Dengan ini, maka
manusia menjadi makhluk yang semi samawi-ardi, yaitu makhluk yang memiliki
unsur-unsur alam dan potensi-potensi ketuhanan.
e. ‘Aql
Kata ‘aql (akal) tidak ditemukan dalam al-Qur’an, yang ada adalah bentuk
kata kerja – masa kini, dan lampau. Kata tersebut dari segi bahasa pada mulanya
berarti tali pengikat, penghalang. Al-Qur’an menggunakanya bagi “sesuatau yang
mengikat atau menghalangi seseorang terjerumus dalam kesalahan atau dosa”.
Apakah seseutu itu? Al-Qur’an tidak menjelaskannya secara eksplisit, namun dari
konteks ayat-ayat yang menggunakan akar kata ‘aql dapat dipahami bahwa ia
antara lain adalah:
Pertama, daya untuk memahami
dan menggambarkan sesuatu (QS al-‘Ankabut [29]: 43. daya manusia dalam hal ini
berbeda-beda. Ini diisyaratkan al-Qur’an antara lain dalam ayat-ayat yang
berbicara tentang kejadian langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang
dan ali-lain. Ada yang dinyatakan sebagai bukti-bukti keesaan Allah swt bagi
“orang-orang berakal” (QS al-Baqarah [2]: 164) dan ada juga bagi ulil Albab
yang juga dengan makna yang sama, tetapi mengandung pengertian lebih tajam dari
sekedar memiliki pengetahuan. Keanekaragaman akal dalam konteks menarik makna
dan meyimpulkanya terlihat juga dari penggunaan istilah –istilah semacam
nazara, tafakur, tadabbur, dan sebagainya yang semuanya mengandung makna
mengantar kepada pengertian dan kemampuan pemahaman.
Kedua, dorongan moral (QS
Al-‘An’am [6]: 151).
Ketiga, daya untuk
mengambil pelajaran dan kesimpulan serta “Hikmah”. Untuk maksud ini biasanya
digunakan kata rusyd. Daya ini menggabungkan kedua daya ini di atas, sehingga
ia mengandung daya memahami, daya menganalisis, dan menyimpulkan, serta
dorongan moral yang disertai dengan kematangan berfikir. Seseorang yang
memiliki dorongan moral, boleh jadi tidak memiliki daya nalar yang kuat, dan
boleh jadi juga seseorang yang memiliki daya pikir yang kuat , tidak memiliki
dorongan moral. Tetepi seseorang yang memilki rusyd, maka dia telah
menggabungkan kedua keistimewaan tersebut. Dari sini dapat dimengerti mengapa
penghuni neraka di hari kemudian berkata: “Seandainya kami mendengar dan
berakal maka kami pasti tidak termasuk penghuni neraka (QS al-Mulk [67]: 10).
3. Dibebani Tanggung Jawab
Keberadaan manusia di alam semesta ini dan diberikan potensi oleh Allah
bukan tanpa tanggung jawab. Tetapi manusia dengan segala potensi yang
dimilkinya untuk menuaikan satu misi hidup yang jelas dan terarah. Misi
tersebut adalah menunaikan tugas ibadah dan khilafah.
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا
لِيَعْبُدُونِ
Dan Aku
tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.
(Adz-Zariyat:56)
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ
لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً قَالُوا أَتَجْعَلُ
فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ
وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ
Artinya : Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada
para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di
muka bumi". Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan
(khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan
menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan
mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa
yang tidak kamu ketahui". (Al-Baqarah:30)
قالوا يٰصٰلِحُ قَد
كُنتَ فينا مَرجُوًّا قَبلَ هٰذا ۖ أَتَنهىٰنا أَن نَعبُدَ ما يَعبُدُ ءاباؤُنا
وَإِنَّنا لَفى شَكٍّ مِمّا تَدعونا إِلَيهِ مُريبٍ ﴿٦٢﴾
Artinya : Kaum Tsamud berkata: "Hai Shaleh, sesungguhnya kamu sebelum
ini adalah seorang di antara kami yang kami harapkan, apakah kamu melarang kami untuk
menyembah apa yang disembah oleh bapak-bapak kami? dan
sesungguhnya kami
betul-betul dalam keraguan yang menggelisahkan
terhadap agama yang
kamu serukan kepada kami." (Hud:62)
4. Diberikan Pilihan Hidup
Walaupun manusia diberikan satu tanggung jawab untuk menunaikan tugas dan
misi kehidupan di alam semesta ini, tetapi Allah masih memberikan pilihan bagi
manusia. Pilihan tersebut berupa kepatuhan kepada misi awal penciptaan manusia
atau ketidakpatuhan terhadapnya.
وَهَدَيْنَاهُ النَّجْدَيْنِ
Artinya : Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua
jalan. (al-balad:10)
إِنَّا هَدَيْنَاهُ
السَّبِيلَ إِمَّا شَاكِرًا وَإِمَّا كَفُورًا
Sesungguhnya
Kami telah menunjukinya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang
kafir. (Al-Insan:3)
Teramat tingginya
anugrah Allah kepada manusia di kehiduapnnya di dunia ini, bahwa
pilihan kehidupan ( opportuniyty )
yang di anugrahkan Allah kepada
manusia di Dunia ini dalah
sebuah kenikmatan. Tetapi terkadang kenikmatan itu tidak di
maksimalkan oleh manusia itu sendiri, seperti salah langkah, paradigma
berfikir yang keluar dari
sunatullah, melahirkan sesuatru
yang membuat hukum hukum Allah itu tidak
di jalankan. Sehingga terjadi kemurkaan
dari Allah jika kita
telusuri dari kaca mata Keimanan.
Memang terkadang dari kaca mata yang lain itu sebuah
sunatullah alam, tetapi pada
hakikatnya itu adalah kesalahan besar dari manusia
sebagai kholifah di muka bumi
ini.
5. Diberikan Balasan
Pilihan
hidup yang dipilih oleh manusia akan menjadi tannggung jawabnya sendiri.
Tanggung Jawab ini berakibat pada balasan berupa surga atau neraka. Bagi mereka
yang tetap patuh pada misi penciptaan awal manusia, akan mendapatkan balasan
berupa surga, dan sebaliknya bagi mereka yang tidak patuh juga mendapatkan
balasannya berupa neraka.
وَلَا تَقْفُ مَا
لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ
أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا
Artinya : Dan
janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.
Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta
pertanggungan jawabnya. (Al-Isra’:39)
Yang perlu kita perhatikan adalah
dalam ayat ini, bahwa kata
As-sam’ ( pendengaran ) lebih
dahulu jika di bandingkan dengan al-bashar ( penglihatan ). Dan ternyata hal ini oleh Allah mempunyai makna khusus. Secara
fisiologis dan anatomis, saraf-saraf yang ada
pada setiap manusia terutama pendengaran
terdiri dari jutaan serabut
syaraf. Jumlah yang teramat banyak
ini ternyata tidak di miliki oleh saraf
penglihatan yang hanya memiliki
30 ribu
syaraf saja. Tentunya hal ini
mempunyai rahasia yang mendalam
dari proses terciptanya manusia
dalam hubungannya dengan ayat alqur,an ini. Diantara fakta
fakta tersebut yang mempunyai
kekuatan ilmiah diantaranya :
Perkembangan alat penglihatan dan pendengaraan pada
janin, terjadi secara
bertahap dalam waktu yang
cukup lama. Pada akhir minggu
ke tiga, mulai berbentuk Otic Placode yang merupakan unsur pertama yang membentuk organ telinga pada bagian permukaan. Sememntara itu alat
penglihatan akan berbentuk pada tahap minggu
ke empat atau fase perkembangan Janin. Perkembangan telinga atau alat pendengaran pada Janin
berkembang dari unsur pertama ini, setelah adanya rumah siput ( membraneus coclea ) pada
minggu ke empat. Hingga minggu kedelapan menjadi rumah siput
sempurna atau telingga sempurna
dengan disempurnakan memasuki minggu
ke 21. Hal ini di tandai dengan munculnya bulu-bulu halus di sekeliling telinga dan juga organ kortek. Dengan
demikian telinga bagian dalam telah
berkembang dan matang untuk mencapai ukuran yang alami ketika ia sampai pada waktu itu
untuk siap melakukan tugasnya yaitu
pendengaran yang menjadi tugas khusus pada bulan kelima usia janin. Dari kondisi yang telah terjadi pada janin, bagian telinga ini dengan sendirinya telah mampu menerima suara
dan menstransfer simbol-simbol
suara ke otak sehingga terjadi persepsi. Proses sederhana ini tentunya yang akan di
sempurnakan dengan munculnya otot telingga bagian tengah dan muara tuba Eustachi, penutup gendang, saluran
pendengaran bagian luar selama beberapa minggu antara minggu ke 10 dan ke
20. Hingga minggu ke 32
akan menjadi telingga sempurna.(
baca ensiklopedi keajaiban alqur,an hal
334 ). Dengan kondisi
tersebut pastilah, setelah usia
kandungan bulan kelima dengan kekuasan Allah, maka
alat pendengaran ini akan mampu beroperasi dengan baik.
Berarti jika
kita hubungkan dengan
beberapa pemikiran dalam kehidupan masyarakat lokal bahkan international, seorang Ibu hamil sejak awal sering
menghibur calon bayinya dengan lagu-lagu clasik (
bethoven ) di kalangan non
muslim,dan diperdengarkan ayat-ayat alqur,an
serta sholawat di kalangan muslim
secara teori Ilmiah tidak akan
berpengaruh jika janinnya belum masuk pada usia 5 bulan. kenapa, karena belum munculnya Organ Kortek dan bulu bulu Helius di sekitar rumah Ciput daun telinga. Kemudian jika kita korelasikan dengan
fenomena budaya masyarakat kita, seperti upacara Ngapati (ngupati), mitoni
(tingkepan) dll, apakah akan
mempunyai keterhubungan terhadap janin ( calon bayi ) terhadap rangsangan
–rangsangan ( stimulus religiusitas atau
stimulus budaya ) yang di berikan
berupa lagu, suara ayat alqur,an jika
usia janin tersebut belum
memasuki usia terbentuknyanya
pendengaran secara sempurna yaitu 32
minggu. Berarti menurut kami.
Hal itu, tidak akan mempunyai
pengaruh yang significant, karena
alat pendengarannya belum terbentuk secara sempurana. Rumah sifutnya ( membraneus cochlea ) belum ada, Organ
korteknya belum terbentuk, muara tubanya
belum ada dan lain lain. Maka secara
kajian Ilmiah menunjukan
budaya tersebut tidak
berkolerasi dengan janin walau
a’lam bishowab. Secara ilmiah telah diakui bahwa telinga bagian dalam janin peka
terhadap suara mulai pada bulan ke 5 dari kehamilan seorang ibu. Pada saat itu
janin akan mampu mendengar suara
gerakan pada perut
dan jantung Ibunnya. Dengan hasil pendengran ini menimbulkan isyarat-isyarat
syaraf pendengaran pada telinga bagian dalam. Hal ini adalah petunjuk Ilmiah yang mengakui
kemampuan janin mendengar suara pada tahap awal usianya. Lebih mendalam
lagi, Hal lain yang perlu kita
pahami adalah bahwa suara
itu sampai ke telinga bagian dalam biasanya melalu dua jalur
:
Pertama, melalui jalur
telinga bagian luar kemudian telinga bagian tengah dan keduanya di penuhi oleh udara. Hal ini terjadi pada setiap
manusia normal.[6]
Kedua, melalui jalur
tulang tengkorak. Getaran suara
berpindah dengan cara pertama
melalui perantaraan udara. Tulang
tengkorak adalah sarana pemindahan suara
yang baik.
Jelaslah
bagi kita bahwa janin dapat mendengar
suara yang berhubungan dengan telinga bagian dalam, baik itu melalui
tulang tengkorak, atau melalui
tulang telinga bagian luar
yang dipenuhi oleh cairan serabut. Maka
kondisi pendengaran akan berbeda
dengan kondisi penglihatan. Janin jelas tidak akan mampu melihat saat
berada di dalam perut, tetapi pendengaran akan mampu bekerja sesudah memasuki usia 5 bulan
dalam kandungan.
Adapun
penglihatan, baik kerangka mata halus atau organ bagian dalam terjadi secara secara sempurna ketika usia janin masuk usia
25 minggu. Pada saat
sebelum itu, serabut syaraf penglihatan belum dilengkapi oleh Sumsum Tulang belakang yang
memungkinkannya untuk memindahkan isyarat isyarat syaraf penglihatan dengan
sempurna kecuali ketika sudah memasuki
usia janin minggu ke 17 dari kelahiran
janin. Di samping itu kelompok mata janin masih tertutup hingga
memasuki usia janin 26 minggu.
Hal itu terjadi karena janin masih berada di tempat yang gelap,
maka kelopak mata janin masih
tertutup, jaringan mata yang belum
matang dan syaraf mata yang belum sempurna sampai ia keluar dari dalam kandungan.
Dalam buku
Ensiklopedi Keajaiban ilmiah
Alqur,an kami nukilkan
beberapa uraian yang
berkenaan tentang permasalahan
Pendengaran dan penglihatan.
Kata as-sam’ dan
derivasinya di sebutkan dalam alqur,an sebanyak 185 kali.
Setiap kata as-sam’ muncul dalam alqur,an maknanya
adalah “ mendengar perkataan dan
suara yang disertai dengan pengetahuan
dan pemahaman mengenai informasi yang di terima dari perkataan atau suarea tersebut “. Sedangkan
al-bashar yang bermakna “ memandang objek “ seperti cahaya, benda dan gambar mata yang
disebutkan dalam alqur,an sebanyak 88 kali, Sisanya kata tersebut sebagai berfikir dan menggunakan logika untuk memahami fenomena Alam, kehidupan, kejadian dan yang sampai
kepada seseorang “.[7]
Dapat di
lihat pada sebuah matrikulasi
tentang penggolongan manusia itu
sendiri. Bagaiman kondisi manusia
dari asfek al-insan, albashar,abdullah,an-Nash dan
kholifatul Ardhi. Sebagai berikut :
Keempat
kreateria bagi penyebutan pada manusia
mempunyai empat value
yang pasti di miliki
oleh setiap manusia, tetapi tentunya
berbeda beda pada
kondisi masing masing. Terutama
pada penyebutan manusia sebagai Abdullah, karena pada
posisi penyebutan tersebut
yang muncul pada
kejiwaan manusia hanya value –value
spiritual yaitu pendekatan nilai-nilai agama.
Dalam sebuh artikel Islam,
Prof.Dr. H. Muhaimin,MA ( UIN MALANG )
menulis tentang berbagai
potensi yang terdapat pada
setiap manusia. Alat-alat potensial yang diberikan oleh Allah kepada
manusia meliputi as-sam’ (pendengaran), al-abshar (penglihatan-penglihatan)
sebagai bentuk jamak dari kata al-bashar, dan al-af’idah (aneka hati) sebagai
bentuk jamak dari kata al-fu’ad. Penyebutan indera-indera secara berurutan pada
ayat di atas mencerminkan tahap perkembangan fungsi indera-indera tersebut.
Didahulukannya kata as-sam’ atas al-abshar, merupakan perurutan yang sungguh
tepat, karena menurut ilmu kedokteran modern membuktikan bahwa indera
pendengaran berfungsi mendahului indera penglihatan. Indera pendengaran mulai
tumbuh pada diri anak bayi pada pekan-pekan pertama, sedangkan indera
penglihatan baru bermula pada bulan ketiga dan menjadi sempurna menginjak bulan
keenam. Adapun al-af’idah atau kemampuan akal dan mata hati yang berfungsi
membedakan yang benar dan salah atau yang baik dan buruk, maka alat ini
berfungsi jauh sesudah kedua indera (pendengaran dan penglihatan) tersebut.
Di dalam ayat di atas disebutkan kata al-sam’ (pendengaran) dalam
bentuk mufrad (tunggal), sedangkan kata al-abshar (penglihatan-penglihatan) dan
al-af’idah (aneka hati) dalam bentuk jamak. Hal ini mengandung makna
bahwa apa yang didengar selalu saja sama baik oleh seorang maupun banyak orang
dan dari arah mana pun datangnya suara. Ini berbeda dengan apa yang dilihat.
Posisi tempat berpijak dan arah pandang seseorang bisa melahirkan perbedaan
hasil pandangan. Demikian pula hasil kerja akal dan hati. Hati manusia sekali
senang sekali susah, sekali benci dan sekali rindu, tingkat-tingkatnya pun
berbeda-beda walaupun obyek yang dibenci dan dirindui sama. Hasil penalaran
akal pun dapat berbeda, boleh jadi ada yang sangat jitu dan tepat, dan ada pula
yang merupakan kesalahan fatal.
Kepala sama berambut, tetapi pikiran bisa berbeda-beda.
Alat-alat potensial yang diberikan oleh Allah kepada manusia tersebut ada yang hanya bisa menangkap obyek-obyek yang bersifat material, seperti pendengaran (as-sam’) dan penglihatan (al-bashar), dan ada pula yang bisa menangkap obyek-obyek immaterial, yaitu al-af’idah (akal pikiran dan hati atau qalbu). Dalam pandangan al-Qur’an ada obyek-obyek yang tidak bisa ditangkap oleh indera pendengaran dan penglihatan, bahkan oleh akal pikiran betapapun tajamnya mata kepala dan pikiran seseorang. Misalnya masalah hakikat Allah, surga, neraka, malaikat, shalat subuh harus dua raka’at sedangkan shalat dhuhur empat rakaat, segala tindakan manusia yang tampak dan tersembunyi akan dilihat oleh Allah dan dicatat oleh malaikat Raqib dan Atid, masalah nasib manusia dan lain-lainnya, adalah contoh-contoh obyek yang tidak bisa ditangkap dengan akal pikiran. Yang dapat menangkapnya hanyalah hati melalui wahyu, ilham atau intuisi. Karena itu, al-Qur’an di samping menuntun dan mengarahkan pendengaran dan penglihatan, juga memerintahkan agar mengasah akal (daya pikir) dan mengasuh daya qalbu.
Alat-alat potensial yang diberikan oleh Allah kepada manusia tersebut ada yang hanya bisa menangkap obyek-obyek yang bersifat material, seperti pendengaran (as-sam’) dan penglihatan (al-bashar), dan ada pula yang bisa menangkap obyek-obyek immaterial, yaitu al-af’idah (akal pikiran dan hati atau qalbu). Dalam pandangan al-Qur’an ada obyek-obyek yang tidak bisa ditangkap oleh indera pendengaran dan penglihatan, bahkan oleh akal pikiran betapapun tajamnya mata kepala dan pikiran seseorang. Misalnya masalah hakikat Allah, surga, neraka, malaikat, shalat subuh harus dua raka’at sedangkan shalat dhuhur empat rakaat, segala tindakan manusia yang tampak dan tersembunyi akan dilihat oleh Allah dan dicatat oleh malaikat Raqib dan Atid, masalah nasib manusia dan lain-lainnya, adalah contoh-contoh obyek yang tidak bisa ditangkap dengan akal pikiran. Yang dapat menangkapnya hanyalah hati melalui wahyu, ilham atau intuisi. Karena itu, al-Qur’an di samping menuntun dan mengarahkan pendengaran dan penglihatan, juga memerintahkan agar mengasah akal (daya pikir) dan mengasuh daya qalbu.
Demikian uniknya alat-alat potensial dengan berbagai daya dan
kemampuannya yang dimiliki oleh manusia itu dan merupakan nikmat Allah yang
patut disyukuri. Karena itu dalam ayat tersebut di atas diakhiri dengan kalimat
la’allakum tasykurun (supaya kamu bersyukur). Menurut Muhammad Abduh, bahwa
yang dinamakan syukur itu tiada lain kecuali menggunakan nikmat anugerah sesuai
dengan fungsinya, dan sesuai dengan kehendak yang menganugerahkannya (yaitu
Allah SWT.). Memfungsikan dan memberdayakan as-sam’, al-abshar dan al-af’idah
secara optimal dalam kehidupan sehari-hari merupakan perwujudan dari syukur
kepada-Nya.
Allah
telah mengutamakan dan mendahulukan pendengaran daripada penglihatan. Sebab,
pendengaran adalah organ manusia yang pertama kali bekerja ketika di dunia,
juga merupakan organ yang pertama kali siap bekerja pada saat akhirat terjadi.
Maka pendengaran tidak pernah tidur sama sekali. Maka. Terdapat
tiga hal mendasar dalam kontek kejadian ini, diantaranya pertama ; Seorang bayi ketika
saat pertama kali lahir, ia bisa mendengar, berbeda dengan kedua mata. Maka,
seolah Allah ta'alaa ingin mengatakan kepada kita, "Sesungguhnya
pendengaran adalah organ yang pertama kali mempengaruhi organ lain bekerja,
maka apabila engkau datang disamping bayi tersebut beberapa saat lalu terdengar
bunyi kemudian, maka ia kaget dan menangis. Akan tetapi jika engkau dekatkan
kedua tanganmu ke depan mata bayi yang baru lahir, maka bayi itu tidak bergerak
sama sekali (tidak merespon), tidak merasa ada bahaya yang mengancam.[8]
Kedua ; Apabila manusia tidur, maka semua organ
tubuhnya istirahat, kecuali pendengarannya. Jika engkau ingin bangun dari
tidurmu, dan engkau letakkan tanganmu di dekat matamu, maka mata tersebut tidak
akan merasakannya. Akan tetapi jika ada suara berisik di dekat telingamu, maka
anda akan terbangun seketika.
ketiga ; Telinga adalah
penghubung antara manusia dengan dunia luar. Allah ta'alaa ketika ingin
menjadikan ashhabul kahfi tidur selama 309 tahun, Allah berfirman:
فَضَرَبْنَا عَلَى آذَانِهِمْ فِي الْكَهْفِ سِنِينَ
عَدَدًا
Artinya ; Maka Kami
tutup telinga-telinga mereka selama bertahun-tahun (selama 309 tahun, lihat
pada ayat 25 berikutnya -pent) (Q.S.
Al-Kahfi: 11 )
Dari sini, ketika
telinga tutup sehingga tidak bisa mendengar, maka orang akan tertidur selama
beratus-ratus tahun tanpa ada gangguan. Hal ini karena gerakan-gerakan manusia
pada siang hari menghalangi manusia dari tidur pulas, dan tenangnya manusia
(tanpa ada aktivitas) pada malam hari menyebabkan bisa tidur pulas, dan telinga
tetap tidak tidur dan tidak lalai sedikitpun.
Dan di
sini ada satu hal yang perlu kami garis bawahi, yaitu sesungguhnya Allah
berfirman dalam surat Fushshilat:
وَمَا كُنتُمْ تَسْتَتِرُونَ أَنْ يَشْهَدَ عَلَيْكُمْ
سَمْعُكُمْ وَلَا أَبْصَارُكُمْ وَلَا جُلُودُكُمْ وَلَكِن ظَنَنتُمْ أَنَّ
اللَّهَ لَا يَعْلَمُ كَثِيرًا مِّمَّا تَعْمَلُونَ
Artinya : Dan kamu
sekali-kali tidak dapat bersembunyi dari persaksian yang dilakukan oleh pendengaranmu,
mata-mata kalian, dan kulit-kulit kalian terhadap kalian sendiri, bahkan kamu
mengira bahwa Allah tidak mengetahui kebanyakan dari apa yang kalian kerjakan.
(Q.S. Al- Fushilat: ayat 22)
Kenapa kalimat "pendengaran"
dalam ayat tersebut berbentuk tunggal (mufrad) dan kalimat "penglihatan"
dan "kulit" dalam bentuk jamak. Dan memang konteks ayatnya adalah
pendengaran dan penglihatan (bentuk tunggal) atau pendengaran-pendengaran dan
penglihatan-penglihatan (bentuk jamak). Akan tetapi Allah ta'alaa dalam ayat di
atas -yang demikian rinci dan jelas- ingin mengungkapkan kepada kita tentang
keterperincian Al-Qur'an yang mulia. Muhammad bin Sholih al-Utsaimin dalam Tafsir
alqur,an al karim, shurotul kahfi ; oleh
Abu abdurrahman bin tayyib
mengemukaakn tentang ayat ; Tidur
itu ada beberapa
macam, tidur ringan : Hal ini
tidak mencegah pendengaran, oleh
sebab itu jika seorang sedang
tidur ringan dia masih masih sempat bisa mendengar suara di
sekitarnya. Tidur nyenyak :
Tidur seperti ini sudah tidak
lagi bisa mendengar suara apapun juag.
Oleh karena itu Allah mengatakan “ fadhorrrrobna ‘alaa ‘aadzanihim Kami
tutup telinga-telinga mereka hingga
tidak bisa mendengar. [9]
Maka mata
adalah indera yang bisa diatur sekehendak manusia, saya bisa melihat dan bisa
tidak melihat, saya bisa memejamkan mata bila saya tidak ingin melihat sesuatu,
memalingkan wajahku ke arah lain, atau pun mengalihkan pandanganku ke yang lain
yang ingin saya lihat. Akan tetapi telinga tidak memiliki kemampuan itu, ingin
mendengar atau tidak ingin mendengar, maka anda tetap mendengarnya. Misalnya,
anda dalam sebuah ruangan yang di sana ada 10 orang yang saling berbicara, maka
anda akan mendengar semua suara mereka, baik anda ingin mendengarnya atau
tidak; anda bisa memalingkan pandangan anda, maka anda akan melihat siapa saja
yang ingin anda lihat dan anda tidak bisa melihat orang yang tidak ingin anda
lihat. Akan tetapi, anda tidak mampu mendengarkan apa yang ingin anda dengar
perkataannya dan tidak juga mampu untuk tidak mendengar orang yang tidak ingin
anda dengar. Paling-paling anda hanya bisa seolah-olah tidak tahu atau
seolah-olah tidak mendengar suara yang tidak ingin anda dengar, akan tetapi pada
hakikatnya semua suara tersebut sampai ke telinga anda, mau atau pun
tidak.Jadi, mata memiliki kemampuan untuk memilih; anda bisa melihat yang itu
atau memalingkan pandangan mata dari hal itu, saya pun demikian, dan orang lain
pun demikian, sedangkan pendengaran; setiap kita mendengar apa saja yang
berbunyi, diinginkan atau pun tidak. Dari hal ini, maka setiap mata
berbeda-beda pada yang dilihatnya, akan tetapi pendengaran mendengar hal yang
sama. Setiap kita memiliki mata, ia melihat apa saja yang ia mau lihat; akan
tetapi kita tidak mampu memilih hal yang mau kita dengarkan, kita mendengarkan
apa saja yang berbunyi, suka atau tidak suka, sehingga pantas Allah ta'alaa
menyebutkan kalimat "pandangan" dalam bentuk jamak, dan kalimat
"pendengaran" dalam bentuk tunggal, meskipun kalimat pendengaran
didahulukan daripada kalimat penglihatan. Maka pendengaran tidak pernah tidur
atau pun istirahat. Dan organ tubuh yang tidak pernah tidur maka lebih tinggi
(didahulukan) daripada makhluk atau organ yang bisa tidur atau istirahat. Maka
telinga tidak tidur selama-lamanya sejak awal kelahirannya, ia bisa berfungsi
sejak detik pertama lahirnya kehidupan yang pada saat organ-organ lainnya baru
bisa berfungsi setelah beberapa saat atau beberapa hari, bahkan sebagian setelah
beberapa tahun kemudian, atau pun 10 tahun lebih.
Dan
telinga tidak pernah tidur, ketika engkau sedang tidur maka semua organ tubuhmu
tidur atau istirahat, kecuali telinga. Jika terdengar suara disampingmu maka
spontan engkau akan terbangun. Akan tetapi, jika fungsi telinga terhenti, maka
hiruk-pikuk aktivitas manusia di siang hari dan semua bunyi yang ada tidak akan
membangunkan tidur kita, sebab alat pendengarannya (penerima bunyi) yaitu
telinga tidak bisa menerima sinyal ini. Dan telinga pulalah yang merupakan alat
pendengar panggilan penyeru pada hari qiamat kelak ketika terompet dibunyikan. Dan mata
membutuhkan cahaya untuk bisa melihat, sedangkan telinga tidak memerlukan hal
lain. Maka, jika dunia dalam keadaan gelap, maka mata tidak bisa melihat, walaupun
mata anda tidak rusak. Akan tetapi telinga bisa mendengar apapun, baik siang
maupun malam; dalam gelap maupun terang benderang. Maka telinga tidak pernah
tidur dan tiak pernah berhenti berfungsi.[10] Lebih menarik lagi adalah
bahwa Allah dalam proses kejadian manusia memasuki janin itu pada tiga
kegelapan ( keadaan ), dalam alqur,an Allah memberi isyarat tentang
3 kegelapan yang di alami
setiap calon manusia dalam kandungan ibunya ;
يَخْلُقُكُمْ فِي بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ خَلْقًا مِن
بَعْدِ خَلْقٍ فِي ظُلُمَاتٍ ثَلَاثٍ ذَلِكُمُ اللَّهُ رَبُّكُمْ لَهُ الْمُلْكُ
لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ فَأَنَّى تُصْرَفُونَ
“
Dia menjadikan kalian di dalam perut ibu,
dari satu tahap penciptaan kepada
tahap penciptaan lainnya, dalam tiga
kegelapan ,.. ( QS Az Zumar ayat 6 )
Dalam beberapa
kajian keislaman di sebutkan
berbagai pendapat terkait dengan
apa yang di maksud dengan 3 kegelapan, ( Dzulumatin Tsalast ).
Sebagain besar
ahli tafsir mengemukakan bahwa yang di maksud dengan 3
kegelapan adalah ; kegelapan rahim, kegelapan placenta dan kegelapan perut. Lain halnya dengan Mazhab Abu Ubaidah, berpendapatan, yang di maksud dengan 3 kegelapan adalah, Kegelapan
perut, kegelapan rahim dan kegelapan sulbi laki laki.[11]
Sebagaimana
yang akan dipahami, dalam ayat ini ditunjukkan bahwa seorang manusia diciptakan
dalam tubuh ibunya dalam tiga tahapan yang berbeda. Sungguh, biologi modern
telah mengungkap bahwa pembentukan embrio pada bayi terjadi dalam tiga tempat
yang berbeda dalam rahim ibu. Sekarang, di semua buku pelajaran embriologi yang
dipakai di berbagai fakultas kedokteran, hal ini dijadikan sebagai pengetahuan
dasar. Misalnya, dalam buku Basic Human Embryology, sebuah buku referensi utama
dalam bidang embriologi, fakta ini diuraikan sebagai berikut:
“Kehidupan
dalam rahim memiliki tiga tahapan: pre-embrionik; dua setengah minggu pertama,
embrionik; sampai akhir minggu ke delapan, dan janin; dari minggu ke delapan
sampai kelahiran.” [12]
Fase-fase ini mengacu pada tahap-tahap
yang berbeda dari perkembangan seorang bayi
atau janin di dalam proses
pertumbuhannya sehingga menjadi bayi. Secara ringkasnya, ciri-ciri tahap
perkembangan bayi dalam rahim atau alam
rahimiyah dalam bahasa agama adalah
sebagaimana berikut:
- Tahap
Pre-embrionik
Pada
tahap pertama, zigot tumbuh membesar melalui pembelahan sel, dan terbentuklah
segumpalan sel yang kemudian membenamkan diri pada dinding rahim. Seiring
pertumbuhan zigot yang semakin membesar, sel-sel penyusunnya pun mengatur diri
mereka sendiri guna membentuk tiga lapisan (bahasa biologinya disebut lapisan
lembaga ektoderm, mesoderm, endoderm ).
- Tahap
Embrionik
Tahap
kedua ini berlangsung selama lima setengah minggu. Pada masa ini bayi disebut
sebagai “embrio”. Pada tahap ini, organ dan sistem tubuh bayi mulai terbentuk
dari lapisan- lapisan sel tersebut. pada tahap ini juga terjadi pembentukan
organ2 tubuh. dan pengaturan posisi, sumbu tubuh, dan pembentukan tubuh.
- Tahap
fetus
Dimulai
dari tahap ini dan seterusnya, bayi disebut sebagai “fetus”. Tahap ini
dimulai sejak kehamilan bulan kedelapan dan berakhir hingga masa kelahiran.
Ciri khusus tahapan ini adalah terlihatnya fetus menyerupai manusia, dengan
wajah, kedua tangan dan kakinya. Meskipun pada awalnya memiliki panjang 3 cm,
kesemua organnya telah nampak. Tahap ini berlangsung selama kurang lebih 30
minggu, dan perkembangan berlanjut hingga minggu kelahiran.[13]
Secara
Ilmiah tentunya akan muncul korelasi yang intens, ayat
ini memberikan informasi ilmiah yang sangat tinggi nilainya, bahwa
agar proses penciptaan
manusi itu menjadi sempurna dan kuat
tanpa ada gangunan, ia harus selalu berada di tempat yang gelap.
Karena sel-sel muda yang berbentuk seperti anak ikan-ikan teri
yang kecil mereka tidak akan hidup jika
terkena sinar matahari. Dalam kondisi
seperti ini ternyata sel telur
harus selalu barada di dalam
indung telur ( ovarium ) seperti
halnya juga sperma laki-laki yang
selalu berad di dalam kantong zakat laki-laki. Berarti kegelapan rahim akan memunculkan memungkinkan
terjaganya kwalitas sperma dan
sel telur.
Di
sisi lain di ungkapkan, ada empat tingkat
dari mendengar dan melihat sesuatu. Kita harus ingat bahwa kesan dari melihat
dan mendengar ditransmisikan ke otak melalui sistem halus dan rumit.
Pertimbangkan kelas penuh mahasiswa. Seorang mahasiswa mungkin akan mendengar
pembicaraan gurunya dan juga melihat instruksi tertulis dengan mata terbuka
lebar. Pikirannya, bagaimanapun, di tempat lain. Dia tidak akan mengerti
apa-apa. Mahasiswa kedua mungkin mendengar dan melihat tetapi tidak memahami
instruksi. Ketiga mahasiswa mungkin mendengar, melihat dan memahami instruksi
tapi tidak mengikuti petunjuk guru.
Keempat mungkin
mendengar, melihat memahami dan mengikuti petunjuk dari gurunya. Ini berbeda
tingkat mendengar dan melihat menempatkan siswa dari kelas yang sama dalam
berbagai kategori.
Itu sebabnya Allah
(SWT) mengatakan, "Jangan bertindak seperti orang yang mengatakan, 'Kami
dengar itu,' tetapi mereka tidak mendengar". Oleh karena itu dalam rangka
memperoleh manfaat dari bimbingan Allah, kita harus mendengar petunjuk-Nya yang
sangat penuh perhatian dan dengan penuh
kehadiran pikiran.[14]
Dalam beberapa
penelitian tentang
berfungsinya organ pendengaran
dan penglihatan, di hasilkan ungkapan bahwa
pendengaran lebih dahulu beroperasional dibanding dengan penglihatan. Karena itulah
Allah mengungkapkan pendengaran
lebih awal di banding penglihatan, di sebabkan pula pendengaran merupakan alat terpenting
dalam organ tubuh manusia. Di sisi
lain secara aktivitas organ tubuh
manusia, diketahui bahwa indera penglihatan manusia
lebih dahulu hilang daripada indera
pendengaran ,pada saat manusia
tidur, pingsan, menjelang kematian, ketika terbang di ketinggian, atau ketika berkurangnya darah di otak dan lain-lain.
Pada semua kondisi tersebut indera pendengaran
tidak akan hilang sebelum hilangnya indera penglihatan. Manusia akan mampu
mendengar suara yang sampai ke ketelinganya dari berbagai arah dan ketinggian. Berarti
pendengaran berkerja 360 derajat.
Sedangkan penglihatan tidak akan mampu
beroperasi pada kondisi tersebut, hanya 180 derajat pada posisi Horizontal dan
145 pada posisi Vertikal. Gelombang cahaya bagi penglihatan selalu berada pada garis
lurus, jika terhalang maka tidak akan mampu bekerja, Akan tetapi gelombang suara akan berjalan di semua arah dan
melewati seluruh sisi yang di lewatinya. Gelombang cahaya juga mampu berjalan di dalam benda cair dan menyampaikannya kepada manusia melalui dinding. [15]
Dalam dimensi lain, kondisi
awal peradaban manusia ( masyarakat),
alqur,an al kariem ketika
menyebutkan perbedaan
kondisi pendengran akan lebih banyak di
bandingkan dengan kondisi penglihatan. Di gurun sahara kepekaan pandangan
sangat kurang di bandingkan
dengan kepekaan pendengaran. Pada masa tersebut
masyarakat lebih mengedepankan
pendengaran ( audio ) di banding penglihatan ( visual ) Bahkan ayat
alqur,an pun melalu proses pendengaran dan di hafalkan. Bahkan zaman masyarakat tersebut
keilmuan seperti syair dan puisi lebih banyak di
hafalkan. [16]
Dalam
alqur,an Allah mengilustrasikan, pada surat
al A,rof ayat 195 “ Ataukah mempunyai mata yang dengan itu ia
dapat melihat, atau mempunyai telinga yang dengan itu ia dapat mendengar ?
Katakanlah “ Panggilah berhala berhalamu
yang kamu jadikan sekutu Allah, kemudian
lakukanlah tipu daya ( untuk mencelakakan )-Ku, tanpa memberi tangguh (
kepada-Ku ) QS. Al A’rof ayat 195. M.
Qurais Shihab, dalam Tafsir al Misbah
mengemukakan tentang ayat ini. Berhala
berhala itu tidak hanya
sama dengan kalian bahkan lebih
rendah, karena walaupun semua membutuhkan Tuhan dan tunduk kepadnya, tetapi berhala berhala
itu tidak memiliki jiwa dan akal, bahkan lebih rendah dari kalian dalam asfek
penciptaan makhluq dan bentuknya. Mereka tidak memiliki anggota badan sebaik
dan sesempurna kalian
Penyebutan anggota tubuh, kaki tangan, mata dan telinga, karena sebagian berhala berhala mereka terbuat dari
patung patung berbentuk pria atau
wanita. Hubal,Ku,aib,dan
Dzulkaffain-misalnya adalah berhala
berbetujk pria, sedangkan Suwa berbentuk wanita. Ini untuk
membuktikan bagi mereka bahwa
berhala berhala itu tidak mampu
memberi pertolongan. Qurais shihab menambahkan;
Mata dan telinga adalah alat alat
penting dalam organ tubuh manusia
sebagai pendukung dalam bertindak. Demikian Ibnu Asy,ur. Tentunya ini
berdasarkan zaman itu. [17]
Lain halnya dengan Muhamad Nasib
arrifai, dalam Taisiru al Aliyyul Qodir
li Ikhtisari Tafsir Ibnu
Katsir jilid 2 mengamukakan tentang proses kejadian manusia di dunai ini;.
Seorang
peneliti nasrani masuk Islam
karena di sebabkan oleh mengkaji dan
menelaah kandungan ayat ini, yaitu Dr. Moris Bokay. Setelah begitu panjang mempelajari
uslub-uslub serta literatur bahasa dan
sejarah alqur,an, Allah menghadirkan hidayah kepadanya. Pada suatu
seminar international Dr.Moris
Bokey tanpa di duga mengeluarkan
stetment yang mengejutkan. Beliau
mengemukana bahwa fakta- fakta
ilmiah dan sains sangat berkorelasi
dengan alqur,an dan tidak berkorelasi
kepada Injil dan Taurat. Ketika di tanya, dari manakah Muhammad mendapatkan
alasan kalau itu adalah benar dan Ilmiah “
Dr.Moris Bokey mengemukakan “ Sudah pasti
kalian tidak akan mendapat jawabannya, bagi saya itu pasti dan Muhammad mendapatkan dari Allah Swt dan Muhammad itu rasulnya. Dari kejadian ini, eropa, dan barat gempar. Dari kejadian ini membuktikan bahwa alqur,an dalam sejarah keberadaan manusia
1500 tahun yang lalu dan lebih dahulu
membicarakan masalah janin atau calon
menausia.
C. PENUTUP
Pendengaran dan penglihatan yang ada
pada manusia seharusnya di jadikan sensorik yang mutlaq. Peradaban manusia saat
ini hampir hampir
melupakan kondisi yang seharusnya
di lakukan oleh manusia sebagai kholifah
di muka bumi ini. Manusia dengan
segala keunikan penciptaannya dari Allah
SWT merupakan wujud kebesaran Allah melalui
dimensi yang bernama
mukjizat yang tersimpan dalam kandungan alqur,an. Alqur’an
dengan segala keistimewaannya tentunya akan
menghantarkan manusia pada
pemahaman yang benar di hadapan Allah tentang
kehidupan ini. Lebih mendalam lagi
berbagai keilmuan akan mampu menghantarkan manusia kepada pertumbuhan
nilai-nilai keimanan, anatomi manusia
adalah salah satu yang bisa menghantarkan manusia pada
titik menemukan kemukjizatan dari Allah yang ada dalam setiap diri manusia. Penderngan dan
penglihatan dua organ mulia itu adalah bukti kebesaran sang
Pencipta, kemudian bagaimana manusia mengapresiasikan hal iuni di hadapan Allah, saat ini untuk saat yang akan datang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar